Jakarta, 8 Muharram 1437/21 Oktober 2015 (MINA) – RUU Tentang Penyandang Disabilitas yang selama ini digodok di Komisi 8 DPR RI akhirnya resmi disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna Selasa (20/10) kemarin.
Wakil Ketua Komisi VIII, Ledia Hanifa Amaliah menjelaskan alasan pengajuan Undang-undang itu di antaranya adalah kenyataan selama ini para penyandang disabilitas di Indonesia masih banyak mengalami diskriminasi baik secara fisik, mental, intelektual, juga sensorik saat berinteraksi di lingkungan sosialnya.
“Selama ini di Indonesia memang telah ada Undang-undang no 4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat namun Komisi VIII DPR RI mengusulkan RUU tentang Penyandang Disabilitas ini untuk mengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat selama ini lebih berparadigma pada soal pelayanan dan belas kasihan (charity based), sedang RUU tentang Penyandang Disabilitas berparadigma pemenuhan hak penyandang disabilitas (right based), baik hak ekonomi, politik, sosial maupun budaya,” kata Ledia kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Paradigma pemenuhan hak ini menjadi selaras dengan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ’45), utamanya Pasal 28C ayat (1) dan (2) yang menekankan pemenuhan hak setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Selain itu, Rancangan Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas itu juga merupakan satu bentuk kewajiban negara dalam merealisasikan hak penyandang disabilitas dalam Convention on The Rights of Persons with Disabilities yang dirafitikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
Aleg Fraksi PKS itu memaparkan RUU Tentang Penyandang Disabilitas tersebut telah mengakomodir beberapa isu krusial yang selama ini menjadi masukan dari para penyandang disabilitas seperti soal kuota ketenagakerjaan, konsensi dan bab larangan serta sanksi bagi para pelanggar hak penyandang disabilitas.
Ledia mencontohkan, “Di dalam Pasal 54 ayat (1) ditegaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Di dalam ayat (2) ditegaskan pula, perusahaan swasta wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bekerja. Namun memang terkait dengan perusahaan swasta, Rancangan Undang Undang tentang Penyandang Disabilitas ini tidak mencantumkan kuota, karena memperhatikan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang sudah ada, yang telah mengatur kuota 1% bagi penyandang disabilitas untuk bekerja pada perusahaan swasta,”
Setelah menjadi RUU Inisiatif DPR maka tahap selanjutnya adalah menanti langkah pemerintah untuk memberikan tanggapan berupa DIM (daftar inventaris masalah) sekaligus menunjuk kementerian terkait yang akan menjadi mitra pembahas
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
“Untuk itu, kami berharap Presiden segera menerbitkan surat yang menunjuk kementrian terkait yang akan menjadi mitra pembahas dan menyampaikan DIM pada kami. Bila presiden bersegera menindaklanjuti surat dari DPR ini berarti perjalanan RUU ini menjadi Undang-undang yang sangat dinanti oleh para penyandang disabilitas bisa menjadi lebih cepat terlaksana,” ujarnya.(L/R05/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain