Oleh: Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation
Dalam Al-Quran, secara khusus Allah SWT memanggil orang-orang beriman untuk berpuasa: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (Al-Baqarah: 183).
Dalam sebuah hadist juga disebutkan: “Puasa adalah untuk-Ku, dan saya yang akan membalas puasa orang yang berpuasa.”
Panggilan khusus untuk mereka yang beriman dan diakuinya puasa sebagai milik Allah mengindikasika secara kuat bahwa puasa adalah amalan ibadah yang bersifat personal atau private dengan Allah SWT. Dalam melakukannya tidak ada sama sekali orang ketiga yang terlibat.
Baca Juga: Aksi Kebaikan, Dompet Dhuafa Lampung Tebar 1445 Makanan Berbuka dan Takjil
Ketika Anda shalat, gerakan-gerakan itu nampak kepada orang lain. Ketika Anda berzakat, minimal yang memberi dan menerima ikut terlibat. Ketika haji bahkan jutaan yang menyaksikan. Tapi puasa benar-benar hanya antara pelaku dan Tuhannya yang menjadi saksi.
Di sinilah kemudian puasa berfungsi sebagai pembuka pintu lebar untuk hadirnya Allah dalam hidup pelakunya. Seorang yang berpuasa akan melatih diri untuk bersama denganNya. Dengan puasa terbangun kesadaran “kebersamaan” dengan Dia yang melihat apa yang tidak nampak maupun yang memang nampak.
Di situlah kemudian secara terjadi proses ke sebuah situasi mental (mental state) yang merasakan terus-menerus “mahabatullah” (kebesaran) Allah dalam hidupnya.
Ketika Allah telah hadir bersamanya di setiap masa dan keadaan, maka saat itu dalam dirinya tumbuh kekuatan yang belum pernah bahkan tidak pernah dibayangkan.
Baca Juga: Masjid Sekayu Semarang Cikal Bakal Pembangunan Masjid Agung Demak
Akan terbangun kekuatan dahsyat yang boleh jadi berada di luar dugaan. Di situlah salah satu rahasia kenapa dalam perjalanan sejarah Islam, banyak kemenangan-kemenangan umat ini justru terjadi di bulan Ramadan.
Kemenangan di perang Badar misalnya adalah kemenangan yang terjadi di luar dugaan dan kalkulasi manusia. Dengan jumlah prajurit dan persenjataan yang jauh lebih kecil, Rasulullah SAW mengalahkan musuh yang berkekuatan tiga kali lipat itu.
Hal itu dikarenanakan kekuatan umat ini tidak selalu bersandar kepada kekuatan materi dan fisik. Tapi lebih penting, kekuatan umat itu terbangun di atas soliditas ruhiyahnya. Yang dengan puasa kekuatan itu semakin solid.
Kehadiran atau kebersamaan dengan Allah (ma’iyatullah) juga akan membangun ketenangan hidup. Percayalah, hidup ini penuh dengan hiruk pikuk, goncangan dan tantangan. Seseorang yang lemah dan kurang siap menghadapi perubahan dan goncangan itu pasti akan terombang-ombang di tengah samudra pergerakannya.
Baca Juga: Berkah Ramadhan, Wahdah Tebar Paket Sembako
Ketika situasi berpihak kepadanya maka dia akan lupa diri, bahkan membusungkan dada, angkuh dan merasa dunia telah menjadi miliknya. Sebaliknya, ketika keadaan tidak berpihak kepadanya, dia lemah, merasa hina, bahkan prustrasi dan marah.
Karenanya hanya ada satu jalan dalam mengantisipasi goncangan hidup itu. Hadirkan Dia Yang memiliki langit dan bumi dan segala isinya. Hadirkan Dia dalam setiap detakan jantung dan aliran darah kehidupan.
Ketegaran Rasulullah SAW menghadapi tantangan dakwah, bahkan di saat hidupnya terancam, beliau tegar karena kehadiran Allah bersamanya.
Itulah yang beliau buktikan di saat harus melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Khususnya di saat beliau sedang berada dalam gua itu. Para algojo yang disewa khusus untuk memangga leher beliau berada persis di depan gua itu.
Baca Juga: Riska Gelar Anjangsana Sosial di Rumah Belajar Merah Putih Cilincing
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang melihat mereka menangis. Bukan karena takut akan kematinnya sendiri. Tapi khawatir akan keselamatan Rasulnya. Dia khawatir jika para algojo itu menengok ke dalam gua itu pasti akan membahayakan Rasulullah SAW.
Tapi sang Rasul sendiri tenang menghadapi itu. Beliau membisikkan kata-kata ke telingah sabahatnya itu: “Jangan takut, jangan khawatir, karena Allah bersama kita.” Kata-kata yang kemudian direkam dalam Al-Quran.
Ternyata kehadiran Allah dengan sungguh-sungguh dalam hati menjadi “pengusir” ancaman itu. Para algojo pulang dan meninggalkan tempat itu tanpa menyadari bahwa orang yang mereka cari itu ada di hadapannya.
Ketenangan jiwa di saat bersama Allah ini juga terjadi kepada seorang mualaf Amerika. Jalan hidupnya yang keras, tidak mudah, bahkan penuh dengan duri yang beracun.
Baca Juga: Masjid Jami’ Aulia Pekalongan Usianya Hampir Empat Abad
Panggillah dia Maria. Maria adalah seorang wanita Hispanic keturunan Colombia. Ketika masih berumur sekitar 24 tahun dia kenalan dengan seorang Muslim keturunan Mesir di kota New York. Mereka kemudian saling suka dan menikah, bahkan Maria menerima Islam dengan sungguh-sungguh sebagai jalan hidupnya.
Tapi hanya dalam tempo yang singkat sang suami berubah kasar dan sering memukulinya. Hingga pernikahan mereka melewati masa dua tahun, dan dikaruniai dua anak, suaminya menceraikannya. Maria dan kedua anaknya ditinggalkan tanpa apa pun, bahkan Maria harus keluar dari rumahnya tanpa bekal dan tanpa pekerjaan.
Pada hari-hari pertama Maria ditolong oleh sebuah gereja. Tinggal di sebuah penampungan (shelter) milik gereja itu sambil mencari pekerjaan. Hingga suatu hari Maria berhasil diterima bekerja di sebuah pertokoan.
Di toko inilah dia berkenanalan dengan teman barunya, seorang perempuan. Juga keturunan Hispanic asal Puerto Rica.
Baca Juga: Ini Lima Hikmah Puasa Ramadhan Sebagai Pendidikan Ruhiyah
Teman Maria ini rupanya memperhatikan Maria setiap hari. Diam-diam dia kagum kepadanya. Sebabnya karena Maria selalu datang ke pekerjaannya dengan pakaian rapi, lengkap dengan kerudung. Tapi yang terpenting, Maria selalu ceria setiap saat.
Suatu hari teman Maria ini memberanikan diri bertanya kepadanya: “Don’t you have any problem in your life?”
Mendengar itu Maria sambil tersenyum bertanya: “Why?”
Temannya melanjutkan: “I have seen you happy and smile all the time. Seemingly you’re so happy.”
Baca Juga: Tujuh Pesohor Non-Muslim Ini Pandai Baca Al-Quran, bahkan Hafal Sebagian Suratnya
Maria kemudian memegang pundak temannya itu dan menceritakan semua permasalahan hidupnya. Dari kenalan dengan orang Mesir itu hingga nikah, sampai dipukuli dan diceraikan.
Betapa terkejutnya teman Maria itu. Tapi dia pun semakin tidak paham, kenapa Maria tetap ceria dan tersenyum?
“So what makes you happy all the time?” tanyanya.
Maria memandang temannya itu dengan serius, lalu menjawab dengan singkat: “Karena Allah bersama saya.”
Baca Juga: Ramadhan Sebagai Bulan Transformasi (Bagian 3)
Rupanya jawaban ini tanpa disangka menggetarkan jiwa teman Maria. Tanpa dia sadari, dia menangis, tersentuh dengan cerita Maria. Tapi yang paling menggetarkan jiwanya adalah jawaban Maria: “Karena Allah bersamaku.”
Singkat cerita, teman Maria itu menyatakan ingin mengikuti Maria. Dia pun datang ke masjid diantar Maria dan menerima Islam sebagai jalan hidupnya yang baru.
Itulah kebesaran Allah ketika hadir dalam dada manusia. Dia menjadi pegangan kuat, yang menjadikan hidup tenang, bahkan santai menghadapi gelombang pergerakan hidup. Pergerakan yang hanya akan berakhir dengan berakhirnya hidup dunia itu sendiri.
Dan puasa adalah kunci utama untuk hadirnya Allah dalam dada manusia. Semoga! (A/RI-1)
Baca Juga: Dompet Dhuafa Lampung Berbagi Ratusan Paket Makanan
JFK Airport, 8 Mei 2019
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: MUI-KPI Pantau Tayangan Ramadhan 1445H