Oleh: Abubaker Abed, jurnalis dan penerjemah dari kamp pengungsi Deir al-Balah di Gaza
Ini adalah Ramadhan yang penuh air mata dan patah hati. Saya merasa tidak enak badan dan takut mati.
Sudah hampir 180 hari sejak terakhir kali saya bisa tidur nyenyak. Saya merasa seperti saya telah menua secara signifikan pada periode itu.
Baca Juga: Pengadilan Tinggi Israel Perintahkan Netanyahu Tanggapi Petisi Pengunduran Dirinya
Saya pucat dan semangatku rendah.
Selama pekan pertama Ramadhan, sebuah vas terus berjatuhan. Vas itu tidak memiliki bunga di dalamnya.
Ada sesuatu tentang vas yang terus jatuh itu yang membuatku patah hati. Setiap saat.
Ibu saya mempunyai masalah tiroid. Saya terus-menerus mendengarnya batuk.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Seringkali ada darah di lantai kami. Itu dari kaki ayah saya yang pegal dan pecah-pecah.
Gambar latar belakang ponsel saya menunjukkan kentang goreng dan saus tomat. Setiap kali keponakan saya yang berusia 2 tahun melihat telepon, dia menjilat layarnya.
Ibunya sendiri tidak bisa memberinya cukup makanan.
Keponakan saya yang lain memainkan permainan perang yang menakutkan. Mereka membayangkan sebuah rudal telah menghantam dan membunuh mereka.
Baca Juga: Sejumlah Jenazah di Makam Sementara Dekat RS Indonesia Hilang
Salah satu saudara perempuan saya sedang hamil. Dia dipenuhi rasa takut.
Kehabisan harapan
Saya terkadang melihat foto-foto dari Ramadhan lalu – saat yang penuh kegembiraan.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Saya rindu meja buka puasa adikku. Di sana saya akan makan okra, makanan favorit saya.
Satu-satunya bahan yang saya miliki sekarang untuk resep berbahan dasar okra adalah sedikit kemangi.
Saya telah menanam kemangi di bulan pertama perang ini. Itu adalah cara saya mencari harapan.
Saya kehabisan harapan.
Baca Juga: Roket Hezbollah Hujani Tel Aviv, Warga Penjajah Panik Berlarian
Selama Ramadhan tahun lalu saya shalat malam di Masjid Agung Kota Gaza (juga dikenal sebagai Masjid al-Omari).
Dalam perjalanan menuju masjid, saya menghirup aroma kurma, kacang-kacangan, dan rempah-rempah. Jalanan penuh dengan makanan.
Semua itu kini berada di luar imajinasi kami.
Ramadhan lalu, kami pergi berbuka puasa di Taman Kota Gaza.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Kota ini telah diserang oleh pasukan Israel selama perang saat ini. Kini hanya tinggal tumpukan puing.
Saya biasa bersuka cita dengan suasana Ramadhan.
Balkon di mana-mana dihiasi lentera.
Gelak tawa anak-anak pun menggema.
Baca Juga: Sebanyak 1.000 Dokter dan Perawat Gugur akibat Agresi Israel di Gaza
Orang-orang berkumpul untuk bertemu satu sama lain.
Saat ini sudah jarang terlihat rumah yang tidak rusak atau hancur.
Jalanan memancarkan kesengsaraan.
Baca Juga: Netanyahu Kembali Ajukan Penundaan Sidang Kasus Korupsinya
Terbalik
Semuanya telah terbalik.
Israel sekali lagi membawa kita kembali ke zaman batu.
Saya rindu sebotol jus tebu yang selalu dibawakan temanku selama Ramadhan. Itu bukanlah sebuah kemewahan tetapi sebuah pengobatan karena sistem imun saya lemah.
Baca Juga: Hujan Deras Rusak Tenda-Tenda Pengungsi di Gaza
Israel telah merampas hal-hal yang saya sukai dan yang saya perlukan.
Saya bahkan tidak dapat menemukan tempat untuk membaca atau mendengarkan Al-Quran.
Saya tidak bisa mendapatkan ketenangan sedetik pun. Saya tidak dapat memperoleh sesuatu yang baik.
Kebisingan drone Israel memperpendek umur saya.
Baca Juga: Abu Obaida: Sandera Perempuan di Gaza Tewas oleh Serangan Israel
Saya mencoba menghibur diri dengan mengingat bahwa saya pernah memiliki kehidupan.
Kehidupan itu kini telah hilang.
“Bagaimana bisa hilang?” Saya penasaran.
Lalu saya mengajukan pertanyaan yang menghantui saya: Akankah saya selamat dari genosida ini?
Saya melihat debu menutupi ransel universitas saya dan melihat buku-buku di dalamnya. Lalu saya memikirkan apakah saya akan dianggap sebagai pelajar lagi.
Ramadhan harus dimulai dengan mendengarkan penabuh genderang. Dia membangunkan kami untuk sahur.
Suara itu telah digantikan oleh ledakan bom Israel.
Di seluruh dunia, umat Islam menikmati manisan Ramadhan.
Saya menambahkan pemanis buatan – cocok untuk penderita diabetes – ke dalam satu-satunya secangkir teh yang saya minum setiap hari. Teh dibuat dengan air yang tercemar.
Tidak ada suara azan yang terdengar di lingkungan saya.
Tidak ada senyuman yang terlihat di wajah orang-orang.
Di lingkungan saya, para ibu berduka atas kematian anak-anak mereka dan para suami menangis karena istri mereka dibunuh.
Anak-anak makan rumput karena lapar.
Kami semua trauma.
Saya memiliki banyak kenangan Ramadhan dari tahun-tahun sebelumnya.
Namun jika saya selamat, saya tidak akan bisa menikmati tempat-tempat yang saya kunjungi sebelumnya. Mereka berada dalam reruntuhan.
Israel telah membunuh teman-teman saya.
Israel telah menghancurkan hidup saya.
Saya merindukan segalanya. (AT/RI-1/p2)
Sumber: The Electronic Intifadah
Mi’raj News Agency (MINA)