Jakarta, MINA – Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengeluarkan Indeks Kerumunan Massa dan Keterpaparan Virus yang menetapkan Kota Depok sebagai wilayah penyelenggara Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan potensi penyebaran Covid-19 tertinggi se-Indonesia.
“Dari indeks yang kami formulasikan didapatkan bahwa pilkada Depok menepati urutan pertama wilayah yg paling rawan dalam penyelenggaraan pilkada 2020 dengan angka indeks 64,90 poin” kata Fajri Azhari, Peneliti IDEAS dalam Konferensi Pers yang bertajuk ‘Mitigasi Risiko Penularan Covid-19 Saat Pilkada 2020’ di Jakarta, Senin (7/12).
Dia melanjutkan, di urutan kedua ada Pilkada Kota Surakarta dengan angka indeks 62,90 poin, lalu ketiga ada Pilkada Bandar Lampung dengan angka indeks 51,04 poin, keempat adalah Kota Banjarmasin dengan angka indeks 47,19, kelima Kota Surabaya dengan 46,58 poin.
Di posisi keenam ada Kota Magelang (43,25 poin), ketujuh Kota Medan (42,69 poin), kedelapan Kota Makassar (40,84 poin), Kesembilan Kota Semarang (38,33 poin) dan kesepuluh Kota Tangerang Selatan.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diprediksi Turun Hujan Senin Sore Ini
Fajri menjelaskan bahwa angka indeks tersebut diformulasikan dari beberapa data yang diolah, diantaranya data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari KPU, data luas wilayah dan jumlah penduduk per daerah yang melakukan pilkada. Kemudian diintegrasikan dengan data kasus aktif dan kasus meninggal akibat covid-19 per daerah pilkada.
“Setelah terkumpul datanya, kami analisis dengan memberi pembobotan dan standarisasi pada setiap variabel. Hasilnya didapatkan angka indeks yang kami beri nama indeks kerumunan massa dan keterpaparan virus,” ungkap Fajri.
Selain data tersebut, IDEAS menemukan hal lain yang membuat pilkada Kota Depok semakin rawan yaitu informasi dari salah seorang Tracer (Orang yang melacak pasien kontak erat) yang berada di bawah satuan tugas daerah Covid-19 yang bertugas di Kota Depok.
Menurut Tracer tersebut terdapat dinamika penanganan yang berbeda antara Depok dengan DKI Jakarta, dimana ada perlakuan yang menjadi penyebab dasar tinggi-rendahnya angka testing di kedua daerah tersebut.
Baca Juga: Syaikh El-Awaisi: Menyebut-Nyebut Baitul Maqdis Sebagai Tanda Cinta Terhadap Rasulullah
“Pertama, kuota pemeriksaan Swap dan PCR di Depok terbatas dan hanya bisa melakukan 2 kali tes dalam sepekan. Sebaliknya, kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang agresif mencari kasus kontak erat tanpa membatasi kapasitas pemeriksaan bahkan apabila ada pasien yang ingin periksa di fasilitas kesehatan DKI Jakarta diperbolehkan secara gratis,” ujar Fajri.
Kedua, pasien kasus kontak erat di DKI Jakarta cenderung lebih terbuka untuk memberikan informasi status kesehatan (pasien covid-19). Sementara, di Depok cenderung lebih introvert karena merasa malu dan didiskriminasikan dengan status covid-19 yang dimiliki.
Walaupun tidak memiliki Indeks Kerumunan Massa dan Keterpaparan Virus sebesar Kota Depok, IDEAS merekomendasikan kebijakan Penarikan Rem Darurat (Emergency Brake) bagi pemerintah daerah yang menggelar pilkada jika dalam beberapa hari setelah hajatan demokrasi daerah tersebut terlihat indikasi lonjakan kasus.
“Jika terdapat lompatan kasus harian pemerintah daerah diharapkan untuk menarik rem darurat atau kembali ke era PSBB dengan pelaksanaan yang tegas. Jika tidak, sistem kapasitas kesehatannya akan collapse sehingga tidak mampu menampung pasien Covid-19 dan ini sangat fatal,” tutup Fajri. (L/R2/RS3)
Baca Juga: AWG: Daurah Baitul Maqdis, Jadi Titik Balik Radikal untuk Perjuangan Umat Islam
Mi’raj News Agency (MINA)