Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 183)
Sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat tentang perintah puasa Ramadhan atau tentang kewajiban puasa Ramadhan tersebut, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Ketika sampai di Madinah (hijrah) beliau berpuasa di hari Asysyura dan berpuasa tiga hari setiap bulannya”.
Waktu itu umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan puasa wajib tiga hari setiap bulannya.
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Setelah hijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lalu beliau bertanya tentang sebab musababnya mereka berpuasa pada hari tersebut. Orang-orang Yahudi itu menyatakan bahwa pada hari tersebut Allah telah menyelamatkan Nabi Musa Alaihis Salam dan kaumnya dari serangan Fir’aun. Oleh karena itu Nabi Musa Alaihis Salam melaksanakan shaum pada tanggal 10 Muharram sebagai tanda syukur kepada Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengulas keterangan mereka itu dengan menyatakan, “Sesungguhnya kami (umat Islam) adalah lebih berhak atas Nabi Musa dibanding kalian”. Lalu beliau melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram dan memerintahkan seluruh umat Islam supaya berpuasa pada tanggal tersebut.
Beberapa waktu kemudian, pada bulan Sya’ban tahun ke-2 Hijriyah, Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan menurunkan ayat 183-184 dari surat Al-Baqarah.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh As-Shiyam menjelaskan bahwa kewajiban puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriyah ini berhubungan erat dengan periodesasi dakwah Islam pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Sejarah mencatat, periode Makkah adalah periode wahyu diturunkan dalam rangka penanaman Aqidah serta pemurnian tauhid kepada Allah daripada noda-noda jahiliyah yang mengotori hati, pemikiran dan tingkah laku masyarakat kala itu. Sedangkan pasca hijrah atau disebut sebagai Fase Madinah, kaum Muslimin telah menjadi kaum yang satu yang memiliki struktur masyarakat yang jelas (masyarakat al-jama’ah), dan dikuatkan dengan pondasi Piagam Madinah. Karena itu pada fase ini disyariatkanlah kepadanya beberapa kewajiban, digariskan beberapa ketentuan dan dijelaskan beberapa hukum termasuk di dalamnya Jihad dan puasa Ramadhan pada tahun kedua Hijriah.
Setelah itu, maka puasa pada tanggal 10 Muharram dan puasa tiga hari setiap bulannya berubah status menjadi puasa tambahan yang dianjurkan atau sunah. Sedangkan puasa Ramadhan sebulan penuh menjadi wajib.
Hampir sama sebenarnya, kalau dulu tiga hari tiap bulan dikalikan 12 bulan menjadi 36 hari. Ditambah puasa wajib tangal 10 Muharram. Jumlah totalnya menjadi 37 hari per tahun. Sedangkan bulan Ramadhan sebulan penuh sejumlah 29 atau 30 hari. Namun, tentu saja kandungan pahalanya jauh lebiuh banyak ibadah puasa ramadhan itu. (T/P4/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi