Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RABI’AH AL-ADAWIYAH WANITA ZUHUD SEJATI

Ali Farkhan Tsani - Selasa, 28 April 2015 - 20:38 WIB

Selasa, 28 April 2015 - 20:38 WIB

2119 Views

rabiah ilustrasi fajr literary

ilustrasi Rabi’ah al-Adawiyah (fajr-literary)

Oleh: Risma Tri Utami, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat

Ummu al-Khair bin Isma’il Al-Adawiyah Al-Qisysyiyah atau dikenal dengan Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang sufi muslimah, yang dikenal karena kezuhudan, kesucian dan kecintaannya kepada Allah.

Rabi’ah lahir di kota Basrah, Iraq tahun 94 H. Ia diberi nama Rabi’ah karena merupakan anak keempat (arba’ah) dari empat bersaudara. Rabi’ah dilahirkan dari pasangan suami-isteri yang hidup miskin, bahkan Rabi’ah pun dilahirkan tanpa adanya lampu penerangan.

Kondisi Rabi’ah Muda

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Ketika ayahnya meninggal, ia terpaksa harus berpisah dengan keluarganya, karena kondisi keuangan yang semakin menghimpit. Karena kehidupan yang miskin itulah, sehingga memaksa Rabi’ah untuk hidup sebagai pembantu, dengan berbagai macam penderitaan yang dialami silih berganti.

Ia selalu dikekang dan diperas oleh majikannya. Hal ini membuat Rabi’ah selalu berdo’a kepada Allah untuk meminta petunjuk kepada-Nya, dengan penderitaan yang dialami ini. Rabi’ah tidak pernah menyia-nyiakan waktu luangnya untuk selalu berdo’a di pagi, siang maupun malam hari.

Setiap hari amalan ibadah yang dilakukan Rabi’ah pun semakin meningkat, seperti dengan memperbanyak taubat, dzikir, puasa, serta menjalankan shalat siang dan malam.

Ia melaksanakan shalat sampai meneteskan air mata, karena merasa rindu kepada Allah.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Lama-kelamaan saat majikannya mendengar rintihan Rabiah Al-Adawiyah  saat berdoa. Majikannya melihat ada cahaya yang menerangi bilik Rabi’ah saat beliau berdoa di malam hari.

Hal itulah yang membuat majikannya merasa bahwa Rabi’ah adalah kekasih Allah. Hingga, dari kejadian itu Rabi’ah dibebaskan majikannya. Bahkan diberi pilihan, yaitu mendapatkan semua harta majikannya atau kembali ke kota kelahirannya.

Karena Rabi’ah hidup untuk menjauh dari kekayaan dan kesenangan dunia, maka beliau memilih untuk kembali ke kotanya untuk menjadi sufi dan mendekatkan diri dengan Allah.

Sufi Rabi’ah

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Aliran sufi yang diajarkan Rabi’ah Al-Adawiyah yaitu pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada kekasih Allah. Hakikat tasawufnya adalah hubbullah, mencintai Allah.

Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.

Mahabbah Rabiah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Allah. Perkembangan ajarannya terus berkembang selama kurun waktu 713-801 M.

Rabiah adalah seorang zahidah (wanita zuhud) sejati. Ia memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya.

Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dan mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa.

Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya.

Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap esensi Allah tanpa hijab.

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.

Ada beberapa pokok pemikiran dari Rabi’ah, di antaranya yaitu : hidup atas dasar zuhud, dan mengisinya dengan selalu beribadah kepada Allah, serta menjadikan Allah tumpuan cintanya.

Ia mengatakan, “Aku tinggalkan cintanya Laila dan Su’da mengasingkan diri dan kembali bersama rumahku yang pertama. Dengan berbagai kerinduan mengimbauku, Tempat-tempat kerinduan cinta abadi”.

Selain itu cinta Rabi’ah Al-Adawiyah adalah cinta abadi kepada Tuhan yang melebihi segala yang ada, cinta abadi yang tidak takut pada apapun walau pada neraka sekalipun.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Pernyataan Rabi’ah Al-Adawiyah yang terkenal ialah “Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani. Jasadku biar bercengkrama dengan tulangku, Isi hati hanyalah tetap pada-Mu jua.”

Ibadah yang Rabi’ah Al-Adawiyah tegakkan baik siang dan malam, semata-mata karena cintanya kepada Allah. Sebagaimana pernyataannya “Sekiranya aku beribadah kepada Engkau Karena takut akan siksa neraka, biarkanlah neraka itu bersamaku. Dan jika aku beribadah karena mengharap surga, maka jauhkanlah surga itu dariku. Tetapi bila aku beribadah karena cinta semata, maka limpahkanlah keindahan-Mu selalu…”.

Ibu Para Sufi

Rabi’ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Kezuhudan Rabi’ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi’ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.

Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi’ah pergi mengembara di padang pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal. Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah.

Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi’ah adalah Malik bin Dinar (wafat 748 / 130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H).

Rabi’ah hanya tidur sedikit di siang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat. Hingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah. Rabi’ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah.

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang isteri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi’ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.

Rabi’ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah. Meskipun tidak menikah, Rabi’ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab tidak ada Rahbaniyah dalam syariat Islam.

Rabi’ah memilih untuk tidak menikah semata-mata karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak, karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah.

Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi’ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi’ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

makam rabiah ellorukaini

Makam Rabi’ah al-Adawiyah di Irak (foto: ellorukaini)

Akhir hidup

Sekembalinya Rabi’ah dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi’ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya.

Rabi’ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama.

Menjelang kematiannya, banyak orang-orang shaleh ingin mendampinginya, namun Rabi’ah menolak. Rabi’ah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak. Makamnya hingga kini banyak dikunjungi peziarah dar berbagai negeri.

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

Keutamaan-keutamaan Rabi’ah al-Adawiyah dapat disimak di beberapa pustaka, antara lain Rabi’ah al-Adawiyah dan Mabuk Cintanya kepada Sang Khalik karya Abdul Mun’im Qandil, Kisah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah (Syaikh Utsman al-Khaubari), Rabi’ah al-Adawiyah Cinta Allah dan Kerinduan (Dr. Makmun Gharib). Dari berbagai sumber. (T/ima/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Sosok