Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Pembantaian di Rwanda, yang dunia internasional juga kenal sebagai genosida Rwanda, adalah sebuah pembantaian 800.000 suku Tutsi dan Hutu moderat oleh sekelompok ekstremis Hutu Kristen yang dikenal sebagai Interahamwe. Pembantaian itu terjadi dalam masa 100 hari pada 1994.
Salah satu saksi tragedi kelam yang masih hidup adalah Jabir Rumanyika yang saat kejadian masih bersekolah di tingkat menengah. Kini usianya 43 tahun dan aktif dalam membantu sesama korban genosida yang selamat dari kekejaman itu dan mengalami kenangan buruk yang menjadi trauma hingga sekarang.
“Kami membantu dalam penyembuhan di mana yang kami bisa,” kata Jabir dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency di pusat pengungsian di Johannesburg, Afrika Selatan. “Di mana kami yang tidak bisa, kami akan melibatkan terapis yang jauh lebih berkualitas untuk membantu para korban.”
Dalam 100 hari “pesta” pertumpahan darah itu, Jabir kehilangan 21 anggota keluarganya, termasuk sang ayah.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
“Saya ingat kejadian itu. Saya tidak akan pernah melupakannya,” katanya. “Saya melihat seorang Hutu menembak seorang wanita Tutsi hamil di perutnya.”
Meskipun menyaksikan adegan mengerikan seperti itu, Jabir tidak pernah menerima konseling untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, ia memiliki kelebihan untuk membantu memulihkan psikis sesama korban.
“Saya berharap saya bisa menjadi seorang terapis sendiri, karena saya melihat lebih banyak luka (korban lain) yang membutuhkan penyembuhan,” katanya.
Sebagai seorang anak, mimpinya untuk menjadi seorang diplomat telah hancur pada 6 April 1994, ketika ia duduk di rumah seorang temannya mengerjakan tugas sekolah.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
“Kami mendengar ledakan keras,” katanya. “Ledakan itu begitu keras, bum, bum, semua orang terkejut dan bertanya-tanya apa yang terjadi, karena ledakan tak terduga.”
Jabir menduga yang didengarnya saat itu adalah penembakan pesawat Presiden Juvenal Habyarimana yang datang untuk mendarat di Bandara Internasional Kigali.
Dalam beberapa jam, kematian Presiden Rwanda diumumkan dan militan Interahamwe mengatur blokade di jalan-jalan dan mulai memburu warga suku Tutsi dan Hutu moderat. Kebanyakan mereka tewas oleh pisau dan parang.
“Malam itu, kami mendengar banyak suara di sekitar kota. Kami tidak bisa tidur. Orang-orang menangis di jalanan, ada ledakan granat hampir di mana-mana. Pembantaian dimulai,” kata Jabir yang saat itu berusia 23 tahun dan tinggal bersama bibinya di ibukota.
Sebagai seorang suku Tutsi, Jabir dalam bahaya besar ketika siaran radio menyeru Interahamwe untuk membunuh Tutsi “kecoak”. Ketika pembantaian pecah di seluruh ibukota dan menyebar lebih jauh, Jabir dan bibinya memilih tinggal di dalam rumah.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Pada satu kesempatan, dia menyelinap keluar dari rumah. Dia melihat mayat bergelimpangan di jalan-jalan di tengah genangan darah.
“Kadang-kadang milisi Hutu akan datang di malam hari dan mengetuk pintu kami dengan mengatakan mereka ingin ‘kecoak’ (Tutsi), tapi kami tetap diam,” kata Jabir.
Muslim Hutu selamatkan Tutsi
Satu hal penting dalam kelangsungan hidup Jabir dan warga Tutsi lainnya adalah tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Muslim Hutu.
“Ketika genosida semakin meningkat, seorang pria Muslim Hutu datang ke rumah bibi saya dan mengatakan kepadanya bahwa saya harus meninggalkan rumah malam itu dengan segala cara, karena ekstrimis Hutu datang untuk membunuh kami,” kenang Jabir seraya menahan tangisnya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Menurut Jabir, Muslim Hutu tidak hanya melindungi kaum Tutsi dari milisi yang haus darah, tapi juga menyelamatkan banyak orang Tutsi Kristen dan menyembunyikan mereka di dalam masjid.
“Mereka menolak menjebak untuk membunuh rekan senegara mereka,” kata Jabir.
Sementara itu, sebagian orang Tutsi yang mencari perlindungan di gereja, dibunuh oleh sesama orang Kristen, termasuk para pendetanya dibunuh.
Bibinya terpaksa menyuap anggota milisi untuk bisa membawa Jabir ke kedutaan Tanzania. Namun dalam perjalanan, mereka dihentikan di sebuah blokade jalan yang dipasang oleh massa ekstrimis Hutu.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Seorang wanita Tutsi yang hamil dan dalam perjalanan, diseret dari mobilnya dan ditembak mati. Jabir hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Saya juga dipukuli, tapi milisi yang membawa saya ke kedutaan menyelamatkan hidup saya dengan pergi meninggalkan saya,” katanya.
Jabir ditinggalkan di kedutaan bersama sesama orang Tutsi dan warga negara Tanzania yang tersisa dari genosida.
“Tidak ada waktu untuk tidur di malam hari. Kami (kedutaan) bertetangga dengan gereja Sainte Famille dan bisa mendengar suara orang-orang yang dibunuh oleh ekstrimis Hutu,” kata Jabir.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Setelah pasukan Front Patriotik Rwanda mengambil alih kontrol kota, Jabir memilih belajar dari kematian kerabatnya. Setelah itu, ia memutuskan untuk meninggalkan Rwanda.
“Saya tidak bisa menemukan harapan di negara saya lagi,” ratapnya. “Semuanya telah hancur.” (P001/R03)
Sumber: Anadolu Agency
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel