Jakarta, MINA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengungkapkan keinginan organinasi yang dipimpin, yakni presiden kembali dipilih lagi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Hal itu terungkap usai pertemuan pimpinan PBNU dengan delegasi MPR yang dipimpin langsung oleh Bambang Soesatyo di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2019). Kedatangan delegasi MPR untuk membahas sekaligus meminta pandangan terkait rencana amandemen UUD 1945.
“Tentang pemilihan presiden kembali oleh MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek, Cirebon, Jawa Barat, pada tahun 2012 lalu,” kata Said Aqil kepada awak media.
Menurut Said Aqil, lembaga yang dipimpinnya melihat banyak kelemahan dari sistem pemilihan presiden secara langsung. Hal ini semakin terlihat nyata setelah penyelenggaraan pesta demokrasi 2019. Meski telah usai, polarisasi pendukung kedua kubu masih kental terasa.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
“Pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosialnya. Kemarin baru saja betapa keadaan masyarakat kita dibuat mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan. Ya untung enggak ada apa-apa. Tapi apakah selama lima tahun harus kaya gitu,” katanya.
Said Aqil menjelaskan, pemilu yang digelar secara langsung di Indonesia justeru lebih banyak menimbulkan kemadharatan (dampak negatif), ketimbang manfaat untuk menunjukkan nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Karena alasan inilah, kata Said Aqil, PBNU mendorong adanya pemilihan presiden secara tidak langsung melalui amandemen UUD 1945.
“Demokrasi itu merupakan wasilah untuk menuju keadilan, kesejahteraan rakyat. Demokrasi itu alat, media untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kalau demokrasi menunjukkan kemudharatan, belum tentu demokrasi liberal itu akan memberi manfaat,” katanya. (L/R06/P2)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Mi’raj News Agency (MINA)