Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat Muslim-Kristen Buka Puasa Bersama

Ali Farkhan Tsani - Rabu, 14 Juni 2017 - 10:48 WIB

Rabu, 14 Juni 2017 - 10:48 WIB

260 Views

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Masyarakat Islam di Toronto, Kanada, beberapa kali mengundang secara resmi warga non-Muslim di sekitarnya untuk menikmati hidangan buka bersama (bukber) Ramadhan tahun ini.

Berbagai hidangan, mulai dari kurma, buah-buahan, dan aneka makanan disediakan untuk para tamu, dengan layanan tempat terpisah untuk pria dan wanita.

Panitia juga menjelaskan apa itu puasa Ramadhan dan apa artinya bagi umat Islam, seperti dilaporkan The Norman Transcript.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Di benua lain, orang-orang Islam dan Kristen melakukan hal serupa, bukber Ramadhan. Namun kali ini tempatnya di kompleks gereja Perth, Australia, laporan khusus Abc.Net menyebutkan.

Kedua pemimpin agama Muslim dan Kristen Australia menghabiskan waktu sore bulan suci Ramadhan berdampingan akrab sambil bukber.

Kedua pemimpin agama mengatakan meski sejarah sering mendeskripsikan kedua agama tersebut dalam konotasi perang. Namun, mereka menemukan kesamaan, dan juga belajar untuk saling memahami perbedaan mereka.

Hal seperti itu mereka anggap sebagai cara terbaik untuk membuat kemajuan ketika ada banyak kesalahpahaman, dan itu cukup diselesaikan di depan meja hidangan, sambil menyantap roti dan berbagi makanan, ungkap ulama setempat, Imam Faizel.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Sementara Pendeta Humphries menyebutkan bahwa warga Kristen dan Islam adalah bagian dari satu kisah kehidupan. Semua tulisan kitab kuno secara keseluruhan menunjuk ke arah kesatuan umat manusia, ujarnya.

Pengakuan lainnya adalah dari Aisha Novakovich, seorang Muslim yang ternyata pengagum tulisan-tulisan Pastor Peter dan Imam Faizel sekaligus. Dan menurutnya, kedua tokoh agama yang berbeda keyakinan itu ternyata memiliki persahabatan yang indah.

Betapa dua pemimpin agama terkemuka di Australia itu ternyata mampu menunjukkan kepada dunia, bahwa ada yang bisa dicapai oleh mereka yang memiliki visi dan kepemimpinan. Tanpa perlu menimbulkan konflik atau perpecahan hanya karena beberapa perbedaan yang memang tidak bisa disatukan. Sebab menyangkut keyakinan, keimanan dalam jiwa, dan hidayah ilahi.

Hingga dengan demikian, dengan bersatu dalam perbedaan itu, dapat saling bersinergi dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan dunia, dengan penuh tolerasi dan kedamaian. Sebuah platform bersama yang didedikasikan untuk merayakan kekayaan dan keragaman komunitas sebuah bangsa besar yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan sangat menghargai arti sebuah nyawa manusia, karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Toleransi dan persaudaraan kemanusiaan di sudut kota Australia itu pun berlanjut, dengan adanya rencana pembangunan masjid di samping gereja yang sudah lebih dulu ada. Tentu ini mengingatkan dua tempat ibadah agama berbeda yang berdampingan dengan damai, di Indonesia. Ya, itulah Masjid Istiqlal di sisi Gereja Katedral di Jakarta, ibukota Indonesia.

Katedral-Istiqlal

Letak yang berdampingan secara harmonis, Istiqlal-Katedral memang sengaja dibangun oleh Presiden Sukarno secara berdekatan. Begitulah, alasan utama Bung Karno membangun dua tempat ibadah itu adalah sebagai simbol dan untuk mempererat kerukunan antara umat Muslim dan umat Kristen di Indonesia.

Ide pembangunan Masjid Istiqlal itu sendiri dipelopori oleh K.H. Wahid Hasyim,  Menteri Agama RI pertama, bersama H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan, dan sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Sebuah gambaran yang menunjukkan semangat nasionalisme yang sarat dengan makna toleransi dan kemerdekaan.

Istiqlal di satu sisi, Katedral di sisi lain, berdiri kokoh dan megah dengan harmonis, adalah perlambang harmonisasi kehidupan beragama di Indonesia. Sebuah lambang semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi beragama sesuai Pancasila di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan jika ditinjau lebih awal lagi, pihak yang terlibat membangun Masjid Istiqlal ini sudah menunjukkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Arsiteknya adalah Frederich Silaban, seorang yang beragama Kristen Protestan dan anak pendeta lagi, terpilih dengan desain rancangan berjudul “Ketuhanan”.

Frederich Silaban, adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam pada 1950.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Pada sisi lainnya, jiwa nasionalisme dari para ulama zaman dulu juga sudah sangat tinggi. Sehingga ketika nama Frederich Silaban itu muncul sebagai arsitek masjid, itu tidak didemo atau digugat.

Itulah saksi bangunan bisu yang berbicara mengenai nilai-nilai toleransi yang tinggi di sebuah masyarakat bangsa Indonesia yang dari dulu amat menghargai indahnya perbedaan.

Kedua rumah ibadah megah dari agama berlainan  yang saling berdekatan itu pun, belum lama ini kembali menjadi saksi saat solidaritas dan toleransi umat Muslim melaksanakan aksi Bela Islam 112 yang berpusat di Masjid Istiqlal. Pasangan pengantin yang akan melaksanakan pernikahan di Gereja Katedral mendapatkan pengawalan oleh peserta aksi umat Islam.

Melihat kendaraan yang ditumpangi pasangan Asido dan Felicia yang kesulitan menembus kerumunan massa, membuat sejumlah peserta aksi turun tangan dan mengawal pasangan tersebut hingga halaman Gereja Katedral.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Keindahan toleransi itu juga terlihat dalam pekanan, saat umat Muslim shalat Jumat berjamaah di Masjid Istiqlal dan kehabisan tempat parkir. Maka, halaman Katedral pun dipersilakan untuk tempat kendaraan jamaah.

Begitu pula sebaliknya, manakala kebaktian Minggu di Kategral, kehabisan tempat parkir mobil. Halaman Istiqlal pun menyediakan diri sebagai tempat kendaraan.

Kalau Muslim-Kristen di benua Amerika dan benua Australia di sana bisa duduk bersama, akrab ngobrol soal-soal keseharian sambil menyantap aneka makanan, tanpa saling bermusuhan karena soal perbedaan keyakinan. Karena soal keyakinan memang tidak bisa dipaksakan. Didakwahkan ya.

Kita tentu di Indonesia bisa lebih dari itu. Apalagi jika itu sesama umat Islam, yang bukan beda agama. Tapi hanya beda organisasi, parpol, kendaraan dakwah, dan berbagai perbedaan lainnya. Namun tetap satu Al-Islam dengan sumber yang satu Al-Quran danAs-Sunnah. Tentu bisa lebih akrab dan toleran lebih dari mereka itu. Insya-Allah, ini berkah Ramadhan kiranya. Aamiin.(RS2/RS3)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
MINA Preneur
Internasional