Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ramadhan Sebagai Bulan Transformasi

sajadi - Selasa, 12 Maret 2024 - 07:21 WIB

Selasa, 12 Maret 2024 - 07:21 WIB

3 Views

Oleh: Shamsi Ali, Imam/Direktur Jamaica Muslim Center New York, Amerika Serikat

Transformasi hati dan jiwa atau tepatnya tazkiyah an-nafs (pembersihan jiwa) menjadi fondasi bagi terjadinya transformasi dalam kehidupan manusia, baik pada tataran personal (fardi), keluarga dan komunitas (umat). Tanpa hati dan jiwa yang bersih ke semua sisi kehidupan menjadi buruk dan amburadul.

Sekali lagi, itulah makna dari titah baginda: “pada tubuh manusia ada segumpal darah yang jika baik akan baik semua anggota tubuhnya. Tapi jika buruk maka akan buruk semua anggota tubuhnya” (hadits).

Urgensi menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan transformasi akhlak. Bulan di mana setiap orang yang melakukan puasa, tidak saja untuk tujuan ritual dengan perhitungan pahala. Tapi sekaligus bulan di mana orang yang berpuasa itu melakukan “pelatihan” akhlak yang mulia.

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Memang secara legal (hukum fiqh) puasa seolah sekedar menahan makan, minum dan hubungan suami isteri. Tapi hakikatnya puasa adalah latihan terutama menahan diri dari segala perilaku yang tidak sesuai etika. Etika itu esensinya ada pada hakikat. Karenanya fiqh tanpa akhlak adalah hambar. Sebagaimana hukum tanpa etika juga hilang nilai (value).

Dengan menahan diri dari kesenangan dunia di siang hari seseorang harusnya mampu mengingatkan diri bahwa di atas dari eksistensi fisikal (material) ini ada nilai yang lebih tinggi. Hal ini akan mengingatkan pentingnya menjaga nilai itu. Kejujuran, ketawadhuan, dan semua perilaku kebaikan (kindness) itu bagian dari nilai yang terangkum dalam tatanan akhlak manusia. Sebaliknya keculasan, kecurangan, arogansi, ketamakan dan kekikiran semuanya adalah nilai buruk yang melanggar tatanan perilaku mulia (akhlak karimah) itu.

Sesungguhnya akhlak dalam tatanan ajaran agama (Islam) menjadi intisarinya (essence). Beragama tanpa akhlak bagaikan pohon yang tak berbuah (kasyajar bilaa tsamar). Akhlak lah yang menjadi cerminan dari nilai-nilai keimanan dan ubudiyah. Dan karenanya iman tanpa akhlak dipertanyakan. Sebagaimana ibadah-ibadah ritual tanpa akhlak menjadi hampa.

Hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam banyak mengingatkan pentingnya nilai ibadah-ibadah diaplikasikan dalam bentuk prilaku yang baik (akhlak karimah). Puasa misalnya terancam hampa ketika seseorang menahan makan dan minum tapi tidak menjaga perkataan dan perbuatannya. Puasa yang seperti ini hanya akan menghasilkan lapar dan dahaga semata (hadits).

Baca Juga: Memahami Makna Hidup Berjama’ah

Sedemikian pentingnya akhlak karimah itu sehingga Rasulullah seolah menyimpulkan misi kerasulannya (dakwahnya) dengan “akhlak karimah”. Sebagaimana beliau tegaskan: “sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak” (hadits).

Beliau bahkan menggariskan bahwa faktor terbesar seseorang itu masuk syurga karena akhlak yang baik (husnul khuluq). Sebaliknya seseorang yang buruk akhlak, walau ibadah ritualnya banyak, akan bangkrut dan akhirnya masuk neraka (hadits al-muflis).

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sendiri dengan segala ketinggian Iman dan ibadah-ibadahnya justeru secara khusus terpuji dalam Al-Quran bukan dengan semua itu. Justeru Allah memujinya karena kemuliaan akhlak beliau: “sesungguhnya Engkau memiliki akhlak yang tinggi (khuluqin ‘adzim)”.

Akhlak karimah atau karakter mulia ini menjadi titik sentra (pusat) ketauladan baginda Rasulullah yang wajib ditauladani: “sungguh bagi kalian pada Rasulullah ada uswah hasanah (ketauldanan yang baik)”.

Baca Juga: Larangan Memberikan Loyalitas dan Pertemanan dengan Yahudi

Sayangnya umat Islam seringkali membatasi diri dalam meneladani Rasulullah pada aspek-aspek ubudiyah semata. Shalat, puasa, haji dan ragam ritual menjadi perhatian besar. Namun ketauladanan pada karakter dan perilaku sosial Rasulullah terabaikan. Di masjid-masjid shalat jamaah menjadi ramai. Tapi di samping-samping masjid betapa banyak saudara-Saudara yang kelaparan tanpa ada uluran tangan. Hal yang sejatinya terancam sebagai “kedustaan dalam beragam” (Al-Ma’un).

Di bulan Ramadhan umat mampu menahan diri dari makan dan minum. Tapi lidah, mata, telinga dan pikiran melanggar semua norma dan etika yang digariskan Islam. Umat Islam mampu menahan diri tidak makan dan minum. Tapi jiwa dan pikiran masih dikuasai oleh kerakusan duniawi. Termasuk kerakusan kepada kekuasaan melalui berbagai pengangkangan peraturan dan etika.

Semoga di bulan Ramadhan ini kita mampu melakukan pembenahan akhlak dan karakter ke arah yang lebih baik. Amin! (AK/RE1/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Bahaya Sifat Egois

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Internasional