Jakarta, MINA – Dua tahun telah berlalu sejak pecahnya peristiwa bersejarah pada 7 Oktober 2023 yang dikenal sebagai Badai Al-Aqsa. Momentum itu bukan sekadar bentrokan bersenjata, melainkan titik balik yang mengguncang politik global dan membuka mata dunia terhadap wajah asli kolonialisme modern bernama Israel.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, dalam refleksi tertulisnya, Ahad (5/10), menegaskan bahwa sejak peristiwa tersebut, Israel kehilangan legitimasi moral dan politik. Dunia menyaksikan genosida yang dilakukan rezim Tel Aviv di Gaza, berupa penghancuran rumah sakit, pembunuhan anak-anak, hingga blokade bantuan kemanusiaan. Fakta itu, menurutnya, menjadi bukti nyata runtuhnya moralitas Israel dan sekutunya.
“Dua tahun setelah Badai Aqsa, dunia menyaksikan bukan hanya reruntuhan Gaza, tetapi juga runtuhnya keangkuhan Israel dan bangkitnya kesadaran nurani kemanusiaan. Israel boleh menghancurkan bangunan, tetapi tidak akan pernah bisa menghancurkan semangat rakyat Palestina,” pungkas Prof. Sudarnoto.
Dua tahun kemudian, Israel semakin terpojok di mata internasional. Rezim Zionis itu kini dipandang sebagai common enemy bagi mayoritas negara anggota PBB dan masyarakat sipil global. Jutaan orang dari Jakarta, London, New York hingga Johannesburg turun ke jalan menyerukan satu pesan: akhiri penjajahan, bebaskan Palestina.
Baca Juga: Sukamta Sentil Elon Musk: Netflix Disorot, tapi Twitter/X Justru Jadi Sarang Konten Terlarang
Namun, di balik penderitaan, rakyat Gaza justru menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Mereka tidak menyerah pada kehancuran, tidak tunduk pada ketakutan, dan tetap menjaga martabat. “Keteguhan rakyat Gaza di saat paling gelap justru menjadi cahaya bagi kemanusiaan,” ujar Sudarnoto.
Menurutnya, dari reruntuhan Gaza lahir gelombang solidaritas global. Gerakan masyarakat sipil, lembaga kemanusiaan, akademisi, tokoh agama, hingga parlemen dunia bersatu menegaskan bahwa penjajahan dan genosida tidak bisa lagi ditoleransi. Indonesia sendiri, dengan landasan konstitusi yang menolak segala bentuk penjajahan, berada di garis terdepan dalam mendukung perjuangan Palestina melalui diplomasi, advokasi, hingga aksi kemanusiaan.
Sudarnoto juga mengingatkan adanya manuver politik baru Israel melalui skema Abraham Shield Plan yang digagas Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Menurutnya, rencana ini hanyalah jebakan geopolitik untuk memperluas legitimasi Israel di dunia Islam. Indonesia diminta waspada dan menolak setiap bentuk normalisasi yang justru memperpanjang penjajahan.
Di sisi lain, Hamas mulai menunjukkan kedewasaan politik dengan membuka ruang diplomasi, bahkan menerima sebagian poin dari proposal internasional. “Ini bukti bahwa perjuangan Palestina bukan fanatisme, melainkan komitmen terhadap kemanusiaan dan keadilan,” jelasnya.
Baca Juga: Kemenkomdigi Cabut Pembekuan TDPSE Tiktok, Tegaskan Komitmen Jaga Ruang Digital Sehat
Dalam refleksinya, Sudarnoto menyampaikan sejumlah rekomendasi. Untuk pemerintah Indonesia, ia menekankan pentingnya meningkatkan tekanan diplomatik agar PBB menjatuhkan sanksi kepada Israel, memperluas pengakuan internasional terhadap Palestina, serta menolak keterlibatan dalam skema normalisasi Israel. Indonesia juga perlu memimpin inisiatif global untuk rekonstruksi Gaza dan mendorong Palestina menjadi anggota penuh PBB.
Sementara untuk masyarakat sipil, ia mendorong penguatan solidaritas global, gerakan boikot produk pendukung pendudukan (BDS Movement), edukasi publik, serta koordinasi dengan lembaga kemanusiaan internasional. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 3.617 Warga Sindang Jaya Terjangkit ISPA Akibat Pembakaran Sampah Ilegal