Ada seorang istri yang mengadukan permasalahan rumah tangganya kepada penulis. Ia mengeluhkan tentang suaminya yang sering meninggalkan rumah karena kegiatan dakwahnya. Ia juga mengeluhkan tentang minimnya perhatian suami kepada dirinya. Sang istri mengatakan, semenjak suaminya menggeluti dunia dakwah, ia merasakan romantisme dalam kehidupan rumah tangganya semakin hari semakin berkurang.
Mendengar keluhan sang Ibu tadi, penulis jadi ingat tentang apa yang pernah disampaikan oleh Ustadz Salim Fillah mengenai hasil penelitiannya terhadap para keluarga mubaligh (da’i). Ia terkejut dengan hasil survey-nya yang menunjukkan 80 persen anak-anak para dai tidak ingin berprofesi seperti ayahnya (sebagai da’i). Mereka beralasan karena sang ayah yang jarang di rumah dan minim perhatian kepada mereka.
Memang, dari beberapa bincang ringan kami dengan beberapa asatidz, permasalahan internal dalam rumah tangga menjadi problema tersendiri yang harus diselesaikan dengan arif dan bijaksana. Jika hal ini tidak segera mendapat solusi, atau ada kesalahan dalam komunikasi, tidak jarang prahara rumah tangga yang terus berkelanjutan menghasilkan perceraian.
Memang dalam beberapa kasus, baik di era kontemporer maupun di zaman klasik, perceraian dalam kehidupan seorang mubaligh, atau ulama pernah terjadi. Kisah yang masyhur kita dengar adalah ulama ahli bahasa, Imaam Sibawaih yang menceraikan istrinya yang cantik. Karena si istri merasa cemburu kepada suaminya yang kurang memberi perhatian (memilih fokus menulis kitab), maka si istri membakar kitab-kitabnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Tidak bisa dipungkiri, sosok istri merupakan figur penting bagi keberhasilan sebuah dakwah. Perannya di belakang layar, mendidik anak-anak dan mendukung kinerja menjadi begitu vital bagi sang suami yang memutuskan untuk memilih menekuni dunia dakwah.
Pada tulisan ini, penulis ingin menyinggung tentang apa sebaiknya yang dilakukan para suami untuk keluarganya, apabila memutuskan terjun dalam dunia dakwah. Yang tidak kalah penting juga, apa yang harus dilakukan para istri yang memiliki suami seorang da’i agar rumah tangganya mampu bertahan di tengah godaan, rintangan, hambatan dan ujian.
Untuk Para Suami
Kasih sayang, sikap lembut dan pemaaf dari seorang suami adalah hal penting dalam rumah tangga. Tutur kata suami hendaknya senantiasa memuliakan istrinya, mengarahkan dan memberinya nasihat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Contoh ideal kehidupan rumah tangga seorang da’i tentu saja adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam. Beliau memberi contoh sempurna tentang bagaimana mengelola rumah tangga dengan beberapa istri beliau dengan karakter masing-masing berbeda.
Beberapa ayat diturunkan dengan latar belakang (asbabun nuzul) dari rumah tangga Rasulullah dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga saat ini. Pun juga banyak hadits diriwayatkan mengenai cara beliau meredam masalah rumah tangga.
Sebagai contoh, sebuah kisah ketika istri beliau sayidatina Aisyah sedang cemburu dan membanting piring berisi makanan yang dikirim dari salah seorang istri beliau yang lain. Padalah saat itu Nabi Muhammad sedang menerima tamu. Maka dengan arif dan bijak beliau berkata kepada tamunya, “Ibu kamu (maksudnya Aisyah) sedang cemburu”.
Lalu beliau menyatukan dua pecahan piring tersebut dan meletakkan makanannya di atasnya seraya bersabda: “Makanlah oleh kalian!” maka para sahabat pun memakannya. Sementara beliau tetap memegang piring yang pecah tersebut hingga mereka selesai memakan makanannya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Setelah selesai, Rasulullah mengirim piring milik Aisyah untuk diberikan kepada istri beliau yang telah mengirim makanan tadi sebagai ganti atas piringnya yang dipecahkan.Lalu selesailah perkara.
Kisah di atas menunjukkan kebaikan akhlak beliau dalam menyikapi istrinya yang sedang cemburu. Beliau tidak marah kepada Aisyah apalagi sampai memukulnya.
Maka, jika seorang suami mengalami kejadian seperti di atas, tidak perlu marah kepada istrinya. Tidak perlu pula merasa malu dan terinjak-injak harga dirinya di hadapan sahabat-sahabatnya. Apalagi sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Hal yang demikian, pernah diamalami Baginda Rasulullah dan beliau menyelesaikan permasalahan dengan baik.
Demikian pula kisah Amirul Mukminin Umar bin Khatab. Pada suatu hari ada salah seorang sahabat Rasulullah (Abu Dzar al-Ghifari) datang berkunjung ke rumah Umar bin Khattab. Sahabat tersebut sedang frustrasi lantaran sering dimarahi oleh sang istri. Ia bermaksud ingin konsultasi dengan Umar bin Khatthab tentang istrinya itu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Namun tiba di depan rumah sang Khalifah, dia urung mengetuk pintu. Sebab dari dalam terdengar suara keras istri Umar yang sedang marah. Ia tertegun karena tak terdengar sama sekali suara Umar membantah atau melawan sang istri. Padahal nada marah Istri Umar sangat tinggi.
Tak jadi mengetuk pintu rumah Umar, sang sahabat tadi pun berniat pulang. Baru beberapa langkah meninggalkan rumah sang Khalifah, Umar membuka pintu. Melihat sahabatnya itu, Umar pun memanggil.
Sahabat itu pun menjelaskan bahwa dia bermaksud konsultasi terkait masalah keluarganya. Dia ceritakan soal istrinya yang sering marah-marah. Namun ketika mendengar istri Umar sendiri berbuat yang sama (marah), maka ia tidak ingin mengganggu, sementara Umar sendiri sedang ada masalah.
Mendengar itu, Umar bin Khattab tersenyum. Dia jelaskan alasan tak membalas kemarahan sang istri. Menurut Umar, seorang istri sudah memasak, mencuci baju, serta mengasuh dan mendidik anak-anak. Hal itu cukup membuat Umar tenteram. Karena itu, ia menerimanya sekalipun dimarahi.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Untuk Para Istri
Sebuah tulisan dari seorang istri mubaligh bernama Anis Byarwati menarik untuk disimak. Ia menyatakan, seorang istri hendaknya mempersiapkan bekal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Apa saja bekal itu;
1. Bekal Pemahaman
Harus dipahami oleh istri seorang aktivis dakwah adalah bahwa suaminya tak sama dengan ‘model’ suami pada umumnya. Seorang aktivis dakwah adalah orang yang mempersembahkan waktunya, gerak amalnya, getar hatinya, dan seluruh hidupnya demi tegaknya dakwah Islam dalam rangka meraih ridha Allah. Mendampingi seorang aktivis adalah mendampingi seorang prajurit Allah. Tak ada yang dicintai seorang aktivis dakwah melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan berjihad di jalan-Nya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
- Bekal Ruhiyah
Berusahalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadikan hanya Dia tempat bergantung semua harapan. Miliki keyakinan bahwa ada Kehendak, Qadha, dan Qadar Allah yang berlaku dan pasti terjadi, sehingga tak perlu takut atau khawatir melepas suami pergi berdakwah ke manapun. Miliki keyakinan bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemberi Rezeki, yang berkuasa melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Bekalan ini akan sangat membantu kita untuk bersikap ikhlas dan qana’ah ketika harus menjalani hidup bersahaja tanpa limpahan materi. Dan tetap sadar diri, tak menjadi takabur dan lalai ketika Dia melapangkan rezeki-Nya untuk kita.
- Bekal mentalitas
Inilah di antara bekalan berupa sikap mental yang diperlukan untuk menjadi istri seorang aktivis: kuat, tegar, gigih, kokoh, sabar, tidak cengeng, tidak manja (kecuali dalam batasan tertentu) dan mandiri. Teman saya mengistilahkan semua sikap mental ini dengan ungkapan yang singkat: tahan banting!
- Bekal intelektualitas
Ternyata, seorang aktivis tidak hanya butuh pendengar setia. Ia butuh istri yang ‘nyambung’ untuk diajak ngobrol, tukar pikiran, musyawarah, atau diskusi tentang kesibukan dan minatnya. Karena itu, banyaklah membaca, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu.
- Bekal fisik
Minimal sehat, bugar, dan tidak sakit-sakitan. Jika fisik kita sehat, kita bisa melakukan banyak hal, termasuk mengurusi suami yang sibuk berdakwah. Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan, membiasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan lain-lain. Selain itu, jangan lupakan masalah merawat wajah dan tubuh. Ingatlah, salah satu ciri istri shalihat adalah ‘menyenangkan ketika dipandang’.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Bagaimanapun juga, seorang da’i tetaplah manusia biasa yang bisa dan mungkin untuk melakukan kesalahan. Oleh karenanya, sikap saling memahami kekurangan dan memaafkan kesalahan menjadi hal terpenting dalam kehidupan rumah tangga. (A/P2/P1)
penulis: Widi Kusnadi, da’i Pon Pes Al-Fatah, Cileungsi, Bogor.
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh