Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Khalifah: Menelusuri Jejak Marwan bin Hakam

Rendi Setiawan - Rabu, 27 Maret 2019 - 05:46 WIB

Rabu, 27 Maret 2019 - 05:46 WIB

103 Views

Setelah beberapa bulan terjadi kekosongan kepemimpinan, Dinasti Umayyah akhirnya mendaulat Marwan bin Hakam menjadi pemimpin mereka. Dengan pengangkatan ini, Marwan yang sebelumnya bermaksud menyerahkan baiatnya pada Abdullah bin Zubair, mencabut kembali baiatnya dan berbalik melawan Abdullah. Khalifah Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun.

Marwan bin Hakam atau dikenal pula Marwan I adalah khalifah keempat Daulah Umayyah yang berkuasa pada 684 sampai 685 masehi. Ia mewarisi tampuk kepemimpinan setelah Mu’awiyah bin Yazid tidak meninggalkan putra dan tidak menunjuk penerus. Dia dan keturunannya disebut Marwani, salah satu cabang utama dari Bani Umayyah.

Tampilnya Marwan ke puncak kekuasaan Bani Umayyah menjadi titik balik yang penting dalam sejarah perkembangan dinasti ini selanjutnya. Naiknya Marwan menandai berakhirnya era kepemimpinan trah Abu Sufyan, dan beralih pada trah Hakam bin Abu Al-Ash.

Meski terbilang sangat singkat menduduki singgasana Dinasti Umayyah, namun dari Marwanlah nanti dinasti tersebut terus mewaris hingga mencapai puncak kejayaannya, kemudian mengalami masa dekadensi yang parah, hingga akhirnya tumbang.

Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad

Menurut Ustaz Hepi Andi Bastoni dalam bukunya “Sejarah Para Khalifah”, Marwan bukanlah sosok baru dalam catur perpolitikan kala itu. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai penasihat Khalifah Utsman bin Affan. Pengaruhnya tidak kecil terhadap kebijakan pemerintahan.

Tak sedikit kebijakan yang ditelurkan Khalifah Utsman kental aroma kekeluargaan. Beberapa gubernur kala itu banyak yang diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Misalnya, jabatan gubernur di Mesir yang dipegang oleh Amr bin Ash, diganti oleh Abdullah bin Sa’ad.

Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil menaklukkan wilayah Syria dan Palestina dari tangan Romawi, jabatannya digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan wilayah Irak dan Iran dari tangan Persia, jabatannya digantikan oleh Ziyad bin Abihi. Begitu pun dengan beberapa wilayah lain.

Sebagian besar para pemimpinnya diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Kebijakan ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh Marwan bin Hakam, mengingat kondisi Khalifah Utsman yang sudah lanjut usia kala itu.

Baca Juga: Para Perempuan Pejuang Palestina yang Inspiratif

Kebijakan yang tidak terjadi sebelumnya itu, melahirkan berbagai ketidakpuasan. Gejolak muncul di beberapa tempat. Puncaknya, Khalifah Utsman terbunuh. Marwan bin Hakam melarikan diri ke Damaskus dengan membawa pakaian Utsman yang berlumuran darah. Lantaran merasa tidak puas dengan kebijakan Khalifah Ali yang tidak segera mengusut pembunuh Utsman, menyebabkan semakin keruhnya suasana.

Terjadilah Perang Shiffin antara Khalifah Ali dan Muawiyah. Dari sana lahir kelompok Khawarij, yang merasa tak puas dengan kedua belah pihak, serta berniat membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash yang dianggap sebagai penyebab segala kekeruhan.

Khalifah Ali terbunuh. Hasan bin Ali yang hanya menjabat Khalifah selama beberapa bulan, menyerahkan jabatannya kepada Muawiyah. Pada masa inilah, Marwan diserahi jabatan gubernur untuk wilayah Hijaz yang berkedudukan di Madinah. Begitu penduduk Madinah menyatakan dukungan kepada Abdullah bin Zubair, Marwan melarikan diri ke Damaskus.

Dengan demikian, sosok Marwan tidak begitu diterima oleh para sahabat dan tabiin kala itu. Bahkan beberapa ahli sejarah seperti Adz-Dzahabi seperti dikutip As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’-nya tidak memasukkan nama Marwan sebagai khalifah.

Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham

Pertentangan antara pihak Abdullah bin Zubair dan Marwan bin Hakam mencapai puncaknya pada Perang Marju Rahith yang terjadi pada 65 hijriah.

Pada peperangan ini pasukann Abdullah bin Zubair mengalami kekalahan cukup telak. Penduduk wilayah Mesir dan Libya yang semula berpihak padanya, mengangkat baiat atas Marwan. Namun wilayah Hijaz, Irak dan Iran tetap tunduk kepada Abdullah bin Zubair.

Dengan demikian, pada masa itu wilayah Islam terpecah menjadi dua khilafah. Daerah Hijaz dan sekitarnya termasuk Makkah dan Madinah tunduk kepada Abdullah bin Zubair, sedangkan wilayah Syria berada dalam kekuasaan Marwan bin Hakam.

Untuk mengukuhkan jabatan khilafahnya itu, Marwan yang sudah berusia 63 tahun itu mengawini Ummu Khalid, janda Yazid bin Muawiyah. Perkawinan yang tidak seimbang itu sangat kental aroma politik. Dengan mengawini janda Yazid, Marwan bermaksud menyingkirkan Khalid, putra termuda Yazid dari tuntutan khilafah.

Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis

Dalam suatu kesempatan, Marwan sempat memberikan ejekan kepada Khalid dan ibunya. Akibatnya fatal, Ummu Khalid menaruh dendam yang luar biasa. Pada suatu kesempatan, ketika Marwan mendatanginya, bersama para dayang, Ummu Khalid mencekik Marwan beramai-ramai. Marwan meninggal pada usia 63 tahun. Ia hanya menjabat sebagai khalifah selama 9 bulan 18 hari. Masa pemerintahannya tak membawa banyak perubahan bagi sejarah Islam. (A/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara

Rekomendasi untuk Anda

Breaking News
Sosok
MINA Preneur
Indonesia
Internasional