Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Manal Abu Akhar berusia 12 tahun ketika tentara Israel menembak dadanya dalam pawai pemakaman korban Intifadhah Pertama, perjuangan serentak rakyat Palestina melawan penjajahan dan penindasan Israel.
Dia segera dilarikan ke rumah sakit. Dia harus menjalani operasi dan menghabiskan berbulan masa pemulihan.
Dalam Intifadhah Pertama, gadis ini masih terlalu muda untuk menjadi peserta aktif dalam Intifadhah Pertama yang berlangsung antara tahun 1987 hingga 1993.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Ketika Intifadhah Kedua pecah pada 2000, ia berusia 25 tahun dan sudah menikah, memiliki dua anak kecil. Meski demikian, Manal menemukan cara untuk terlibat dalam Intifadhah Kedua ini.
“Sulit bagi perempuan terlibat selama Intifadhah Kedua,” kenang wanita yang kini berusia 40 tahun itu. “Semuanya senjata dan kelompok bersenjata melawan. Sebagai seorang wanita yang ingin ikut berjuang, sulit. Pejuang wanita benar-benar pengecualian, meski demikian kami semua masih bagian penting (dalam perjuangan Intifadhah Kedua).”
Dalam Intifadhad Kedua ini, Manal berperan dengan cara menjadikan rumah kecilnya di kamp pengungsi Dheisha sebagai tempat perlindungan bagi para pejuang.
Tidak hanya itu, dia juga menggunakan tubuhnya sebagai tameng pengacau untuk mengurangi jumlah orang-orang yang ditahan oleh pasukan Israel, suatu metode yang sekarang digunakan oleh kelompok aktivis internasional di seluruh Tepi Barat yang diduduki.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Ketika (tentara Israel) mencoba untuk menciduk seseorang, kami akan melemparkan diri kami pada orang-orang dan menimbulkan kekacauan sehingga mereka berkesempatan bisa lolos,” jelas Manal.
Beberapa kali Manal ditangkap dan dimasukkan ke dalam jip tentara Israel bersama para lelaki Paelstina yang juga ditangkap. Setelah itu, Manal dan lainnya bersikeras menolak untuk keluar dari jip, cara yang dilakukan untuk memberi waktu bagi para pejuang datang membantu dan membebaskan mereka.
Di masa itu, pergerakan para perempuan Palestina terorganisir dengan baik.
Manal menceritakan ketika seorang tetangganya kehilangan seorang puteranya dalam pertempuran dan Manal ingin pergi ke rumah tetangganya yang berjarak beberapa gang.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Saat itu malam hari. Para wanita sangat dilarang berada di luar rumah, karena sangat berbahaya.
Untuk meluluskan rencananya pergi ke rumah seorang syuhada pada malam hari, Manal kemudian menelepon gadis-gadis yang tinggal di sepanjang daerah itu.
Warga setiap rumah dalam perjalanan dari rumah Manal hingga ke rumah pejuang yang syahid, bertindak sebagai pengintai, mengamati keberadaan tentara Israel di daerah itu.
Ketika Manal meninggalkan rumahnya, para wanita sebelah memberi tanda aman untuk bisa bergerak melewati gang menyeberang ke rumah warga lainnya. Kemudian gang berikutnya, rumah berikutnya, hingga akhirnya Manal sampai di rumah keluarga yang ditinggal syahid. Itu dilakukan untuk memberi dukungan moril kepada keluarga yang berduka.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Keterlibatan Manal dalam Intifadhah kedua, tidak luput dari kekhawatiran suami dan keluarga. Kini dia memiliki puteri yang ia pun perlu khawatirkan.
“Putri bungsu saya (sekarang) 17 tahun dan dia aktif dalam bentrokan,” katanya. “Saya tidak tahu apakah dia melemparkan batu – saya tidak bertanya – tapi saya tahu bahwa dia pergi.”
“Apa yang bisa saya lakukan? Di satu sisi, saya ingin dia aman. Di sisi lain, saya mengerti tindakannya persis (seperti saya dulu), dan dalam hati nurani saya tidak bisa mencoba melarang dan menghentikannya.” (P001/P4)
Sumber: Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung