Indonesia berada dalam kondisi yang sangat genting pasca Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Situasi ini menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia, yang dimanfaatkan oleh para pejuang kemerdekaan untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Ahmad Mansur Suryanegara (dalam buku Api Sejarah Jilid II, 2016) menceritakan kondisi menjelang proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan langsung oleh Soekarno saat itu.
Pada 15 Agustus 1945 malam yang bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 H, di Pegangsaan Timur 56, seorang pemuda bernama Wikana mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan saat itu juga tanpa menunggu keputusan Jepang.
“Ini leher saja, seretlah saja ke podjok itu dan sudahilah njawa saja malam ini djuga, djangan menunggu sampai besok,” tegas Boeng Karno menolak, sebagaimana yang tertera dalam buku tersebut.
Baca Juga: Fun Run Solidarity For Palestine Bukti Dukungan Indonesia kepada Palestina
Tentu saja, Bung Karno tidak bisa diintimidasi. Wikana, sempat menyampaikan kata-kata yang menyinggung perasaan Bung Karno karena dirinya dianggap pengecut. Langsung saja suami Fatmawati itu naik pitam.
“Mereka langsung diam, dan keheningan mencekam. Tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu. Marah. Kecewa. Aku mengangkat kepala dan, dengan sengaja, aku menatap mereka. Aku menatap langsung ke wajah mereka sehingga mereka satu demi satu menjatuhkan pandangan mereka,” kata Soekarno menuturkan kejadian malam 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok itu, dalam buku autobiografi yang disusun Adams (hlm 253).
“Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir atasku. Tak ada lagi yang menyebut Soekarno pengecut. Aku menangkap mata Farmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang. Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan sungguh-sungguh,” sambung Bung Karno.
Karena menemui jalan buntu, Soekarno Hatta kemudian diculik dibawa ke Rengasdengklok. Proses penculikan, terjadi di rumah Boeng Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 tengah malam, dipimpin oleh Soekarni berseragam Tentara Peta dengan pistol dan pisau panjang, serta pemuda lain dengan mengacungkan pedang terhunus ke arah Boeng Karno yang menolak proklamasi saat itu juga.
Baca Juga: KNEKS Kolaborasi ToT Khatib Jumat se-Jawa Barat dengan Sejumlah Lembaga
Boeng Karno, Fatmawati dan Goentoer yang masih bayi, bersama Boeng Hatta diangkut dengan naik truk terbuka ke Rengasdengklok, bersama 20 Tentara Peta karena di Jakarta di bawah pimpinan Wikana dan Chaeroel Saleh akan terjadi pemberontakan besar melawan Balatentara Djepang. Ternyata, di Rengasdengklok tidak pernah terjadi pembicaraan apa pun. Keduanya, Boeng Karno dan Boeng Hatta tidak pernah diajak bicara. Pemberontakan besar di Jakarta pun tidak pernah terjadi.
Pada keesokan harinya, datanglah Mr. Achmad Soebardjo menjemput Boeng Karno, Iboe Fatmawati, Goentoer, Boeng Hatta di Rengasdengklok, untuk kembali ke Jakarta. Menurut penuturan Boeng Hatta, dalam perjalanan Soekarni menampakkan rasa ketakutannya yang luar biasa. Petani kurus kaum marhaen yang sedang membakar sampah jerami, asap pembakaran jerami yang terlihat dari jauh, dikatakan revolusi rakyat sudah mulai meletus.
Akhirnya, setelah kembali ke Jakarta dan melalui diskusi panjang dengan tokoh-tokoh lain, diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan di Bulan Suci Ramadhan ini atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga, kendatipun mendapat halangan Jenderal Nishimura dari Angkatan Darat Jepang, tetapi malam menjelang 17 Agustus 1945 mendapat bantuan dari Laksamana Maeda dari Angkatan Laut Jepang.
Baca Juga: [BEDAH BERITA MINA] ICC Perintahkan Tangkap Netanyahu dan Gallant, Akankah Terwujud?
Sebenarnya Laksamana Maeda pada masa berkuasanya tidak ikut menyebarkan janji. Kemerdekaan Di Kelak Kemoedian Hari adalah janji dari Perdana Menteri Koiso, 7 September 1944, Kamis Pahing, 18 Ramadhan 1363, karena wilayah kekuasaan Kaigun di luar Jawa dan Sumatera.
Walaupun demikian, pada malam 17 Agustus 1945, justru Laksamana Maeda mengizinkan rumahnya untuk dijadikan arena perundingan tentang bunyi teks Proklamasi yang akan dibacakan hari esok. Namun, para pembesar Balatentara Jepang tidak ikut serta.
Menurut Mr. Achmad Soebardjo, pukul 03.00 pagi waktu Sahur Ramadhan teks Proklamasi didiktekan oleh Boeng Hatta, dan ditulis dengan tangan Boeng Karno, kalimat pertama diambil dari Preambule atau Piagam Djakarta 22 Juni 1945:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Semula Boeng Karno merasa cukup dengan teks tersebut. Atas usul Boeng Hatta ditambahkan dengan kalimat kedua: Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Jumat Ini, Sebagian Hujan
Boeng Hatta makan sahur di rumah Laksamana Maeda, karena tidak ada nasi maka makan roti, telur, dan ikan sardines. Periksa Mr. Achmad Soebardjo Djojohadisoerjo. 1972. Lahirnya Republik Indonesia: Suatu Tinjauan dan Kisah Pengalaman. Kinta. Djakarta, dan Mohammad Hatta. 1982. Mohammad Hatta Memoir. Tintamas Jakarta.
17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H, di mana umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa. Pada pagi harinya, sekitar pukul 10:00 WIB, Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Pembacaan proklamasi ini menandai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Boeng Karno yakin proklamasi pada 17 Agustus 1945 setelah berkonsultasi dengan ulama diantaranya: KH Abdoel Moekti pimpinan Persjarikatan Moehammadijah Madiun dan Oelama besar Pesantren Tebuireng Jombang Choedratoes Sjeich Rais Akbar Nahdatoel Oelama, KH Hasjim Asj’ari.
Proklamasi Kemerdekaan di Bulan Suci Ramadhan pada tanggal 17. 17 sendiri merupakan angka keramat. Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan 17 Ramadhan, Salat seharinya terdiri 17 rakaat, dan dipilihnya hari mulia Jum’at legi.
Baca Juga: Kemenag Kerahkan 50 Ribu Penyuluh Agama untuk Cegah Judi Online
Ramadhan, bulan yang penuh berkah, menambah makna dan ruh dalam perjuangan bangsa Indonesia. Semangat para pejuang yang berpuasa saat itu tidak surut, meskipun dalam kondisi fisik yang lemah akibat puasa dan tekanan psikologis yang tinggi. Keberanian dan keteguhan mereka menjadi inspirasi bagi seluruh bangsa Indonesia.
Semangat para pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dalam keadaan berpuasa bermakna kekuatan akidah dan tekad yang kuat dapat membawa bangsa ini menuju kemerdekaan.
Sebagaimana Fathu Makkah yang juga terjadi pada Ramadhan, kita harus jaga akidah dan spirit kemerdekaan ini. Mudah-mudahan kita bisa mengisinya untuk membangun Indonesia lebih baik lagi sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur. Dirgahayu Indonesia yang ke-79. Nusantara Baru, Indonesia Maju.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia Sesalkan Kegagalan DK PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza