Salwa, Berprestasi dengan Al-Quran

namanya. Ia adalah salah satu alumni Pondok yang cukup berprestasi, dan kini tercatat sebagai mahasiswi aktif di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Semester IV.

Salwa yang merupakan anak kedua dari pasangan Nurhamim dan Budhi Wardaningsih itu lahir di Cilacap pada 22 November 1998.

Di usianya yang terbilang masih sangat muda, Salwa telah meraih banyak prestasi dalam lomba-lomba Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) maupun lomba tahfizul Quran di berbagai tingkatan, mulai dari sekolah, kecamatan, kabupaten, hingga tingkat provinsi.

Semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Salwa sudah aktif menghafal surat-surat pendek. Ketika akan memasuki jenjang pendidikan selanjutnya yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada tahun 2011, Salwa meminta kepada orangtuanya untuk menyekolahkannya di pesantren khusus menghafal Al-Quran yang jauh dari rumah.

Kedua orangtuanya pun mencarikan pesantren tahfiz di Bogor. Hanya saja dengan alasan yang tidak diketahuinya, kedua orangtua Salwa memilih untuk menyekolahkannya di Pesantren Al-Fatah Maos, yang saat itu belum ada program khusus untuk tahfiz. Padahal keinginan Salwa saat itu memang hanya ingin pesantren yang khusus tahfiz saja.

“Sebenarnya di Al-Fatah Maos juga menghafal, hanya saja saat itu di Al-Fatah Maos belum ada program tahfiznya. Jadi menghafalnya hanya separo-separo saja,” katanya.

Pada tahun 2012, kedua orangtua Salwa menawarinya untuk mengikuti Dauroh Tajul Waqar di Al-Fatah Lampung, yang saat itu pembina daurohnya berasal langsung dari Gaza, Palestina. Dari situ Salwa mulai sering mengikuti dauroh-dauroh di tempat yang berbeda-beda.

“Mulai lebih semangat juga menghafal Quran. Dan akhirnya, waktu masuk Madrasah Aliyah (MA) di Al-Fatah Maos ada program tahfiz dan di situ lebih intensif lagi menghafal Qur’an,” ungkap Salwa mengenang masa-masa menghafal di Pesantren Al-Fatah Maos.

Sejak duduk di bangku sekolah SD, MTs, MA bahkan hingga menjadi mahasiswi jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UPI, Salwa telah beberapa kali mengikuti lomba menghafal Al-Quran baik di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten atau bahkan provinsi menjadikan satu pembelajaran yang berarti untuk Salwa sendiri.

“Pelajaran yang paling sering aku dapat dari hasil lomba-lomba itu, saat aku menang atau pun kalah adalah harus terus murojaah. Kapan pun, ketika ikut lomba ataupun ngga ikut, terus murojaah. Soalnya kebanyakan kawan-kawan yang aku temuin, mereka itu sangat semangat menghafalnya,” ujar Salwa.

Salwa berkisah tentang pengalaman yang paling menyentuh adalah ketika mengikuti lomba tahfiz di Pesantren Darunnajah Jakarta. Lomba yang diadakan oleh salah satu lembaga dari Qatar itu memberikan penghargaan hadiah untuk sang juara mendapatkan uang Rp 25 juta plus berangkat umroh.

“Saat itu ada beberapa kategori dari jumlah juz. Nah yang untuk 30 juz putra itu ternyata pemenangnya seorang tunanetra. Waktu itu terharu banget, soalnya orang yang tunanetra aja bisa menghafal Quran, bahkan jadi juara dan berkahnya bisa dipanggil ke rumah Allah. Aku jadi malu sendiri gitu, padahal Allah udah karuniakan fisik yang sempurna, tapi menghafal dan murojaahnya masih belum maksimal,” kenangnya saat menceritakan momen mengharukan tersebut.

Inspirasi dari Kisah Kelahiran

Perempuan yang saat ini telah menginjak usia 20 tahun itu beberapa kali meraih prestasi juara dalam lomba tahfiz atau MTQ. Dalam perlombaan tahfiz misalnya, Salwa pernah merasakan juara satu tingkat kecamatan dan kabupaten ketika dirinya masih duduk di kelas 2 MTs.

Kemudian, saat Salwa sudah berada di kelas 1 MA, dirinya pernah meraih juara 1 tingkat kecamatan dan kabupaten. Selanjutnya Salwa juga pernah menjadi juara dua lomba tahfiz tingkat provinsi saat ia duduk di kelas 2 MA.

Semangatnya dalam menghafal Al-Quran ternyata berawal dari kisah di balik kelahirannya yang cukup mengharukan. Adalah Nurhamim, yang tak lain adalah ayahnya, pada November 1998 tengah mengikuti lomba MTQ Nasional di Jakarta.

Sebagai seorang yang saat itu memiliki jiwa muda, tentu menjadi juara adalah hal yang membanggakan. Namun, di tengah semangatnya mempersiapkan segala kebutuhan yang ada, ia mendapat kabar bahwa istrinya akan melahirkan tepat sehari sebelum ia tampil. Dua pilihan yang sulit. Pada akhirnya Nurhamim memilih pulang ke Cilacap.

Salwa mengaku kisah tentang pengorbanan kedua orangtuanya tersebut menjadikan inspirasi dan motivasi semangat tersendiri baginya dalam menghafal Al-Quran atau mengikuti perlombaan dan sebagainya.

“Pas mendengar kisah kelahiran Salwa, entah kenapa kok jadi semangat menghafal Quran atau lagi ikut lomba dan sebagainya. Jadi semangat aja gitu, ketika teringat sama pengorbanan orangtua. Apa yang bisa kita kasih ke orangtua? Orangtua kan tidak mengharapkan materi dari kita, mereka hanya ingin anaknya menjadi salihah agar bisa memberikan syafaat di akhirat kelak,” ujarnya.

Hingga saat ini, Salwa masih aktif untuk mengikuti perlombaan tahfiz maupun MTQ. Jadwal kuliah yang padat tidak menjadikannya lupa untuk selalu memantapkan hafalan Al-Quran.

“Sekarang lagi ingin memutqinkan (menguatkan) hafalan, karena memang cukup berat buat saya sekarang, soalnya ada kuliah juga. Jadi gimana kita pintar-pintar bagi waktu antara kuliah sama menghafal Quran. Itu tantangan tersendiri buat Salwa. Dari situ banyak-banyak minta nasihat ke orang lain, kalau diri meerasa mulai futur, muhasabah diri terus, selama ini waktu dipake buat apa,” ucap Salwa.

Sosok yang mengagumi pendakwah Aa Gym itu berpesan untuk seluruh adik kelasnya di Pesantren Al-Fatah agar tetap semangat menghafal Al-Quran dan murojaah. Sebab Al-Quran itu merupakan harta paling berharga yang dimiliki orang Muslim.

“Jagalah mushaf dan di dada kalian sebagai salah satu mujahadah kita menjaga kalam Allah. Kalau harta ngga bisa kita bawa ke alam kubur, kalau Al-Quran itu yang nanti akan menjadi cahaya dan menemani kita di sana. Semoga juga bisa menjadi syafaat untuk kita di Hari Kiamat nanti,” ujarnya.

“Ujian duniawi ini sering bikin kita lalai sama Al-Qur’an, sering bikin kita lupa baca, ziyadah, dan murojaah, karena kalau kata Aa Gym, semakin kita bergelut dalam hal-hal yang sifatnya duniawi, kenikmatan ibadah itu bisa memudar. Termasuk kenikmatan membaca Qur’an, menghafal Qur’an, dan mentadaburi Qur’an,” katanya lagi.

Mengutip perkataan Aa Gym, tidak ada orang yang benar-benar sempurna, yang ada Allah yang benar-benar sempurna menutupi aib kita. Mungkin kalau Allah buka aib-aib kita, atau aib orang-orang, maka sudah tidak ada lagi yang saling mengagumi satu dengan yang lain. (A/Ais/R06)

Mi’raj News Agency (MINA)