Jakarta, MINA – Pakar komunikasi politik Prof Effendi Gazali mengatakan, sudah saatnya ulama memberi pendidikan politik pada ummatnya melalui khotbah di masjid, untuk mengisi kekosongan kurangnya peran penyeimbang.
” Termasuk mengkritik pemerintah ketika salah, mendukung ketika memang harus didukung,” kata Effendi dalam diskusi Kajian Cendekia Bakomubin bertajuk ‘Peran Bakomubin dan Jaringan Masjid dalam politik Keummatan’, di Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta Selatan, Selasa (24/1).
Dia juga mengatakan, aktivis selama ini ibarat relawan. Relannya waktu pertarungan, ketika ada kemenangan, masuk dalam kekuasaan dan menghilang.
“Banyak yang sudha jadi anak manis. Ada yang menjadi staf ahli hingga komisaris. Begitu juga dengan media, suaranya hilang,” ujar Effendi yang pakar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) tersebut
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Menurutnya, di sini lah bahwa ulama harus mengambil peran, untuk mengisi kekosongan. Melalui jaringan masjid, melalui khotbah Jumat dan majelis ilmu, sampaikan suara perjuangan. “Beri ummat pemahaman politik, politik Islam. Itu sah-sah saja,” katanya.
Menurutnya, saat ini lah momentum kebangkitan ummat. Masjid dapat dijadikan sebagai pusat gerakan, walau kebangkitan politik keummatan itu dikhawatirkan kemunculannya.
Ia mengakui bahwa aksi 212 menjadi momentum kebangkitan kekuatan politik ummat. Aksi Ini menjadi gambaran dahsyatnya demokrasi di Indonesia. Dengan begitu banyaknya manusia berkumpul di satu titik dan di satu momen, namun situasi tetap kondusif. Bahkan sehelai rumput pun tidak rusak.
“Tapi anehnya, ketika dunia mengakui indeks demokrasi Indonesia meningkat pasca aksi 212, justeru BPS menyatakan turun. Kok ini aneh?! Justru dunia mengakui, Indonesia sendiri tidak,” kata Effendi.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Sekarang ini menurut dia, adalah era matinya logika. Banyak kejadian atau situasi yang bertentangan dengan logika. “Ketika logika mati, tidak ada yang bersuara. Aktivis menghilang, sudah masuk istana, menjadi komisaris, staf ahli, penasehat ahli. Ulama yang isi kekosongan itu,” tegasnya.
Sementara Dr Johan O Silalahi sebagai aktivis yang masuk ke istana, ia termasuk yang tetap menjaga integritas. Ia tetap mengkritik Presiden Joko Widodo, ketika ia memang harus dikritik.
“Saya sudah sampaikan kepada Presiden, bahwa pemerintah saat ini sangat konsen dalam pembangunan fisik. Tetapi lupa dalam membangun jiwa. Padahal jiwa jauh lebih penting dibangun terlebih dahulu, baru bangun raga, bangun fisiknya,” tegas Johan.
Hadir juga sebagai nara sumber, Dr H Johan O Silalahi, pendiri Negarawan Indonesia yang saat ini menjadi staf ahli presiden dan wakil presiden. Dan Dr Budi Pramono, pakar ilmu politik yang berlatar belakang militer. Ketua Umum PP Badan Koordinasi Mubalig se-Indonesia (Bakomubin) Dr Ali Mochtar Ngabali (L/R03/P1)
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas