LEDAKAN itu bukan dari luar pagar sekolah. Ia lahir dari dalam — dari ruang belajar yang mestinya penuh ilmu, dari jiwa muda yang mestinya haus masa depan. Dua kali dentuman keras mengguncang masjid SMAN 72, Kelapa Gading, Jakarta Utara, tepat saat salat Jumat berlangsung pada 7 November 2025. Suara jerit, kepulan asap, dan kepanikan merebak. Sebanyak 96 orang menjadi korban luka, dan 67 di antaranya kini sudah dipulangkan. Tapi luka batin yang ditinggalkan peristiwa ini tak akan mudah sembuh.
Polisi mengungkap fakta mengejutkan: pelaku ledakan itu adalah siswa di sekolah tersebut sendiri. Anak muda yang sehari-hari berada di tengah teman-temannya, belajar, bercanda, bahkan salat di tempat yang sama. Kini ia dirawat di rumah sakit dengan luka di kepala akibat ledakan bom rakitan yang ia bawa sendiri. Di balik luka fisiknya, tersimpan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seorang pelajar bisa membawa kebencian sebesar itu?
Pihak kepolisian bergerak cepat. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan bahwa media sosial terduga pelaku dan keluarganya sedang diperiksa. Catatan pribadi, percakapan digital, dan serbuk bahan peledak ditemukan dan tengah dianalisis. Penggeledahan rumah pelaku pun dilakukan. Sejumlah barang bukti di rumahnya terbukti serupa dengan yang ditemukan di lokasi ledakan. Semua itu menguatkan dugaan bahwa peristiwa ini direncanakan, meski mungkin dilatari tekanan batin yang panjang.
Menurut informasi yang beredar, pelaku merupakan siswa yang pernah mengalami perundungan (bullying) di lingkungan sekolahnya. Ia sering diejek, dijauhi, dan dipermalukan. Luka batin itu mungkin tak terlihat, tapi ia tumbuh dalam diam, mengendap dalam hati, hingga akhirnya meledak — bukan sekadar secara fisik, tapi juga secara moral.
Baca Juga: Santri Al-Fatah Pekalongan Dukung Palestina Lewat Lomba Mewarnai dan Kaligrafi
Inilah potret getir dunia pendidikan kita. Sekolah yang semestinya menjadi tempat tumbuhnya karakter justru berubah menjadi ruang tekanan sosial. Anak-anak datang bukan untuk belajar nilai kehidupan, tapi bersaing dalam gengsi dan pergaulan yang kejam. Guru sibuk mengejar target akademik, sementara nilai-nilai akhlak dan empati tergerus pelan-pelan.
Kasus di SMAN 72 Jakarta hanyalah puncak dari gunung es. Di banyak sekolah lain, bullying masih dianggap hal biasa — hanya “candaan remaja”. Padahal, setiap ejekan bisa menjadi luka. Setiap tatapan merendahkan bisa menyalakan api dendam. Dan jika tidak ada guru atau kepala sekolah yang tanggap, percikan kecil itu bisa menjadi bencana besar.
Kini publik bertanya: di mana peran guru? di mana kepala sekolah? Apakah mereka sempat melihat tanda-tanda anak yang tertekan? Atau justru sibuk mengurus laporan, rapor, dan lomba prestasi? Guru yang ideal seharusnya tak hanya mengajar, tapi juga mengasuh jiwa. Kepala sekolah yang sejati seharusnya bukan hanya pemimpin administratif, tapi pemelihara moral dan teladan hidup bagi siswa dan guru.
Ledakan di sekolah bukan hanya soal bom. Ia adalah simbol bahwa pendidikan kita sedang kehilangan nuraninya. Anak-anak belajar fisika tapi tak memahami nilai kehidupan. Mereka bisa menghitung kecepatan ledakan, tapi tak bisa menghitung akibat dari kebencian. Mereka tahu rumus kimia, tapi tak tahu cara mencintai sesama.
Baca Juga: Rektor MIU Iran Kunjungi Muhammadiyah Bahas Kerja Sama Bangun Peradaban Islam
Jika sistem pendidikan hanya mengajarkan ilmu tanpa moral, maka yang kita lahirkan adalah generasi cerdas yang kehilangan akhlak. Mereka tahu cara membuat, tapi tidak tahu kapan harus berhenti. Mereka pintar berpikir, tapi miskin hati.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Bila sekolah gagal menanamkan akhlak, maka sekolah gagal menjalankan fungsi terdasarnya. Bangunan megah, fasilitas lengkap, dan nilai tinggi tak berarti apa-apa bila hati siswa hampa dari kasih.
Kini, polisi menjaga pelaku di rumah sakit. Ia menjalani operasi kepala dan dijaga ketat agar tidak terjadi hal fatal. Tapi siapa yang menjaga hati para siswa lain yang menyaksikan tragedi itu? Siapa yang akan memulihkan rasa aman mereka, agar tak tumbuh menjadi generasi yang takut atau apatis?
Peristiwa ini seharusnya menjadi bahan refleksi nasional. Bahwa setiap anak yang merasa sendirian, setiap korban bully yang diam, bisa berubah menjadi bom waktu jika tak ada tangan yang menyentuh hatinya. Bahwa di balik setiap tragedi, selalu ada ruang kosong yang gagal diisi oleh kasih sayang dan perhatian.
Baca Juga: Tiga Santri Tahfiz Nurul Bayan Majalengka Lolos Seleksi Penulis Muda Nasional
Guru, kepala sekolah, dan orang tua harus kembali bersatu membangun peradaban pendidikan yang berjiwa. Satu pelukan lebih berharga dari sejuta peringatan. Satu kata maaf bisa menyelamatkan satu jiwa. Sekolah bukan tempat mencetak nilai, tapi tempat menumbuhkan manusia.
Mungkin, ledakan di SMAN 72 bukan sekadar musibah. Ia adalah peringatan keras dari langit — bahwa ketika pendidikan kehilangan akhlak, ilmu bisa berubah menjadi senjata, dan sekolah bisa menjelma menjadi pabrik kebobrokan yang kita ciptakan sendiri.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prof Heri Kuswanto: Indonesia Butuh Lonjakan Talenta Kreatif dan Digital
















Mina Indonesia
Mina Arabic