Tulisan pertama: Ruben Abu Bakar (Bag.1): “Islam? Mereka kan teroris?”
Sebelum masuk Islam, Ruben Abu Bakar sempat mendalami hampir semua agama besar di dunia, Kristen, Katolik, Hindu, Taoisme, Buddha, Yudaisme, kecuali Islam. Karena dia menganggap penganut Islam adalah orang-orang gila.
suatu hari aku berjalan ke sebuah masjid. Ini adalah perjalanan abadiku. Jadi aku berjalan terus, masih pakai sepatu, melewati karpet untuk shalat.
Ada saudara Muslim sedang shalat, aku berjalan terus di depannya seiring dia sujud, aku hampir menginjak kepalanya. Subhanallah, aku tidak tahu apa yang kulakukan.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Aku menengok dan melihat saudara ini. Kamu mungkin kenal dia, namanya Abu Hamzah. Dia sering ke sini dan ceramah beberapa kali. Subhanallah, aku memanggilnya Abu Da’n, sebab dia punya jenggot yang lebat, masyaallah.
Dia menuju ke arahku dan aku berpikir, hari ini aku akan mati. Ini adalah hari terakhir hidupku. Aku pasti mati, aku kulit putih di Lab-land (Lebanon). Apa yang harus kulakukan? Aku pasti mati.
Dia menghampiri seakan dari gurun Sahara, gamis yang lebar, jenggot yang lebat.
Namun, subhanallah. Kata pertama yang dia ucapkan adalah “Selamat siang, Kawan. Apa kabarmu?”
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Andaikata ada kamera tersembunyi, pasti sempurna.
Subhanallah, aku sangat terkejut dengan keramahannya. Sebagai Aussie, aku tidak ingin menyinggung orang Australia, tetapi didikanku berasal dari didikan negaraku. Orangtuaku membesarkanku sebagai seorang Ateis. Mereka dibesarkan sebagai seorang Kristen. Mereka dipaksa ke gereja setiap hari Minggu, dan mereka membenci setiap menitnya.
Jadi ketika kami lahir, mereka menanamkan kepada kami, “Ketika kamu mati, maka selesai sudah. Tidak ada akhirat, tidak ada Tuhan, itu semua bohong.”
Jadi aku dibesarkan sebagai Ateis.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Jadi ketika aku jalan dan melihat Abu Hamzah dan dia menyapaku dengan sangat sopan, aku bersyukur. Sebab aku yakin melihatnya di berita sedang membajak pesawat sehari sebelumnya.
Aussie juga ramah, jangan salah paham, tapi Leboz adalah orang paling ramah yang pernah kutemui. Seiring Abu Hamzah bicara, saudara-saudara yang lain membuatkanku secangkir teh. Jujur saja, aku harus bolak-balik ke toilet setiap lima menit. Mereka terus menambah teh dan biskuit. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini. Kupikir, aku selalu kembali datang untuk biskuitnya selain juga untuk agamanya.
Ketika aku di sana, aku mulai bertanya pertanyaan yang pernah aku ajukan ke pendeta, pastur dan teman-temanku.
Dan subhanallah, yang paling mengejutkanku adalah setiap kutanya, mereka tidak asal menjawab. Mereka mengambil Al-Quran dan berkata, “Baca ini, Bro.”
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Dan di sana terdapat jawabannya. Setiap kali.
Lalu aku bertanya yang lainnya. Pertanyaan yang sulit, bukan yang mudah. Mengapa wanita harus memakai hijab? Ada apa dengan hijab? Kenapa aku boleh beristri empat, wanita tidak boleh bersuami empat? Aku ingin tahu pertanyaan yang sulit yang merupakan pertanyaan pertama saat mengenal Islam.
Setelah sekian lama, mereka terus menjawab pertanyaannya dengan Al-Quran, bukan dari pendapat pribadi mereka. Aku pun menjadi frustasi.
Sebenarnya aku berkata kepada salah satu saudara setelah aku bolak-balik ke sana sekian pekan. Selalu ada beberapa orang di sana kapan pun aku datang. Aku berkata kepada salah satu di antaranya, “Apa pendapatmu tentang masalah ini? Kenapa tidak memberikan pendapatmu sendiri?”
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Salah seorang saudara pada suatu hari berkata, “Aku tidak boleh memberikan pendapatku karena ini adalah firman Tuhan.”
Subhanallah, aku ingat itu sangat mengena bagiku. Jadi aku bertanya, “Bolehkah aku membawa satu Al-Quran?”
Aku tidak berkata akan menelantarkannya. Kubilang aku akan menghormati kitab tersebut. Jadi aku membawanya pulang dan mulai membacanya.
Apa yang kutemukan waktu membacanya adalah tidak seperti membaca sebuah kisah. Rasanya seperti membaca perintah seseorang, seseorang yang memberiku petunjuk.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
“Allah, inilah kesempatanmu”
Suatu malam, aku memutuskan benar-benar mencoba mendapatkan suasana rohaniah. Aku yakin beberapa orang pernah mendengar kisah ini sebelumnya, jadi aku minta maaf.
Aku nyalakan lilin, kubuka jendela dan korden. Aku mencoba merasakan nuansa rohaniah. Malam itu adalah malam musim panas di Melbourne. Aku duduk di sana dan berpikir, “Inilah malamnya.”
Aku telah mendalami semua bukti spiritual, semua bukti ilmiah tentang fakta gunung menyangga bumi, bagaimana embrio berkembang, semua bukti ini menakjubkan, tetapi aku masih butuh sedikit dorongan. Rasanya aku sudah di tepi tebing, siap smelompat, aku hanya butuh dorongan.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Jadi aku duduk di sana, sangat sunyi. Aku sedang baca Al-Quran, lalu berhenti. Aku berkata, “Allah, inilah waktuku. Inilah waktunya aku masuk Islam. Apa yang aku butuhkan hanya sedikit tanda. Sedikit saja tanda, tidak usah yang besar, mungkin sedikit petir, mungkin separuh rumahku roboh. Sesuatu yang kecil saja. Engkaulah Pencipta Bumi. Ayolah!”
Aku duduk di sana. Aku menunggu lilinnya melompat empat meter seperti di dalam film-film. Aku berkata, “Oke, ayolah!”
Subhanallah, tidak terjadi apa-apa. Sama sekali tidak terjadi apa-apa. Sejujurnya aku sangat kecewa. Aku duduk di sana dan bilang, “Allah, inilah kesempatanmu. Aku di sini, tidak pergi ke mana-mana. Aku beri Engkau kesempatan lain, mungkin Engkau sedang sibuk. Ini siang hari, banyak yang terjadi di dunia. Mungkin kali ini sesuatu yang kecil saja. Lupakan tentang rumah atau lilin. Seekor burung yang kentut mungkin, aku tidak peduli, apapun boleh. Oke, ayolah.”
Subhanallah, sama sekali tidak terjadi apa-apa. Bahkan aku tidak bisa bilang, “Itu dia! Temboknya jadi retak!”
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
Sama sekali tidak terjadi apa-apa. Aku sangat kecewa, aku patah semangat. Aku duduk sambil berpikir, “Inilah kesempatan terakhirku masuk Islam.” Dan aku benar-benar belum mendapatkannya.
Aku meraih Al-Quran kembali dan membaca tepat di mana aku berhenti. Subhanallah, tepat ayat berikutnya, QS Al-Baqarah: 164. Untuk kalian yang meminta petunjuk, tidakkah telah cukup Kami tunjukkan? Lihat di sekitarmu, lihatlah bintang-bintang, lihatlah matahari, lihatlah air. Inilah tanda-tanda bagi orang yang mengerti.
Subhanallah. Aku tutupi kepalaku, aku pura-pura tidur, setakut itulah aku. Aku tak percaya, betapa sombongnya aku. Aku menginginkan tanda-tandaku sendiri, sementara tanda-tanda itu sudah ada di sekelilingku sejak lama. Fakta kita punya dunia ini, fakta adanya penciptaan. Inilah tanda-tanda bagi kita semua.
Esok harinya aku memutuskan, inilah saatnya aku menjadi Muslim. Aku telah mendalami Islam, mungkin selama enam bulan.
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Aku masuk masjid dan berkata sendiri, “Inilah saatnya, aku akan mengucap syahadat.”
Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku sama sekali tidak tahu kalimatnyaa. Waktu itu hampir shalat isya, mungkin pukul 7 atau 8 malam. Aku masuk dan aku tidak bisa percaya, ada sekitar seribu orang di dalam masjid. Kupikir, “Subhanallah, lihatlah agama ini, lihatlah betapa kuatnya mereka!”
Ternyata saat itu malam pertama Ramadhan. Muslim Ramadhan (Muslim yang aktif hanya saat Ramadhan).
Jadi aku duduk di sana dengan gugup. Harus kuakui. Aku berdiri dan pria ini berkata, “Kamu harus ucapkan kalimat ini, asyhadu….”
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
Kubilang, “Apa? Asy apa? Bisakah dalam bahasa Inggris?”
Pria ini bilang, “Tidak, harus dalam bahasa Arab.”
Kupikir, “Lihatlah lautan pria berjenggot ini dan aku harus mengucapkannya di depan mereka. Jika aku salah mengucapkannya, aku pasti mati.”
Mereka menatapku, padahal orang Australia tidak bisa menatap. Orang Lebanon bisa menatap. Aku berdiri dan subhanallah, seiring aku mengucapkan kalimat itu, semua ketakutan menghilang dari pikiranku. Serasa seperti ada pancuran di kepalaku dan seseorang menyalakan air dinginnya. Rasanya seperti dibasuh bersih.
Aku ucapkan kalimatnya. Dan tidak kusangka, begitu banyak saudara Muslim menghampiri dan bertakbir, “Allahuakbar.”
Mereka mulai menciumku, memelukku. Aku tidak pernah dicium begitu banyak pria seumur hidupku, tetapi itu adalah hari yang indah, harus kuakui.
Hari itu aku mendapat lebih banyak saudara dari yang pernah kubayangkan. Saudari juga. Sejak saat itu aku tidak menoleh ke belakang.
Awalnya keluargaku khawatir aku berubah menjadi aneh kepada mereka, bahwa aku akan mengamuk dengan Ak-17 dan granat. Namun mereka sadar, agama ini membuatku menjadi orang yang lebih baik.
Sebelum masuk Islam, kamu tidak akan percaya apa yang kupunya di rumahku. Aku tidak akan menunjukkan foto apa pun. Aku punya army grades, kaos Metallica, sepatu boot cherry docs (asesoris punk).
Kupikir dulu aku terlihat keren, tetapi sesungguhnya terlihat buruk. Alhamdulillah, setelah masuk Islam penampilanku baik seperti sekarang. Orangtuaku adalah orang yang pertama bilang padaku, yang membuatku kagum.
Ayahku kemudian meminta Al-Quran dan ini membuatku sangat bahagia. Kupikir dia orang yang sulit diajak bicara. Tapi dia berkata, “Sejak menjadi Muslim, kamu menjadi orang yang lebih baik. Kamu lebih bisa diandalkan. Aku bisa mengandalkanmu ketika mobilku mogok.”
Sebelum Muslim, aku akan berkata, “Ayah, semalam aku mabuk.” (A/RI-1/RS3)
Sumber: Channel “Islam Bersatulah”
Mi’raj News Agency (MINA)