Banda Aceh, MINA – Terhitung sejak Rabu (3/4), Pemerintah Brunei Darussalam secara resmi menerapkan hukuman rajam bagi para pelaku LGBT di negara tersebut, membuat sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia melakukan protes terhadap aturan yang di terapkan itu.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Faisal Ali pada Kamis (4/4) mengungkapkan, jauh sebelum penerapan hukum rajam bagi pelaku LGBT, delegasi Brunei sering mengunjungi Provinsi Aceh untuk belajar dan berdiskusi tentang syariat Islam yang berlaku di Aceh.
Ia meminta agar Brunei Darussalam tidak menghiraukan dunia luar dan mengatakan, umat Islam di belahan dunia mana pun, tidak mesti di Brunei, sudah sapatutnya menjalankan ajaran agama Islam dan tuntutan Allah SWT.
Faisal Ali menambahkan, LGBT merupakan perilaku yang hukumnya sudah jelas tertera di dalam Al-Quran dan tidak perlu ada fatwa. Namun fatwa tersebut diperlukan jika ada regulasi tindak lanjut sebagai jembatan penghubung antara hukum Al-Quran dan hukum negara.
Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga
“LGBT memang sudah diharamkan dan hukumnya dirajam, itu jelas gak perlu dirubah-rubah lagi,” katanya.
Pada tahun 2014, Brunei membawa sebanyak tujuh orang Jaksa Syariah untuk melakukan studi banding ke Aceh.
Rombongan yang dipimpin Hadiyati Binti Abdul Hadi langsung diterima Wali Kota Banda Aceh saat itu, Illiza Saaduddin Djamal, bersama dengan Ketua Mahkamah Syariyah, Kajari Banda Aceh, Husni Tamrin dan seluruh Kepala SKPD jajaran Pemko Banda Aceh.
Dalam penjelasannya, Hadiyati mengatakan tujuan mereka ke Banda Aceh ingin mengetahui bagaimana perundang-undangan (Qanun) dan kehakiman syariah di Banda Aceh dan Aceh untuk kemudian diadopsi dan diimplementasikan di Negara tersebut.
Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas
Tidak hanya Brunei yang melakukan studi banding ke Aceh, Malaysia dan Thailand disebutnya sering berkunjung ke Aceh untuk belajar dan berdiskusi tentang hukum Syariat Islam secara umum, tujuannya untuk dicontoh dan diterapkan di negara masing-masing.
Faisal menambahkan, di Provinsi Aceh sendiri saat ini pelaku LGBT baru dijatuhi hukuman cambuk, tetapi tidak menutup kemungkinan Qanun tersebut akan mengalami perubahan. “Saat ini, itu dulu yang kita jalankan, berdasarkan hasil kesepakatan bersama,” kata Faisal.
Hasil Muzakarah Ulama tahun 2016 lalu, Ulama Aceh juga ikut mengusulkan kepada pemerintah Aceh agar mewaspadai perilaku sex menyimpang atau LGBT di Aceh, sehingga perilaku tersebut tidak berkembang di Aceh. (L/AP/RI-1)
Baca Juga: Tiba di Inggris, Presiden Prabowo Hadiri Undangan Raja Charles III
Mi’raj News Agency (MINA)