DI TENGAH riuh sejarah peradaban dunia, nama Salahuddin al-Ayyubi terukir abadi sebagai simbol keberanian, keadilan, dan keteguhan hati. Ia bukan sekadar panglima perang, tetapi juga seorang pemimpin yang memadukan ketajaman strategi dengan kelembutan akhlak. Ketika dunia Muslim terpecah, ia hadir sebagai penyatu yang mengarahkan kekuatan umat menuju tujuan besar: membebaskan Baitul Maqdis.
Baitul Maqdis, tanah suci yang menjadi kiblat pertama kaum Muslimin, jatuh ke tangan pasukan Salib selama hampir satu abad. Duka itu menggores hati umat Islam. Namun, harapan itu tidak pernah padam. Dan harapan itu menemukan wujudnya dalam sosok Salahuddin, sang pemimpin yang tidak pernah gentar menghadapi kekuatan besar Eropa.
Salahuddin tumbuh dengan didikan agama yang kuat. Ia dikenal sederhana, jauh dari sifat tamak, serta gemar beribadah. Ia mendirikan shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan menjadikan doa sebagai senjata utama sebelum pedang dihunuskan. Baginya, kemenangan sejati bukan hanya dalam merebut kota, tetapi dalam menundukkan hawa nafsu dan menjaga niat tetap ikhlas.
Ketika menapaki medan jihad, Salahuddin tidak hanya membawa semangat perang, tetapi juga membawa visi persatuan. Ia menyadari, kelemahan umat Islam bukanlah karena kurangnya pasukan, melainkan karena hati yang tercerai-berai. Dengan kebijakan, ia menyatukan Mesir, Syam, dan Irak di bawah panji Islam, sehingga terbentuk kekuatan besar yang mampu menghadapi pasukan Salib.
Baca Juga: Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi di Balik Makam Megah India
Perang Hattin pada tahun 1187 menjadi momentum besar. Dengan strategi brilian, Salahuddin berhasil mengalahkan pasukan Salib yang jauh lebih besar. Bendera-bendera salib runtuh di bawah hantaman semangat takbir. Di situlah jalan menuju Baitul Maqdis terbuka lebar.
Namun, yang paling menggetarkan hati bukan hanya kemenangan militer itu, melainkan sikap Salahuddin setelah menaklukkan musuh. Berbeda dengan kekejaman pasukan Salib ketika merebut Yerusalem—yang menumpahkan darah ribuan Muslim—Salahuddin justru menunjukkan kasih sayang. Ia membiarkan umat Nasrani pergi dengan aman, bahkan memberikan uang bagi mereka yang tak mampu membayar tebusan.
Keadilan dan kebijaksanaannya membuatnya dikenang, bahkan oleh lawan. Richard The Lionheart, salah satu panglima besar Salib, menaruh hormat pada Salahuddin. Mereka memang berperang di medan laga, tetapi di luar itu, keduanya saling menghargai sebagai ksatria sejati. Inilah bukti bahwa kemuliaan akhlak mampu menembus batas agama dan bangsa.
Baitul Maqdis kembali ke tangan Islam pada tahun 1187. Air mata haru tumpah ketika takbir berkumandang dari Masjid Al-Aqsa. Setelah hampir sembilan puluh tahun dijajah, kota suci itu kembali dipeluk oleh Islam dengan penuh kehormatan. Peristiwa itu bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan spiritual seluruh umat.
Baca Juga: 39,2 Ton Harapan dari Langit: Kisah Misi Satgas Garuda Merah Putih II untuk Gaza
Salahuddin tidak berhenti di situ. Ia terus memperkuat Baitul Maqdis, menghidupkan kembali masjid, memuliakan ulama, serta menyejahterakan rakyat. Ia memandang dirinya bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai pelayan umat. Baginya, kekuasaan hanyalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Keikhlasannya terlihat jelas ketika wafat. Sang penakluk besar yang menggetarkan dunia itu meninggal hanya dengan meninggalkan tiga keping dinar dan sehelai kain kafan. Tak ada istana mewah, tak ada tumpukan harta. Ia membuktikan bahwa kejayaan Islam bukanlah untuk memperkaya diri, melainkan untuk meninggikan kalimat Allah.
Hingga kini, Salahuddin tetap menjadi teladan. Dari Timur hingga Barat, dari umat Islam hingga umat Kristen, namanya dikenang dengan hormat. Ia adalah contoh bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah yang ditakuti rakyatnya, melainkan yang dicintai karena keadilan dan kasih sayangnya.
Bagi generasi Muslim hari ini, kisah Salahuddin adalah cermin. Ia mengajarkan bahwa kebangkitan bukanlah khayalan. Dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan persatuan yang erat, umat ini bisa kembali berjaya. Meski tantangan zaman berubah, semangatnya tetap relevan: jangan pernah menyerah pada perpecahan dan penjajahan.
Baca Juga: Dari Kijang Inova hingga Kopi yang Mengubah Hidup
Baitul Maqdis masih menjadi luka dan harapan hingga kini. Setiap langkah menuju pembebasannya kembali membutuhkan jiwa-jiwa yang meneladani Salahuddin: berani, adil, ikhlas, dan penuh kasih sayang. Bukan hanya pedang yang dibutuhkan, tetapi juga kekuatan iman, ilmu, dan persatuan umat.
Sejarah telah membuktikan bahwa satu orang bisa mengubah arah peradaban. Salahuddin al-Ayyubi adalah buktinya. Dari rahim kesederhanaan lahir seorang penakluk yang dikenang lawan dan kawan. Kini, tugas kita adalah menyalakan kembali semangat itu dalam jiwa, agar umat ini kembali bangkit, dan Baitul Maqdis benar-benar merasakan kebebasan yang abadi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Santri AGA Nurul Bayan Kibarkan Merah Putih dan Palestina di Puncak Cakra