Ramadhan Bulan Empati dan Solidaritas

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)

Hakikatnya, ibadah puasa bukan sekedar menahan haus dan lapar. Namun melatih kita agar bisa membangun , kasih sayang dan kepada sesama. Bukan sekedar dalam dimensi konsumtif dan ekonomi. Tapi seluruh aspek kehidupan menunjukkan hal itu.

Empati dapat dimaknai sebagai kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan juga membayangkan diri sendiri berada di posisi orang lain.

Dalam hal ini, puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk memahami apa yang dirasakan orang yang lapar, dan membayangkan diri sendiri pada posisi orang yang memerlukan bantuan.

Maka, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sangat menganjurkan umat untuk meningkatkan dan menyegerakan bersedekah, berbagi, pada bulan suci Ramadhan ini.

Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan contoh bagaimana kecepatan bersedekahnya digambarkan melebihi kecepatan angin. Artinya, begitu bersegera tanpa menunda-nunda habis masa Ramadhan.

Adapun solidaritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia  (KBBI) mempunyai arti sifat satu rasa, senasib, setia kawan.

Terkait dengan empati dan solidaritas ini, disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika kita hayati kembali, hadits ini memberikan gambaran tentang kekuatan solidaritas di kalangan umat Islam berlandaskan pondasi keimanan.

Secara luas sesuai prinsip universalitas Islam, maka hadits ini pula menguatkan solidaritas kemanusiaan. Disebutkan pula prinsip interaksi solidaritas itu tercakup dalam upaya saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berempati.

Kesemuanya menyatu dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan, bagaikan satu badan yang saling merasakan, apa yang dirasakan anggota bada lainnya. Misalnya jika kaki tersandung batu dan terluka. Darah mengalir, mulut meringis, sekujur tubuh ikut merasakan sakitnya. Tangan pun mengusapkan obat ke luka. Begitulah wujud empati dan aksi solidaritas.

Pada hadits disebutkan, “Sesama orang Islam itu bersaudara. Ia tidak menganiayanya dan tidak pula membiarkannya teraniaya. Siapa yang menolong keperluan saudaranya, Allah akan menolong keperluannya pula. Siapa yang menghilangkan kesusahan orang lain, Allah akan menghilangkan kesusahannya di hari kiamat. Siapa yang menutup rahasia orang, Allah akan menutup rahasianya di hari kiamat nanti.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Begitulah, persaudaran dan solidaritas sesama manusia, khususnya sesama Muslim begitu dijunjung tinggi dalam Islam. Bahkan, persaudaraan dan solidaritas tersebut melebihi dari persaudaraan yang terbentuk dari nasab atau keluarga.

Dengan adanya ikatan yang kuat itulah, Islam tidak memandang dari mana seseorang berasal. Ketika sesama manusia atau sesama Muslim membutuhkan bantuan, maka umat Islam wajib untuk membantu. Selama tidak untuk kesyirikan dan kemudharatan.

Terlebih solidaritas terhadap saudara-saudara Muslim, yang mereka juga adalah manusia, yang terjajah, terzalimi dan terpenjara di bumi  Palestina, oleh pendudukan zionis Israel. Termasuk nasib Muslimin yang terdzalimi di Kashmir, Uighur, Rohingya, dan di negeri-negeri lainnya.

Maka, empati dan solidaritas itu wajib diwujudkan adanya oleh kaum Muslimin, bahkan manusia yang masih memiliki jiwa kemanusiaan, di belahan bumi manapun.

Sekali lagi, puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk bertindak empati dan beraksi solidaritas terhadap sesama manusia yang memerlukannya. Semoga. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.