Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Alumni Al-Ahmar Institute Shana’a Yaman
Pada awal perkembangan Islam masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, penduduk Yaman berbondong-bondong masuk Islam, setelah mendengar ada Nabi terakhir di jazirah Arab, di Madinah, dan mereka berbai’at langsung kepada Rasul.
Nabi melihat mereka berbondong-bondong masuk Islam, lalu sebagian besar menetap ke Madinah (waktu itu Yatsrib). Mereka berpindah dari Yaman ke Madinah karena di wilayahnya waktu itu sedang terkena bencana alam, berupa jebolnya bendungan Ma’arib yang dibangun sejak masa ratu Balqis ketika kerajaan Saba masih berjaya. Dua suku besar Yaman yang menetap di Yatsrib adalah suku ‘Aus dan Khazraj
Beberapa sahabat Nabi yang memiliki nasab (asal-usul) dari Yaman antara lain Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Syarhabil bin Hasnah, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Salam, Ubadah bin Shamit, Dahyah al-Kalbi, Tamim ad-Daari, dan lainnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Nabi pun memuji kelembutan hati mereka dalam kalimat, ”Penduduk negeri Yaman telah datang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya”. (H.R. Ahmad).
Hal itulah yang tergambar dari ayat yang kemudian turun, ”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong”. (Q.S. An-Nashr [110] : 1-2).
Berkata Imam Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah ketika menerangkan hadits tentang Yaman, bahwa yang demikian itu merupakan pujian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada penduduk Yaman, dikarenakan mereka adalah kaum yang bersegera dalam beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan baiknya keimanan mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bahkan Nabi menyebutnya lagi, “Iman itu ada pada orang Yaman, hikmah pada orang Yaman dan ketenangan ada pada orang Yaman.” (H.R. Muslim).
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Iman itu ada pada orang Yaman, itu pula yang kemudian mendasari pendirian Universitas Al-Iman (Jami’at Al-Iman) di Shana’a, ibukota Yaman, tahun 1993.
Universitas Al-Iman dengan berbagai jurusan keislaman dan umum, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki 6.000 mahasiswa.
Saat ini, sejak pertempuran kota dan kelompok Houthi menguasai pemerintahan Shana’a, September 2014, kabarnya Universitas Al-Iman ditutup.
Sahabat ke Yaman
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Memperhatikan kesungguhan penduduk Yaman yang secara berbondong-bondong memeluk Islam. Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus beberapa sahabat untuk berdakwah di sana. Di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ke Shana’a (ibu kota Yaman), Mu’adz bin Jabbal ke Taiz (Yaman Selatan) dan Abu Musa Al-Asy’ari ke daerah Zabid, serta sahabat lainnya secara bergiliran.
Sesampainya di sana, mereka bersama penduduk setempat kemudian mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat belajar Islam. Peninggalan bersejarah masjid-masjid itu hingga kini masih berdiri dengan kokoh, yaitu Masjid al-Jami’ al-Kabir yang didirikan oleh Ali bin Abi Thalib, Masjid al-Janad oleh Mu’adz bin Jabbal, serta Masjid Asya’ir oleh Abu Musa Al-Asy’ari.
Ali bin Abi Thalib saat diutus ke Yaman, kemudian membangun Masjid al-Jami’ al-Kabir, di wilayah kota Shana’a.
Masjid ini merupakan masjid tertua di Yaman. Utusan selanjutnya, Nabi mengutus Wabr bin Yuhannas al-Khuzai, untuk melanjutkan risalah dakwah sahabat sebelumnya, Ali bin Abi Thalib.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Rasul kepada Wabr berpesan agar melanjutkan menyeru warga Yaman kepada iman kepada Allah. Sekiranya mereka patuh serta taat, maka ia diminta untuk juga mengajarkan syariat shalat.
Di Yaman, Wabr melanjutkan pembangunan Masjid al-Jami’ al-Kabir yang dibangun awal oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya bangunan diperluas dan direnovasi oleh Khalifah Bani Umayyah, al-Walid bin Abdul Malik. Menurut warga setempat, masjid ini berdiri di atas reruntuhan Istana Ghamdan Bangsa Saba’ yang terkenal di Shana’a.
Pada tahun 2009, Penulis saat mengikuti studi di Al-Ahmar Institut Shana’a, menyempatkan berkunjung ke masjid tersebut. Di dalamnya terdapat sederetan Al-Quran ukuran besar, tulisan tangan ulama terdahulu, untuk dibaca jamaah yang shalat di Masjid itu.
Kompleks bangunan masjid dibuat mengikuti pola bangunan Masjidil Haram di Mekkah al-Mukarramah. Di tengah-tengahnya dibuat bangunan segi empat seperti Ka’bah.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Sahabat lainnya, Mu’adz bin Jabbal, yang masuk Islam pada usia 28 tahun, saat akan diberangkatkan ke Yaman, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkenan memberikan petuahnya, melalui pertanyaan-pertanyaan beliau. Nabi bertanya, “Bagaimana engkau akan menetapkan hukum jika ada suatu perkara yang engkau hadapi di sana nanti?” Mu’adz menjawab, “Aku akan menetapkan hukum berdasarkan Kitabullah”. Lanjut Nabi, “Jika tidak ada dalam Kitabullah?” balas Mu’adz, “Maka aku akan menetapkan dengan hadits Rasulullah”. Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana jika juga tidak ada dalam Sunnah Rasulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak akan berlebihan”. Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan Rasulullah dengannya, sebagaimana yang diridhai oleh Rasulullah”.
Rasulullah saat itu mengantar Mu’adz dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan, dan Nabi pun berkata kepadanya, ” Sungguh, aku mencintaimu“.
Mu’adz bin Jabal diutus ke wilayah Taiz, ujung Yaman Selatan, dan mendirikan Masjid al-Janad di sana. Bangunan masjid ini terletak di antara rumah-rumah penduduk, sehingga tidak terlihat dari kejauhan. Hanya lorong yang memisahkan masjid dengan bangunan yang lain, sehingga tidak ada taman atau tempat parkir di sekitarnya.
Masjid Al-Janad atau ada yang membaca dengan Masjid Al-Jund ditetapkan sebagai bagian dari Kota Budaya di Yaman.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Di masjid ini terdapat perpustakaan yang menyimpan dokumen-dokumen yang diyakini sebagai milik sahabat Mu’adz bin Jabal.
Sahabat berikutnya adalah Abu Musa Al-Asy’ari yang aslinya juga dari Yaman, diutus ke daerah Zabid, Yaman Utara, dan kemudian mendirikan masjid yang disebut dengan Masjid Al-Asy’ari.
Awal masuk Islamnya Abu Musa, adalah ketika ia berhijrah dari Yaman bersama saudaranya Abu Ruhm dan Abu Amir serta sekitar 50 kerabat dan kaumnya.
Rombongan Abu Musa naik perahu kayu hingga tiba di Najasyi, Afrika. Di sana mereka bertemu sahabat Nabi, Ja’far bin Abu Thalib beserta sahabat-sahabat lainnya, yang juga sedang berhijrah ke sana.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Setelah itu, rombongan pun berhijrah ke Madinah, setelah mengetahui Nabi berhijrah ke sana. Saat rombongan Abu Musa sampai di Madinah, Rasul menyambutnya dengan kalimat, “Kalian telah hijrah dua kali, yaitu hijrah ke Najasyi dan hijrah kepadaku.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada orang-orang Yaman, “Hati mereka halus terhadap Islam”.
Ketika rombongan Yaman bertemu para sahabat Nabi, mereka saling berjabat tangan, sebuah kebiasaan yang selama ini tidak ada. Sehingga mulai saat itu, berjabat tangan menjadi sunnah yang diberlakukan Nabi.
Yaman Kini
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Kini Yaman dalam kondisi konflik peperangan, yang berdampak pada kondisi warga sipil dan sekitarnya.
Pemberontakan dan perebutan kekuasaan yang menjurus kepada perang saudara yang sengit setahun terakhir ini menambah kesengsaraan hidup rakyat Yaman. Campur tangan pihak-pihak asing baik yang diminta atau tidak diminta oleh kalangan dalam negeri Yaman justru memperburuk keadaan. Padahal penduduk negeri Yaman digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Pendukuk Yaman telah mendatangi kalian, mereka memiliki hati yang sangat lunak dan jiwa yang sangat lembut. Fiqih adalah Yaman dan hikmah adalah Yaman.” (HR Bukhari).
Kita tentu berharap berbagai pihak terkait Yaman, tidak mudah terprovokasi pihak-pihak ketiga yang ingin mengail di air keruh, dengan mengadu domba sesama umat Islam dan bangsa Yaman serta Arab pada umumnya. Sebab hal itu hanya akan menyebabkan konflik berkepanjangan yang akhirnya hanya merugikan umat, bangsa Yaman dan kawasan Arab sendiri.
Umat Islam di seluruh dunia juga tentu tidak ingin peninggalan peradaban Islam di Yaman, khususnya masjid-masjid yang menandakan peninggalan para sahabat Nabi yang mulia, rusak atau hancur terkena dampak kekerasan di sana. (T/P4/R11)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)