Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Resolusi 181 Dosa PBB terhadap Palestina

Ali Farkhan Tsani Editor : Arif R - 8 menit yang lalu

8 menit yang lalu

5 Views

Suasana ruang Sidang Umum PBB September 2025. (Foto: UN News)

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) pada 29 November 1947, mengesahkan Resolusi 181 yang merekomendasikan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu Yahudi dan satu Arab Palestina.

Tanpa persetujuan rakyat Palestina, PBB membagi tanah yang bukan miliknya. Inilah dosa awal PBB terhadap Palestina, keputusan sepihak yang bukan menyelesaikan konflik, tapi justru menciptakan bencana berkepanjangan yang kita saksikan hingga hari ini.

Pegesahan Resolusi PBB tersebut mendorong deklarasi berdirinya ‘Negara Israel’ pada 14 Mei 1948. Sehari setelahnya, 15 Mei 1948, langsung disusul oleh tragedi Nakbah, pengusiran lebih dari 750.000 warga Palestina, penghancuran ratusan desa, serta perampasan tanah dan identitas. Ini merupakan konsekuensi langsung dari legalitas semu yang diberikan Resolusi 181 PBB.

Apa hak PBB membagi Palestina? Apakah keadilan bisa ditegakkan dengan cara mengusir penduduk asli demi memberi tempat bagi imigran kolonial? Ironisnya, PBB yang didirikan atas nama perdamaian dan keadilan justru mengawali siklus penjajahan modern terhadap rakyat Palestina.

Baca Juga: Sidang Umum PBB, Antara Harapan Kemanusiaan dan Kenyataan yang Menyakitkan

Bahkan PBB mengakui Israel sebagai negara dan menerimanya sebagai anggota pada tahun 1949, setahun setelah deklarasi sepihak ‘Negara Israel’. Pada 11 Mei 1949 Israel diterima sebagai anggota ke-59 PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB 273.

Meski lahir di tengah konflik dan penolakan dari banyak negara Arab, Israel relatif cepat diterima sebagai anggota penuh PBB.

Sementara Palestina yang mendeklarasikan kemerdekaan negaranya pada 15 November 1988, hingga sekarang oleh Dewan Nasional Palestina di Aljir, belum diterima sebagai anggota penuh PBB alias belum diakui secara resmi sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Permohonan menjadi anggota penuh PBB sudah diajukan tahun 2011, tapi gagal karena ditentang oleh beberapa anggota tetap Dewan Keamanan PBB, khususnya Amerika Serikat yang memiliki hak veto.

Baca Juga: Investasi Abadi: Menabung Kebaikan, Menuai Surga

Status Palestina sejak 1974 hanya sebagai “Pengamat” (Observer) melalui PLO (Palestine Liberation Organization). Kemudian tahun 2012 status Palestina meningkat menjadi “Negara Pengamat Non-Anggota” lewat Resolusi Majelis Umum PBB 67/19.

Selain itu, puluhan resolusi PBB yang mendukung hak-hak rakyat Palestina terus diveto oleh Amerika Serikat. Veto ini tak ubahnya tameng bagi Israel untuk terus melanggar hukum internasional. PBB pun menjadi lembaga yang ompong dengan retorika keadilan namun nihil aksi nyata.

Sudah lebih dari tujuh dekade sejak PBB didirikan pada 1945, namun salah satu fitur terpenting sekaligus paling kontroversialnya, hak veto di Dewan Keamanan, terus menjadi penghalang utama bagi keadilan global.

Hak veto diberikan kepada lima anggota tetap Dewan Keamanan: Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Hanya satu dari mereka yang perlu mengatakan “tidak”, maka seluruh resolusi akan gugur, meski didukung oleh hampir seluruh dunia. Ini bukan demokrasi global, melainkan oligarki internasional yang diwariskan dari Perang Dunia II.

Baca Juga: Ayo Ramaikan IIBF 2025, Surga Buku dan Inspirasi dari Berbagai Negara

Tidak ada kasus yang lebih mencolok dari ketidakadilan selain konflik Palestina-Israel. Berkali-kali, resolusi-resolusi Dewan Keamanan yang mengutuk tindakan Israel, menuntut penghentian pembangunan permukiman ilegal, atau mendesak perlindungan terhadap warga sipil Palestina, hingga gencatan senjata, diveto oleh Amerika Serikat. Betapa suara satu negara menutup jalan bagi keadilan jutaan orang.

Lebih tragis lagi, veto ini menjadi alat perlindungan impunitas, bukan perlindungan perdamaian. Selama lebih dari 70 tahun, hak veto telah mencegah tanggung jawab hukum internasional atas pelanggaran HAM berat di Palestina.

Rusia menggunakan hak veto untuk melindungi dirinya dari kecaman atas invasi ke Ukraina, sebagaimana pernah dilakukan di Suriah. Amerika Serikat menggunakan veto untuk melindungi Israel. China memveto isu-isu yang berkaitan dengan Hong Kong atau Uighur.

Ini membuktikan bahwa hak veto digunakan bukan demi prinsip, tetapi demi kepentingan politik. Akibatnya, hukum internasional menjadi tumpul, dan PBB kehilangan wibawanya sebagai penjaga perdamaian dunia.

Baca Juga: Harapan Sekjen PBB: Pilih Perdamaian dan Kerja Sama daripada Kekacauan

Cabut Resolusi 181

Resolusi 181 kini sudah usang dan beracun. Resolusi tersebut bukan fondasi perdamaian, melainkan akar konflik. Maka, sebagaimana PBB pernah mencabut Resolusi 3379 (1975) yang menyamakan Zionisme dengan rasisme. Sudah saatnya Resolusi 181 pun dicabut. Ini bukan soal simbolik semata, tapi bentuk pertanggungjawaban moral dan politik atas kegagalan masa lalu.

PBB juga harus diingatkan atas kegagalannya membentuk perdamaian yang adil dan berkelanjutan di Palestina. Misi perdamaian tak ubahnya formalitas diplomatik. Pelanggaran HAM, blokade Gaza, pembangunan permukiman ilegal, hingga genosida terhadap warga sipil Palestina terus terjadi tanpa konsekuensi yang jelas bagi Israel.

Kini, dunia harus menggugat PBB. Jika lembaga ini ingin tetap relevan dan dipercaya sebagai penjaga perdamaian dunia, ia harus berani meninjau ulang kesalahan sejarahnya. Mencabut Resolusi 181 adalah langkah awal menuju keadilan.

Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto: Jangan Pernah Akui Kedaulatan Zionis Israel

Tanpa keberanian untuk memperbaiki kesalahan, PBB akan terus menjadi simbol kegagalan global, lembaga yang membiarkan penjajahan atas nama hukum, dan membungkam keadilan atas nama kompromi politik.

Karenanya, Struktur Dewan Keamanan yang memberi hak istimewa kepada lima negara saja sudah tidak relevan dengan tatanan dunia hari ini. Negara-negara berkembang, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, hampir tak punya suara nyata dalam pengambilan keputusan global.

Sudah saatnya dunia mendorong reformasi mendasar PBB, termasuk meninjau ulang sistem hak veto. Jika PBB ingin tetap dipercaya sebagai institusi moral dan legal, ia harus menegakkan keadilan tanpa tunduk pada kekuatan besar.

Tanpa perubahan itu, konflik seperti di Palestina akan terus berulang. Ketika satu negara bisa membungkam suara 190 negara lainnya, maka PBB bukan lagi lembaga multilateral, tetapi hanya panggung teater kekuasaan global.

Baca Juga: Mengukur Realitas Solusi Dua Negara Palestina-Israel

Tentu itu semua tanpa mengesampingkan suara-suara dukungan mendunia di panggung Sidang Umum PBB tahun ini, yang masih terus harus dilanjutkan, sampai secara resmi Palestina diterima sebagai anggota penuh PBB, dan Zionis Israel menerima hukuman setimpal dengan perbuatannya. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Berbicara tentang Palestina di PBB

Rekomendasi untuk Anda