Proklamasi Kemerdekaan, Peran Sentral Ulama dan Santri (Oleh: Nurhadis)

Oleh: Nurhadis, Wartawan MINA, Kepala MINA Biro Sumatera

Sejarah mencatat, peran sentral ulama dan kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari peran kerajaan-kerajaan Islam dan kaum santrinya yang menentang penjajahan Belanda, sampai kepada masa menjelang kemerdekaan.

Pasca Proklamasi kemerdekaan, perjuangan perlawanan Ulama dan Kaum Santri ditandai dengan dikeluarkannya Resoloesi Djihad Nahdlatoel Oelama, 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 H, diikuti dengan Resoloesi Djihad, Partai Politik Islam Indonesia, Masyumi, 60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia siap berjihad Fi Sabilillah. Perang dijalan Allah untuk menentang tiap-tiap penjajahan pada 1 Dzulhijah 1364 H, Rabu Pon, 7 November 1945.

Mengutip catatan sejarah dalam buku Api Sejarah Jilid II karya Ahmad Mansur Suryanegara, pada Bab Peran Ulama dalam menegakkan dan mempertahankan Proklamasi kemerdekaan tertera jelas bagaimana Tokoh Proklamator Boeng Karno melakukan pendekatan kepada Ulama menjelang Proklamasi yang saat itu diyakini harus dilaksanakan pada Jum’at Legi, 17 Agustus 1945.

Dalam teori perang Carl Von Clausewitz, On War, perang melahirkan kondisi tanpa ada kepastian dan tidak mudah diduga menjadikan setiap orang dihinggapi rasa takut. Perlu ada upaya memperkuat keyakinan diri dan moral stamina. Oleh karena itu sebelum proklamasi menurut Dr Soeharto dalam Saksi Sejarah menyatakan bahwa Boeng Karno datang ke Syeikh Moesa, ulama mukasyafah berusia 80 tahun di Sukanagara, Cianjur Selatan.

Dalam buku Api Sejarah Jilid II tersebut juga ditulis, bahwa Boeng Karno juga mendapatkan kepastian waktu yang baik untuk proklamasi pada 17 Agustus 1945, Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 H dari KH. Abdoel Moekti, Pimpinan Perserikatan Muhammadiyah Madiun.

Bahkan dalam buku Api Sejarah Cetakan III, 3 September 2018 tersebut disebutkan, Boeng Karno juga berupaya mendapat keterangan tentang kepastian datangnya hari kemerdekaan dan dukungan dari ulama besar dari Pesantren Tebuireng Jombang KH. Hasyim Asy’ari. Dari beliaulah diperoleh kepastian tidak perlu takut tentang proklamasi karena KH. Hasyim Asy’ari sudah menghubungi pimpinan angkatan laut Jepang di Surabaya dan memberitahukan pula setuju kalau Boeng Karno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Baca Juga:  Biden: Israel Tawarkan Opsi Akhiri Perang

Pada 14 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyerah kepada sekutu pasca dijatuhkannya Bom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Hal ini menjadikan seluruh pembicaraan dengan Jendral Terauchi di Dalat pada 10 Agustus 1945 otomatis menjadi batal. Hal itu menjadikan, penentuan tanggal 17 Agustus 1945 juga mengandung pengertian bahwa kemerdekaan tidak lagi ditentukan oleh Jendral Terauchi, 24 Agustus 1945. Artinya kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah atau pemberian dari balatentara Jepang.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, sekelompok pemuda kiri komunis pimpinan Wikana dan Chaeroel Saleh dengan eksekutornya adalah Tentara Peta pimpinan Soekarni pada 15 Agustus 1945 melakukan penculikan terhadap Boeng Karno dan Boeng Hatta, bersama Ibu Fatmawati serta Guntur yang saat itu masih bayi ke Rengasdengklok. Yang menurut keterangan Boeng Hatta, selama ditawan di rumah seorang China bernama I Song, di Rengasdengklok, tidak terjadi perundingan ataupun pembicaraan lain.

Penculikan terjadi setelah Soekarni yang berseragam Tentara Peta dengan pistol dan pisau panjang, bersama pemuda lain dengan mengacungkan pedang terhunus ke arah Boeng Karno, memaksa agar Proklamasi digelar malam itu juga, 15 Agustus 1945. Menurut Mohammad Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 terbitan Tintamas, Djakarta, 1970, Boeng Karno menolak paksaan Wikana dengan menyerahkan lehernya sambil menyatakan,”Ini leher saya, seretlah ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”

Baca Juga:  Hamas Siap Damai Jika Israel Akhiri Perang

Boeng Karno menuturkan, sejak dari Saigon sudah merencanakan Proklamasi pada 17 Agustus 1945 karena diyakini angka 17 merupakan angka keramat. Al-Qur’an diturunkan pada 17 Ramadhan. Shalat seharinya 17 rakaat, dan dipilihnya hari yang mulia, Jum’at Legi.

Hal ini menurut penulis menjadi bukti peran Ulama sebagai penasehat spiritual Boeng Karno dalam menentukan sikap bahkan berani menentang paksaan kaum muda pimpinan Wikana untuk menyatakan kemerdekaan sebelum tanggal yang sudah diyakini pada 17 Agustus. Boeng Karno tetap dengan sikapnya Proklamasi harus pada 17 Agustus yang saat itu bertepatan 9 Ramadhan 1334 H.

Menurut, Mr. Achmad Soebardjo, dalam buku Lahirnya Republik Indonesia: Suatu Tinjauan dan Kisah Pengalaman, teks Proklamasi didiktekan oleh Boeng Hatta dan ditulis dengan tangan oleh Boeng Karno pada pukul 03.00 pagi waktu sahur Ramadhan. Bahkan karena tidak ada nasi di rumah Laksamana Maeda maka saat itu makan sahur dengan roti, telur dan ikan sarden.

Namun dibacakannya teks Proklamasi pada pukul 10.00 pagi saat umat Islam berpuasa, 9 Ramadhan 1334 H, Jum’at Legi, sepuluh hari pertama Ramadhan yang diyakini sebagai waktu rahmat Allah diturunkan ini umumnya umat Islam menyambutnya tanpa dihubungkan dengan pengertian Ramadhan sebagai puncak keberhasilan perjuangan Ulama dan Santri membebaskan bangsa, negara, dan agama dari penjajahan Barat dan Timur. Demikian Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid II tersebut.

Sudah selayaknya, menurut penulis, bangsa Indonesia yang besar ini, tidak melupakan peran sentral Ulama dan Santri dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Karena peristiwa Proklamasi pada Jum’at Legi, 17 Agustus 1945 bertepatan 9 Ramadhan 1334 H berkaitan erat dengan upaya Ulama dan Santri, bahkan secara spiritual, hari, tanggal yang ditentukan tidak terlepas dari kedekatan Boeng Karno dengan para Ulama.

Baca Juga:  Israel Setujui Proposal Gencatan Senjata di Gaza

Begitu juga dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, Boeng Tomo melalui Radio Pemberontak Republik Indonesia memanggil Ulama dan Santri untuk menjawab ultimatum Tentara Sekutu dan NICA di Surabaya, pada 10 November 1945, Sabtu Legi, 4 Dzulhijah 1364 H sebagai upaya membangkitkan semangat juang bangsa Indonesia dengan teriakan Takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, dalam penutup pidato radionya.

Menurut Mohammad Natsir, Boeng Tomo memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela dan mempertahankan tanah air dari upaya penjajahan kembali oleh Tentara Sekutu dan NICA, yaitu Ulama dan Umat Islam.

Ulama dan santri yang sejak keluarnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 H terbakar semangat jihadnya kemudian bergerak melakukan perlawanan kepada Tentara Sekutu dan NICA yang mendaratkan sejumlah 6.000 orang pasukan pada 25 Oktober 1945 di Surabaya.

Sampai sembilan hari kemudian Brigadir Jendral Mallaby tewas. Padahal Tentara Sekutu Inggris tidak pernah kehilangan Perwira Tingginya dalam perang Dunia II.

Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, Senin Pahing, 15 Dzulqaidah 1364 H berhasil mengorganisasikan perlawanan Ulama dan Santri didukung juga oleh Laskar Hizboellah yang berhasil menewaskan Mallaby.

Mudah-mudahan peran sentral Ulama masih tetap dijaga oleh negara dan pemerintah saat ini dalam upaya mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang tahun ini telah memasuki usia ke 77 tahun. Indonesia Merdeka, Pulih Lebih Cepat dan Bangkit Lebih Kuat. (A/B03/P1)

Mi’raj News Agency (MINA).

 

Wartawan: hadist

Editor: Ismet Rauf