Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ruku’lah Bersama Orang-Orang yang Ruku’, Kajian Al-Baqarah 43

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 5 Mei 2016 - 21:30 WIB

Kamis, 5 Mei 2016 - 21:30 WIB

2118 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jabar

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Perintah “mendirikan sahalat”, berasal dari kata  قَامَ , yang bermakna tetap dan kokoh. Jadi, yang dimaksud adalah menetapkan dan mengokohkan. Karena itu, menegakkan shalat maknanya adalah menunaikannya dengan melakukan rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, dan tata caranya yang dilakukan pada waktunya, menurut contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa mengatakan, “Menegakkan shalat adalah menyempurnakan ruku’ dan sujud, bacaan, kekhusyu’an serta penuh konsentrasi.”

Sedangkan Imam Qatadah  melengkapi dengan, “Makna menegakkan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, wudhunya, ruku’nya, dan sujudnya.”

Makna ini pula yang dipakai oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu ketika menulis surat kepada para walinya (gubernur dan stafnya):

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

إِنَّ أَهَمَّ أَمْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ

Artinya: “Sesungguhnya urusan kalian yang terpenting bagiku adalah shalat. Barang siapa menjaga dan memeliharanya, berarti dia memelihara agamanya, dan siapa yang menelantarkannya, berarti dia lebih menelantarkan yang lainnya.” (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa’).

Kemudian setelah memperhatikan shalat, orang-orang beriman diminta untuk memperhatikan masalah zakat, “tunaikanlah zakat”.

Jika shalat merupakan pembersih jiwa, maka zakat adalah pembersih harta.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah [9]: 103).

kalimat “aatuu” berasal dari kata “al-iitaa” (الْإِيْتَاءُ), artinya memberikan atau menunaikan. Adapun “zakaah” berasal dari kata “zaka–yazku” (زَكَا – يَزْكُو), yang bermakna bertambah dan berkembang.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Dinamakan zakat karena mengeluarkan zakat akan menyebabkan harta semakin berkah, dan orang yang menunaikannya akan semakin bertambah pahala dan keutamaannya.

Ada pula yang berkata bahwa zakat berasal dari “zaka” yang bermakna suci dan bersih. Seperti firman Allah yang menyebutkan:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (Q.S. At-Taubah [9]: 103).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Pada ayat inilah ada kaitan yang kuat antara perintah menunaikan zakat yang digandengkan dengan perintah menegakkan shalat, yaitu shalat lima waktu. Dan keduanya zakat dan shalat merupakan dua rukun Islam.

Ruku’lah

Pada ujung ayat disebutkan:

…..وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٲكِعِينَ

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Artinya: “…..dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 43).

Mengenai ujung ayat ini, Imam Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsir Al- Qur’anul ‘Adzim menjelaskan bahwa  hendaklah orang beriman itu bersama orang-orang beriman dalam berbagai perbuatan mereka yang terbaik. Dan yang paling utama dan sempurna dari semua itu adalah shalat berjama’ah. Para ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil bagi diwajibkannya shalat berjama’ah.

Ini juga seperti dikemukakan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di  dalam Kitab Tafsir Kariimir Rahman yang menjelaskan, “Dan ruku’lah bersama orang yang ruku’, maksudnya adalah shalatlah bersama orang orang yang shalat. Yakni suatu perintah untuk melaksanakan shalat berjama’ah dan itu kewajiban.  Bahwasanya ruku’ itu merupakan rukun di antara rukun-rukun shalat, karena Allah menyebutkan shalat dengan kata ruku’. Sedangkan mengungkapkan suatu ibadah dengan kata yang merupakan bagian darinya adalah menunjukkan kepada wajibnya hal itu padanya.

Itu semua, kebaikan shalat berjama’ah, sesungguhnya tidak ada kebaikan kecuali telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Sebaliknya, tidak ada kejelekan kecuali Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan untuk dijauhi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Salah satu syariat yang sangat mulia adalah shalat berjama’ah bagi laki-laki, dan di dalam sahalat berjama’ah itu adala ruku’.

Ruku’ secara bahasa bermakna membungkuk. Ruku’ di sini adalah salah satu perbuatan yang tidak boleh dilakukan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebab hal itu termasuk jenis ibadah, seperti halnya ibadah sujud. seperti perintah Allah Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian, dan berbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj [22]: 77).

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Dalam hal ibadah ini, ada beberapa faedah dikhususkannya penyebutan ruku’ di dalam ayat ini. Di antaranya, untuk membedakan antara shalat kaum Muslimin dan shalat kaum Yahudi (yang menyimpang), yang tidak ada ruku’ di dalamnya.

Faedah lainnya adalah, untuk menjelaskan bahwa ruku’ adalah salah satu rukun shalat yang tidak sah ibadah seseorang, kecuali dengan melakukan ruku’ di dalamnya.

Di dalam Kitab Fathul Qadir, Imam Asy-Syaukani menguraikan, cara melakukan ruku’ yang syar’i adalah dengan membungkukkan tulang punggung, membentangkan punggung dan lehernya, serta membuka jari-jemari kedua tangannya sambil menggenggam pada kedua lututnya. Kemudian melakukannya dengan thuma’ninah (tenang) dan membaca dzikir yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Ruku’ begitu dalam keadaan benar-benar thuma’ninah, tenang, khusyu’, sampai-sampai disebutkan oleh Wabishoh bin Ma’bad, Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata, sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“ (H.R. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat

Keutamaan Shalat Berjama’ah

Imam Bukhari  di dalam Kitab Shahihnya mencantumkan secara khusus Bab “Fadhli Shalatil Jama’ah” (Keutamaan Shalat Berjama’ah).

Beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah di antaranya :

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan

Artinya: “Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.” (H.R. Bukhari dari Abdullah bin Umar  Radhiyallahu ‘Anhuma).

فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وَأَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْهُ خَطِيئَةً حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، وَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَتْ تَحْبِسُهُ وَتُصَلي يَعْنِي عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ؛ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ

Artinya : “Maka sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian berwudhu dengan sempurna, lalu ia keluar menuju ke masjid dan tidak ada yang mendorongnya keluar (menuju ke masjid) selain untuk shalat (berjama’ah). Tidaklah setiap langkahnya kecuali akan mengangkatnya satu derajat dan menghapuskan darinya satu kesalahan. Apabila ia shalat, malaikat akan senantiasa mendoakannya selama ia berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian tetap dianggap berada dalam shalat selama ia menanti shalat.” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Terlebih bila itu shalat Isya dan Shubuh berjama’ah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ نِصْفِ لَيْلَةٍ وَمَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ

Artinya: “Barangsiapa shalat Isya dengan berjama’ah, pahalanya seperti shalat setengah malam. Dan barangsiapa shalat Isya dan Shubuh dengan berjama’ah, pahalanya seperti shalat semalam penuh.” (H.R. Bukhari).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dan dasar dalil lainnya, beberapa keutamaan shalat berjama’ah di masjid, disimpulkan oleh para ulama, yaitu:

  1. Berpahala 27 kali derajat dibandingkan shalat sendirian.
  2. Tiap satu langkah diangkat derajatnya dan lengkah berikutnya dihapus dosanya.
  3. Didoakan secara khusus oleh Malaikat.
  4. Terjaga dari gangguan syaitan, karena setan lari ketika iqamat dikumandangkan.
  5. Terjaga dari kelupaan.
  6. Meningkatkan kekhusyu’an.
  7. Melatih untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an.
  8. Menampakkan syi’ar Islam.
  9. Terjaga dari sifat munafik.
  10. Tumbuhnya persatuan dan persahabatan antarjama’ah.
  11. Terjalinnya silaturrahim sesame Muslim setiap waktu shalat, dsb.

Ancaman Tidak Shalat Berjama’ah

Allah telah mengancam dengan ancaman yang sangat mengerikan, yakni orang yang tidak suka shalat berjama’ah, tidak akan dapat bersujud ketika kaum Mukminin diperintahkan sujud di akhirat kelak, dalam firman-Nya:

يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ * خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ

Artinya: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sehat” (Q.S. Al-Qalam : 42-43).

Ka’abul Ahbar menjelaskan, “Demi Allah, ayat ini tidaklah diturunkan kecuali kepada orang-orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Adakah ancaman yang lebih dahsyat dari pada ancaman di atas bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah? padahal ia mampu melaksanakannya?”

Said bin Musayyib menambahkan, tentang ayat ini, “Mereka mendengar ‘hayya ‘alas sholah hayya ‘alal falah’. Namun mereka tidak mendatanginya, padahal mereka sehat”.

Ancaman bagi mereka yang tidak mengindahkan shalat berjama’ah, antara lain juga disebutkan di dalam sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّ ةَالِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُ فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Artinya: “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dikumpulkannya kayu bakar, kemudian aku perintahkan untuk ditegakkan shalat (berjama’ah), lalu dikumandangkan azan untuknya. Lantas aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku akan mendatangi beberapa orang dan membakar rumah-rumah mereka.” (H.R. Muttafaqun ‘Alaihi).

Pada riwayat lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, disebutkan bahwa ada seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntun aku datang ke masjid.” Ia pun meminta keringanan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk shalat di rumahnya. Awalnya Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengizinkannya. Namun, tatkala orang itu hendak pulang, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat (adzan)?” Ia menjawab, “Ya.” Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Penuhilah (panggilan adzn tersebut)!” (HR. Muslim).

Hadits lain dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu menyebutkan:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى  ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

Artinya: “Barang siapa yang senang bertemu Allah Subhanahu Wa Ta’ala kelak dalam keadaan Muslim, hendaklah ia memelihara shalat-shalat ini dengan menunaikannya di tempat dipanggilnya (berjama’ah di masjid), karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Dan sesungguhnya shalat-shalat ini termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah rumah kalian sebagaimana orang yang tidak ke masjid ini shalat di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, berarti kalian telah tersesat. Tidaklah seorang lelaki bersuci dan menyempurnakan bersucinya, lalu dia berangkat ke sebuah masjid kecuali Allah Subhanahu wata’ala mencatat baginya setiap langkah yang ia langkahkan dengan satu kebaikan, mengangkat satu derajat baginya, dan menghapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh kami melihat bahwa tidak ada yang meninggalkannya selain seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Dahulu seseorang didatangkan untuk menghadiri jamaah, hingga dipapah oleh dua orang untuk didirikan di dalam shaf.” (H.R. Muslim).

Semoga Allah senantiasa meringankan langkah kita ke masjid untuk shalat berjama’ah. Aamiin. (P4/R05)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Renungan Al Quran
Tausiyah