Oleh: Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation
“Barang siapa yang belum meninggalkan perkataan dan perbutan dosa, maka tiada hajat bagi Allah untuk dia tinggalkan makan dan minum.” (Hadist).
Sesungguhnya semua amalan ibadah dalam Islam itu bertujuan, selain menjadi kendaraan atau kunci masuk syurga, tidak kalah pentingnya untuk menjadi mesin atau penggerak transformasi hidup dan prilaku. Dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan diharapkan hidup kita menjadi lebih baik dan benar.
Ibadah shalat misalnya: “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-Quran)
Baca Juga: Aksi Kebaikan, Dompet Dhuafa Lampung Tebar 1445 Makanan Berbuka dan Takjil
Dalam sebuah Hadist: “Barang siapa yang tidak dicegah oleh shalatnya dari perbuatan keji dan mungkar maka tiada shalat baginya.” (Hadist)
Demikian pula zakat, haji dan seluruh amalan ritual dalam Islam tentunya dimaksudkan untuk menjadi mesin transformasi hidup ke arah yang lebih baik dan benar. Tidak terkecuali tentunya puasa Ramadan.
Hal pertama yang harus ditransformasi melalui puasa adalah cara pandang kita terhadap kehidupan. Jika selama ini wawasan atau cara pandang hidup kita adalah wawasan materi atau dunia semata, kini wawasan itu berubah menjadi hidup yang imbang.
Hidup yang tidak sungguh-sungguh dengan urusan dunia. Tapi kesungguhan dalam membangun dunia tidak menjadikan hidup ukhrawi-nya terabaikan.
Baca Juga: Masjid Sekayu Semarang Cikal Bakal Pembangunan Masjid Agung Demak
Inilah yang saya sebut sebagai hidup dunia yang “akhirah oriented”. Berusaha untuk dunia, membangun dunia, sukses dalam dunia, tapi tujuannya tetap demi kebahagiaan abadi di akhirat kelak.
Puasa harus mempu membawa transformasi itu. Karena diakui atau tidak, hidup kita saat ini didominasi oleh ketamakan dunia yang tanpa batas. Katamakan dunia tanpa batas ini yang dikenal dalam bahasa modern dengan paham materialisme.
Sekali lagi, sebagaimana Al-Quran menyampaikan: “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan karena apa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia.” (Al-Quran).
Tangan-tangan yang melakukan pengrusakan Itu disebabkan oleh wawasan hidup materialistik. Seperti yang disampaikan oleh Al-Quran: “Mereka mengetahui masalah-masalah lahiriyah dari hidup dunia ini. Tapi tentang akhirat mereka lalaikan.”
Baca Juga: Berkah Ramadhan, Wahdah Tebar Paket Sembako
Artinya bahwa kerusakan-kerusakan yang disebut pada ayat di atas, faktanya disebabkan oleh pandangan hidup materialisme. Ungkapan “mengetahui hal-hal lahiriyah dari hidup dunia” itulah materialisme.
Dan karenanya puasa yang susbtansinya “menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami isteri” itu semuanya bermakna menahan diri dari kecenderungan berpaham materialisme. Puasalah melatih kita bahwa hidup tidak sekedar materi dan fisik. Tapi ada sesuatu yang lebih mendasar namun sering terabaikan. Itulah aspek ruhiyah dalam hidup kita.
Dengan puasa inilah kita membangun fondarsi kehidupan ruhiyah kemanusiaan kita. Sisihkan sementara dorongan nafsu duniawi yang diwakili oleh perut dan bawah perut, agar ruhiyah kita menguat dan tumbuh subur.
Transformasi lain yang menjadi sangat mendasar di bulan puasa ini adalah transformasi karakter (prilaku) manusia. Karakter manusia yang dibangun oleh Islam adalah karakter yang berakhlakul karimah.
Baca Juga: Riska Gelar Anjangsana Sosial di Rumah Belajar Merah Putih Cilincing
Yaitu karakter yang mulia, yang secara universal indah dan tidak mengganggu dalam membangun hubungan antar manusia. Dalam tatanan ajaran agama Islam, karakter mulia ini yang lebih dikenal dengan “akhlak karimah”.
Karakter manusia itu semuanya bermuara dari satu titik. Hitam atau putih prilaku manusia semuanya tergantung kepada suasana hatinya. Sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan: “Sungguh ada segumpal darah dalam tubuh, yang jika baik maka baik pula seluruh anggota tubuh lainnya. Tapi jika rusak maka rusak pula semua anggota tubuh. Itulah hati.”
Puasa sungguh sangat erat kaitannya dengan hati. Ragam amalan dari puasa itu sendiri, qiyam, tilawah dan berbagai amalan lainnya semuanya menumbuh suburkan hati pelakunya.
Oleh karenanya sangat wajar jika hati yang subur itu akan melahirkan karakter yang mulia. Sehingga dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa puasa itu adalah salah satu “kunci” kesempurnaan karakter (makarimul akhlak).
Baca Juga: Masjid Jami’ Aulia Pekalongan Usianya Hampir Empat Abad
Perjuangan menyempurnakan karakter mulia ini, sekaligus menjadi perjuangan dalam menyempurnakan keislaman. Seperti yang dideklarasikan oleh Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.”
Rasul pun mengingatkan kita: “Boleh jadi ada orang yang berpuasa. Tapi yang didapatkan dari puasanya sekedar lapar dan dahaga semata.”
Semoga puasa kita menjadi jalan transformasi wawasan hidup, sekaligus transformasi kepribadian mulia. Amin! (A/R07/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ini Lima Hikmah Puasa Ramadhan Sebagai Pendidikan Ruhiyah