Oleh: Moehammad Amar Ma’ruf, Diplomat Senior Kementerian Luar Negeri RI
Bulan Juli 2023, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gueteres mengingatkan pimpinan dan masyarakat dunia tentang suhu terpanas yang terjadi di bulan Juli 2023 ini. Suhu itupun tercatat sebagai suhu terpanas sepanjang sejarah.
Tidak jauh berselang, baru-baru ini pun masyarakat kota Jakarta diingatkan oleh berbagai pemberitaan yang merujuk hasil riset suatu organisasi penghasil produk teknologi pengamat kadar lingkungan udara tentang tingginya tingkat polusi udara di kota Jakarta. Bahkan organisasi ini menobatkan Kota Jakarta merupakan kota tertinggi tingkat polusinya di dunia.
Kedua peringatan ini tentunya sudah menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan di dunia umumnya dan juga di kota Jakarta bahkan di Indonesia, khususnya terkait dampak energi pembakaran yang berbasis fosil.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Langkah penekanan emisi pun pada dasarnya sudah secara terus menerus dilakukan oleh pemerintah setempat bersama sekelompok masyarakat pencinta lingkungan untuk hidup lebih sehat dan hemat bahan bakar khususnya yang berasal dari bahan bakar fosil dan menggantinya dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Peringatan di atas semakin signifikan dampaknya mengingat isu agenda pembangunan berkelanjutan dalam sejumlah pertemuannya telah mencanangkan bahwa pemanfaatan energi alternatif/ramah lingkungan bagi negara-negara seyogyanya harus sudah terlaksana sesuai dengan komitmen Sustainable Development Goal 2030 dengan 17 Goals-nya.
Secara kategori Indonesia termasuk negara berkembang yang saat ini sedang mengejar target pemanfaatan energi ramah lingkungan sebesar 23 persen pada 2025 dan bila bekerja sama dengan pihak internasional, diberikan target hingga 40 persen dalam bauran penggunaan energi nasional yang sebagian besar masih bergantung pada energi fosil.
Bagi Indonesia, khususnya Jakarta, kondisi udara di atas sebetulnya juga berkaitan erat dengan lonjakan penduduk yang dibarengi tuntutan industrialisasi di dalam dan sekitar kota-kota yang seperti Jakarta ditambah adanya perubahan fungsi pemanfaatan lahan dan perhutanan. Perubahan fungsi ini mempengaruhi keragaman hayati nasional yang tercatat di dunia sebagai negara yang terkaya keragaman hayatinya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Perkembangan cuaca di Indonesia memang tidak terpisah dengan perkembangan cuaca di dunia yang sejak beberapa dekade lalu telah diperingatkan akan dampak pertumbuhan penduduk dan industrialisasi yang berbasis energi fosil. Bahkan pernyataan yang sangat challenging juga dilontarkan oleh Sekjen PBB kepada pemimpin dunia pada pembukaan pertemuan ke-74 (2019) Majelis Umum PBB bahwa pemimpin dunia gagal mengatasi perubahan iklim walaupun dunia masih mempunyai waktu untuk mengubah efek global ini dan peringatan itu kembali ditekankan pada Juli 2023, Sekjen PBB, Antonio Gueteres, yang menyatakan bahwa duniaencatat bahwa pada Juli 2023 merupakan periode terpanas sepanjang sejarah. Momen ini menjadikan upaya untuk mempertahankan kenaikan suhu bumi pada batas 1.5 Celsius semakin tertantang bahwa sangat mengerikan bila tidak dilakukan langkah-langkah nyata terkait penyesuaian pengelolaan industri berbahan bakar fosil.
Pada saat bersamaan kekhawatiran masyarakat dunia pun semakin dipertebal dengan adanya konflik, baik konflik yang belum terselesaikan pasca pembubaran Liga Bangsa-Bangsa hingga konflik yang terjadi pada abad ke-21 ini maupun masalah keterbelakangan negara-negara di belahan dunia akibat kemiskinan yang diantaranya akibat ketimpangan sistem keuangan dunia.
Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya migrasi yang abnormal dan menciptakan ketidakpastian persediaan bahan pangan dan energi serta ketergantungan ekonomi dan keuangan sebagian negara kepada negara. Dunia pun yang masih dibayangi oleh ancaman pandemi wajah baru dari Covid 19 seakan-akan menjadi ancaman laten yang mengiringi konflik-konflik yang berbasis perebutan pengaruh, wilayah dan sumber daya alam.
Situasi di atas menjadi permasalahan yang harus diketahui semua kalangan dan harus segera dibenahi. Pembenahannya pun harus dilakukan secara kolaboratif antar para pemangku kepentingan baik di tingkat multilateral, regional maupun di masing-masing nasional dan daerah pada segala tingkatan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Langkah pembenahan ini harus sejalan dan searah untuk semua pemenuhan hak semua kalangan yang di dalamnya menyangkut berbagai aspek kehidupan. Guna menuntun ke arah yang tepat dan kuat tentunya kebutuhan dan peran masyarakat kebanyakan menjadi perhatian dan prioritas. Masyarakat kebanyakan disini adalah masyarakat yang memang kehidupannya sangatlah bergantung pada kearifan alam setempat dan masyarakat yang termarginalkan yang pada dasarnya merupakan pihak yang sangat terdampak dan harus menjadi prioritas pelayanan publik.
Fenomena ini pun semakin nyata dan menimbulkan wajah kelesuan ekonomi. Terlebih lebih negara yang tergolong Least Developing Countries/LDC sekitar 40 negara telah terperangkap hutang. Pada pertemuan beberapa bulan lalu di Doha, Sekjen PBB, Antonio Gueteress juga mengecam negara-negara kaya di dunia dan raksasa energi karena dipandang mencekik negara-negara miskin dengan suku bunga “predator” dan harga bahan bakar yang melumpuhkan.
Permasalahan di atas menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin dan warga dunia untuk kembali menata gaya hidupnya yang awalnya mungkin jauh dari keramahan terhadap alam dan juga energi yang berkelanjutan. Hal di atas pun sangat lah tidak mudah mengingat perkembangan dunia informasi pun semakin cepat dan membuat masyarakat semakin mudah secara sepihak mengelola informasi yang ada dan diterima. Perkembangan ini pun bisa memberikan dampak negatif terhadap pemikiran masyarakat dan gaya hidup yang sekiranya tidak dibatasi oleh norma-norma agama, sosial dan kepatuhan, maka akan membawa kekisruhan baru yang bersifat lebih massif dan cepat.
Catatan-catatan di atas pun tentunya menjadi suatu rujukan bagi para pemimpin dunia dan warga dunia yang turut tergerak untuk turut berkontribusi di mulai dari tataran daerah, nasional maupun global dengan memanfaatkan peluang pada fora pertemuan baik forum daerah, lintas daerah, bilateral, regional maupun multilateral untuk sama-sama menyuarakan kepentingan kemanusiaan yang berbasis pada kesejahteraan bagi semua kalangan dan paling tidak mempunyai efek global (meneteskan peluang kesejahteraan ke berbagai wilayah dan kalangan or generate social welfare)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Dalam konteks pergaulan internasional, masyarakat dunia baik yang ada di wilayah suatu negara, kawasan maupun di tingkat global diajak untuk menyikapi berbagai pertemuan penting baik di wilayahnya bahkan di dunia.
Dalam konteks sebagai anggota masyarakat internasional yang beradab, pertemuan yang tidak saja yang akan terjadi di lingkup ASEAN untuk para pemimpin ASEAN maupun yang terjadi di tingkat dunia seperti Forum Majelis Umum PBB, forum Pertemuan Internasional bertemakan Pembangunan Berkelanjutan yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada September 2023 atau pun pada fora dalam lingkup Organisasi Kerja Sama Islam/OKI, Kelompok 77, Kelompok Gerakan Non Blok, G20, OECD maupun Pertemuan-Pertemuan Organisasi Internasional Lainnya di Bidang Teknis.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri catatan dan berbagai agenda pimpinan dunia pun patut disimak tidak hanya substansi yang akan dibahas harus benar-benar mengakomodasi kepentingan publik tetapi juga fora di atas selayaknya sudah semakin memberikan peluang bagi dialog kemitraan dengan berbagai kalangan baik kalangan pemerintah maupun non pemerintah/Lembaga swadaya masyarakat.
Momen ini semakin menjadi penting mengingat usia Kemerdekaan Republik Indonesia akan memasuki usia ke-78, masyarakat Indonesia perlu semakin menyadari kiprahnya dalam berkontribusi bagi negeri yang kita jaga bersama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Walaupun usia ini masih tergolong belum lama dibandingkan negara-negara ekonomi maju lainnnya namun demikian kebhinekaan Indonesia dengan falsafah Pancasila dengan dasar Ketuhanan Maha Esa, Kemanusiaan Yang Beradab, Persatuan Indonesia, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, permasalahan-permasalahan di atas menjadi suatu keniscayaan untuk sama-sama dihadapi dan dicarikan solusinya guna memperbaiki kekurangan dan turut menyebarluaskan nilai positif ke segala penjuru dunia sesuai amanat pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV.
Diharapkan dengan semakin meluasnya partisipasi semua kalangan membuat semua pekerjaan rumah warga dunia terhadap agenda pembangunan yang berkelanjutan semakin ringan dan senantiasa memberikan peluang positif bagi terciptanya dunia yang ramah bagi makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.
Akhir kata, sebagai anggota dari warga dunia pun dan juga sebagai warga Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus ini akan merayakan Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia, warga Indonesia dimana pun berada dapat menjadi bagian yang positif bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berpihak untuk semua kalangan serta dapat berperan positif sesuai kapasitasnya.
Wallahuálam Bi Showab. (AK/RE1/P2)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mi’raj News Agency (MINA)