Sejarah Khalifah: Sejenak Bersama Hasan bin Ali

bukanlah nama yang asing di telinga umat Islam. Ia merupakan putra dari salah satu putri kesayangan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW), Fatimah Az-Zahra. Ayahnya adalah Ali bin Abu Thalib. Hasan lahir pada tanggal 15 Ramadan tahun 3 H di Madinah. Beberapa ulama memasukkan Hasan sebagai khalifah kelima dari .

Sejarah mencatat bahwa Hasan sempat menjadi khalifah umat Islam selama enam bulan, selepas khalifah sebelumnya, Ali bin Abu Thalib, wafat. Orang pertama yang maju membaiat Hasan adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Ia berkata kepadanya, “Ulurkanlah tanganmu, aku akan membaiatmu atas dasar Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.”

Hasan hanya diam. Qais membaiatnya lalu diikuti oleh orang banyak sesudahnya. Peristiwa itu terjadi pada hari wafatnya Ali bin Abi Thalib. Pada bulan Ramadan tahun 40 H. Saat itu Qais adalah amir wilayah Azerbaijan. Ia membawahi empat puluh ribu tentara. Sebelumnya, mereka semua telah berbaiat untuk membela Ali sampai titik darah penghabisan.

Hanya berselang beberapa bulan saja pasca Ali wafat dan membaiat Hasan, Qais mendorong khalifah yang baru itu agar berangkat memerangi penduduk Syam, Saat itu mayoritas penduduk Syam adalah pengikut Muawiyah bin Abu Sufyan, yang sebelumnya mendesak Ali untuk menyerahkan para pembunuh Utsman.

Lalu Hasan menarik Qais dari Azerbaijan, kemudian mengirim Ubaidullah bin Abbas sebagai penggantinya.

Sejumlah sejarawan Muslim meyakini bahwa Hasan tidak memiliki niat untuk memerangi seorang-pun, termasuk Muawiyah beserta pengikutnya di Syam. Akan tetapi mereka berhasil memaksakan pendapat mereka kepada Hasan. Lalu berkumpullah pasukan dalam jumlah yang sangat besar yang belum pernah terkumpul sebanyak itu.

Imam Bukhari dalam Sahihnya bercerita bahwa Hasan bin Ali mendatangi Muawiyah dengan membawa pasukan yang sangat banyak. Seorang Sahabat Nabi menggambarkannya seperti gunung-gunung. Sementara Amr bin Ash berkata, “Sungguh aku melihat pasukan besar yang tidak akan mundur hingga menghabisi lawannya.”

Menyaksikan hal itu, Muawiyah mengirim dua utusan dari Suku Quraisy dari Bani Abdu Syams, yaitu Abdurrahman bin Samurah dan Abdullah bin Amir. Muawiyah berpesan kepada mereka berdua, “Pergilah temui lelaki ini (Hasan bin Ali), tawarkanlah perdamaian kepadanya, berbicaralah baik-baik kepadanya dan mintalah kepadanya agar menerima tawaran ini.”

Maka keduanya pun menemui Hasan dan berbicara dengannya serta meminta untuk menerima tawaran dari Muawiyah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Maka Hasan menerima tawaran perdamaian tersebut.

Hasan yang memilih berdamai dengan Muawiyah menjadi salah satu bukti akan kebenaran hadis dari Rasulullah SAW. Suatu ketika Rasulullah SAW berada di atas mimbar, sementara Hasan duduk di sebelahnya. Ketika itu, Rasulullah SAW bersabda,

Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah SWT akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin melalui dirinya.

Tak lama setelah menerima tawaran perdamaian itu, Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah pada tanggal 5 Rabi’ul Awal tahun 41 H. Sementara ulama lainnya mengatakan pada bulan Rabi’ul Akhir. Ada pula yang mengatakan pada awal bulan Jumadil Awal.

Abul Fida ibnu Katsir berpendapat bahwa Hasan melepas baju kekhalifahannya adalah untuk menghentikan pertumpahan darah yang terjadi di antara umat Islam saat itu. la turun dari kekhalifahan dan menyerahkannya kepada Muawiyah hingga kaum Muslimin bersatu pada seorang pemimpin.

Setelah Muawiyah menerima kuasa atas negeri-negeri Islam, ia memasuki Kota Kufah dan menyampaikan khutbah selepas umat Islam membaiatnya sebagai khalifah. Suara kaum Muslimin dari seluruh daerah dan negeri telah bulat menerimanya sebagai pemimpin.

Tahun itu juga telah dicapai kesepakatan dan ijma’ atas pembaiatan Muawiyah. Kemudian Hasan bersama saudaranya, Husain bin Ali serta saudara-saudara mereka yang lainnya dan keponakan mereka, Abdullah bin Ja’far, meninggalkan tanah Iraq menuju Kota Madinah.

Setiap kali Hasan beserta keluarganya melewati kabilah yang menjadi pendukungnya, mereka mencela kebijakannya yang menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah. Namun demikian, sama sekali Hasan tidak merasa keberatan, menggerutu atau menyesal. Bahkan ia rela dan menyambutnya dengan gembira.

Beberapa ulama memuji kebijaksaan yang ditampilkan Hasan dalam menghentikan pertumpahan darah di antara umat sebagaimana hal itu telah dipuji oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang disebutkan sebelumnya.

Menurut pendapat yang masyhur dari Ibnu Jarir dan pakar sejarah lainnya menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 41 H.

Ibnu Katsir berkata, “Hasan adalah sayid kaum Muslimin, salah seorang ulama, orang yang lembut dan cerdik di kalangan sahabat.” Menurut Ibnu Katsir, dalil yang menunjukkan bahwa Hasan termasuk salah seorang Khulafaur Rasyidin adalah hadis yang diriwayatkan beberapa jalur dari Safinah, Rasulullah SAW bersabda,

“Khilafah sesudahku tiga puluh tahun, setelah itu akan muncul raja-raja.”

Khulafaur Rasyidin menjadi genap tiga puluh tahun dengan dibaiatnya Hasan bin Ali yang kemudian melepaskan kekhalifahan pada bulan Rabiul Awal tahun 41 H. Berarti genap tiga puluh tahun setelah Rasulullah SAW yang wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ibnu Katsir berpendapat bahwa ini merupakan tanda kenabian yang sangat besar.

Setelah melewati pelbagai liku-liku kehidupan, Hasan bin Ali mengembuskan nafas terakhirnya pada 5 Rabi’ul Awal tahun 50 H di Madinah pada usianya yang ke-47 tahun. (A/R06/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.