Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Reffleksi 108 Tahun Deklarasi Balfour, Pendudukan Semakin Brutal

Ali Farkhan Tsani Editor : Rudi Hendrik - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Balfour (MWC News)

SATU abad lebih, atau 108 tahun berlalu, tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris) Arthur James Balfour, menulis secarik kertas kontroversial, yang kemudian dijadikan dalih bagi orang-orang Yahudi-Diaspora untuk menyerbu dan kemudian menduduki tanah Palestina dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.

Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia (World Zionist Organization), agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.

Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris, yang bukan pemilik tanah Palestina,  mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, yang juga bukan pemiliknya.

Isi surat yang hanya dengan 67 kata ditandatangani oleh Balfour, sebagai berikut isisnya, dikutip dari sumber Wikipedia.

Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi

Departemen Luar Negeri 2 November 1917

Lord Rothschild yang terhormat,

“Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.

Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”

Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an

Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.”

Salam, Arthur James Balfour.

Berdasar secarik surat itu, Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby, Panglima Tertinggi Pasukan Inggris,  kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan.

Ribuan sukarelawan Yahudipun membonceng,  bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian menduduki Palestina pada Desember 1917. Jadi, hakikat pendudukan sudah dimulai sejak 1917 ini.

Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina

Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsa dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.

Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionis Internasional yang didirikan oleh Theodor Herzl tahun 1897, mulai mendorong migrasi bertahap kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.

PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 181 tanggal 29 November 1947 tentang pembagian Palestina untuk negara Arab (Palestina) dan Yahudi (the partition of Palestine into Arab and Jewish states).

Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir

Inilah tanggal tragedi yang diformalkan ketika Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 181, yang menyerukan pembagian wilayah Mandat Palestina menjadi tiga, untuk Yahudi, Arab Palestina dan internasional, setelah berakhirnya Mandat Britania atas Palestina.

Resolusi itu disebut ‘United Nations Partition Plan for Palestine’ yang berisi rekomendasi pembagian Palestina setelah Inggris menarik kekuasaannya. Secara kasar pihak Yahudi mendapat sekitar 55% dari area total tanah sementara pihak Arab mendapatkan 45%.

Merasa mendapatkan angin segar dari PBB, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan ‘Negara Israel’ secara sepihak, pada 14 Mei 1948,

Rentang masa 108 tahun surat kontroversial Balfour itu (2 November 1917) dan kini 2 November 2025, disebut sebagai era pendudukan, penjajahan dan pembersihan etnis Palestina dari negerinya sendiri.

Baca Juga: Kesaksian tentang Keperkasaan Rakyat Gaza

Zena Al-Tahhan, jurnalis dan produser Al-Jazeera menyatakan, Deklarasi Balfour telah mengubah tujuan Zionis untuk membangun sebuah negara Yahudi di Palestina menjadi sebuah kenyataan ketika Inggris berjanji untuk mendirikan sebuah “rumah nasional untuk orang-orang Yahudi” di sana.

Menurutnya, ini dianggap sebagai salah satu dokumen paling kontroversial dan diperebutkan dalam sejarah modern dunia Arab.

“Kasus Palestina, bagaimanapun, adalah unik. Tidak seperti mandat pascaperang lainnya, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi untuk pembentukan rumah nasional Yahudi. Padahal komunitas Yahudi saat itu kurang dari 10 persen populasi,” lanjutnya.

Nyatanya, setelah pemberian mandat itu, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.

Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!

Kini, 108 tahun berlalu, penindasan penjajahan itu masih saja berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.

Bahkan geosidan, pembersihan etnis tanpa pandang bulu, ke anak-anak, perempuan dan lanjut usia, di Jalur Gaza, semakin brutal.

Deklarasi Balfour telah memberi dampak terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.

Namun kini, seiring dengan perkembangan jaman, pakar hukum mulai meyakini bahwa Deklarasi Balfour tidak sah secara hukum. Karena itu, segala sesuatu yang dihasilkannya, dan segala sesuatu yang mendasarinya, adalah salah.

Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global

Para ahli hukum internasional percaya bahwa Deklarasi Balfour tidak mempunyai status mengikat secara hukum, karena bersifat pernyataan unilateral, tanpa kewajiban terkait, dan hanya diterbitkan dalam bentuk surat yang ditujukan oleh Menteri Luar Negeri Inggris kepada entitas lain. Pernyataan ini tidak berstatus perjanjian atau kontrak internasional.

Kehadiran Inggris di Palestina hanyalah sebuah pendudukan, dan pendudukan atau mandat tersebut tidak mempunyai hak untuk menyerahkan atau membagikan tanah atau wilayah yang diduduki kepada entitas lain. Palestina pun bukan milik Inggris, jadi bagaimana Inggris memberikannya kepada pihak lain?

Pemerintah Inggris dalam banyak kesempatan mengumumkan bahwa tujuan pendudukannya adalah untuk membebaskan Palestina dari Kekuasaan Ottoman (Turki Utsmani) dan mendirikan pemerintahan nasional di sana. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung

Rekomendasi untuk Anda