Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Refleksi Hari Pahlawan: Bung Tomo dan Kalimat Takbir

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 10 November 2021 - 18:29 WIB

Rabu, 10 November 2021 - 18:29 WIB

114 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Wartawan Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

“Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.” (Bung Tomo, 1945).

Sebelum pertempuran dahsyat tanggal 10 November 1945, pemuda Surabaya Bung Tomo (Sutomo) bin Kartawan Tjiptowijojo menyempatkan diri menemui Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) kala itu.

Bung Tomo meminta ijin kepada Kiai Hasyim untuk membaca pidato yang merupakan manifestasi Resolusi Jihad, seruan para kiai NU pada 22 Oktober 1945.

Baca Juga: Beberapa Wilayah di Jateng Diprediksi Hujan Ektrem pada 8-9 September

Pada tanggal itu, para ulama yang terdiri dari wakil-wakil daerah (konsul) dari Perhimpunan Nahdhatul Ulama (NU) seluruh Jawa dan Madura mengadakan Rapat Besar di Surabaya.

Dalam Rapat Besar itu dikumandangkanlah Resolusi Jihad kepada pemerintah Republik Indonesia, yang menunjukkan betapa besar hasrat umat Islam dan ‘Alim Ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka.

Bagi ‘alim ulama saat itu menegaskan bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, adalah termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam.

Bung Tomo Muda

Baca Juga: Peringatan Setahun Kasus Rempang, Warga Gelar Doa Bersama

Sutomo lahir di Surabaya tanggal 3 Oktober 1920, wafat tanggal 7 Oktober 1981. Ia adalah putera sulung dari enam bersaudara pasangan Kartawan Tjipwidjojo dan Subastita.

Kartawan Tjiptowidjojo, ayah Bung Tomo, memiliki pertalian darah dengan beberapa pengikut dekat Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pimpinan Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode 1825-1830.

Sedangkan Subastita, ibu Bung Tomo, perempuan berdarah Jateng, Sunda dan Madura, adalah anak distributor lokal mesin jahit, yang menjadi anggota Sarikat Islam (SI).

SI sebelumnya Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh Haji Samanhudi, organisasi yang pertama lahir di Indonesia. Tahun 1906 pada kongres pertama SDI berubaha menjadi SI.

Baca Juga: LTM PBNU Gelar Pelatihan Digital untuk 400 Takmir Masjid Se-Jabodetabek

Tahun 1912, era kepemimpinan HOS Tjokroaminoto memperluas misi SI menjadi yang sebelumnya berkecimpung pada perdagangan, ekonomi dan sosial, menjadi lebih luas ke arah perjuangan politik dan agama.

Dari sini terlihat darah dan lingkungan perjuangannya mengalir dalam diri Bung Tomo.

Semasa mudanya, Bung Tomo banyak beraktivitas sebagai wartawan. Ia di antaranya menjadi wartawan lepas untuk harian Soeara Oemoem, harian berbahasa Jawa Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Ia kemudian mulai bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial.

Baca Juga: 20 Tahun Pembunuhan Munir, Amnesty Internasional Desak Pemerintah Tuntaskan Kasus

Ia bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Pada usia 17 tahun, ia berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Satu orang sebelumnya adalah Soedirman.

Bung Tomo muda juga aktif melakukan berbagai pekerjaan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu, termasuk Indonesia yang baru merdeka.

Bung Tomo juga giat belajar dengan menyelesaikan pendidikan HBS lewat korespondensi.

Hingga kemudian Bung Tomo pada masa revolusi fisik, diangkat oleh pemuda seperjuangannya di Surabaya menjadi Ketua Umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).

Baca Juga: Ribuan Jamaah Ikut Shalat Jenazah Tu Sop Di Masjid Raya Baiturrahman

Melalui BPRI inilah Bung Tomo melawan sekutu saat mendarat di Surabaya pada Oktober 1945, sampai pecah pertempuran 10 November 1945.

Kalimat Takbir

Dalam pertempuran Surabaya yang menentukan, berkah Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), mendorong semangat jihadnya melawan sekutu dengan mengumandangkan kalimat Takbir “Allahu Akbar!”.

Melalui corong radio yang ia dirikan, Bung Tomo menggelorakan semangat juang rakyat. Kala itu Bung Tomo mengatakan kepada para pemimpin lokal di Surabaya, bahwa ia mendapat izin untuk mendirikan radio dari Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin Harahap. Padahal saat bertemu Amir Syarifudin di Jakarta, izin itu tidak diberikan.

Baca Juga: PB HUDA Ajak Masyarakat Aceh Shalat Jenazah Tu Sop di Masjid Raya Baiturrahman

Bung Tomo terpaksa harus mendirikan radio perjuangan yang ia sebut sebagai Radio Pemberontakan RI, untuk menyiarkan berita-berita perjuangan. Apalagi waktu itu pasukan Sekutu datang pada 30 September 1945, yang diboncengi para tentara Belanda. Apalagi ia juga memperhatikan bendera Belanda berkibar di mana-mana. Sementara, Presiden Bung Karno meminta para pemuda untuk menahan diri dan tidak memulai konfrontasi bersenjata melawan sekutu.

Bung Tomo saat itu masih berstatus wartawan kantor berita ANTARA. Ia juga kepala bagian penerangan Pemuda Republik Indonesia (PRI), organisasi terpenting dan terbesar di Surabaya saat itu.

Namun kemudian ia keluar dari ANTARA dan PRI, lebih memilih aktif melalui Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).

Melalui BPRI inilah Bung Tomo melawan sekutu saat mendarat di Surabaya pada Oktober 1945, sampai pecah pertempuran 10 November 1945.

Baca Juga: Tiga Suspek Baru Mpox Ditemukan Lagi di Jakarta dan Jabar

Bung Tomo membangkitkan semangat juang Bangsa Indonesia dalam menghadapi pendaratan Tentara Sekutu Inggris (AFNEI) dan Belanda (NICA) yang akan kembali menjajah negeri, dengan senantiasa menutup pidato perlawanannya di radio dengan mengucapkan takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”.

Tokoh pejuang Muslim, Muhammad Natsir, yang selama masa pendudukan Jepang, bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (kemudian menjadi Masyumi) memberikan penjelasan mengapa Bung Tomo harus meneriakkan “Allahu Akbar” dalam menutup setiap pidatonya di Radio Pemberontakan.

Ia mengatakan, karena Bung Tomo memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela tanah air dan bangsa serta agama dari ancaman tentara Sekutu dan Belanda, tidak lain adalah Ulama dan umat Islam.

Banyak ulama yang kemudian turun langsung ke medan perang Surabaya saat itu, ikut memimpin jalannya pertempuran, di antaranya, Hadratusysyaikh Rois Akbar KHM Hasyim Asy’ari dari pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur, KH Asyhari dan Kiai Tanggul Wulung dari Jogjakarta, KH Abbas dari pesantren Buntet Cirebon dan KH. Mustafa Kamil dari Partai Syarikat Islam Garut Jawa Barat.

Baca Juga: Syekh Muraweh: Pendudukan Zionis atas Al Aqsa Aib Bagi Umat Muslim

Melalui radio miliknya, Bung Tomo pernah berpidato, di antaranya yang terkenal adalah, “Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstermis. Kita yang memberontak dengan penuh semangat revousi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi. Tuhan akan melindungi kita. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!…”

Kalimat lain Bung Tomo yang melegenda adalah,“Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.”

Begitulah semangat perjuangan dan pertempuran Bung Tomo dengan teriakan takbirnya dalam menghadapi pasukan musuh yang hendak menjajah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Allahu Akbar!”. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Agus Idwar: Dakwah Harus Optimal agar Hasilnya Maksimal

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
MINA Millenia
MINA Sport
MINA Health
Asia
Indonesia