AMERIKA Serikat merencanakan penjualan senjata senilai $8 miliar kepada Israel, termasuk jet tempur dan amunisi berpemandu presisi. Dalam konteks perang di Gaza yang telah menewaskan ribuan warga sipil, transaksi ini seperti menyiram bensin ke kobaran api. Uang miliaran dolar digunakan bukan untuk perdamaian atau pembangunan, tetapi untuk memperpanjang penderitaan sebuah bangsa yang telah diblokade dan dijajah selama puluhan tahun.
Investigasi Amnesty International menemukan bahwa bom buatan AS digunakan dalam dua serangan udara Israel yang menghancurkan rumah-rumah sipil dan menewaskan 43 warga, termasuk anak-anak. Bayi-bayi ditemukan terkubur bersama ibu mereka di reruntuhan, tanpa kesempatan untuk mengenal dunia. Senjata dari negeri yang katanya menjunjung hak asasi manusia, justru menjadi alat pemusnah massal terhadap mereka yang tak bersenjata.
Pada Agustus 2024, AS menyetujui bantuan senjata senilai $20 miliar untuk Israel. Paket ini mencakup rudal udara ke udara dan jet tempur canggih, padahal laporan menunjukkan bahwa lebih dari 70% korban tewas di Gaza adalah warga sipil. Bantuan ini bukan hanya transaksi politik, tapi simbol nyata bahwa darah anak-anak Gaza menjadi harga yang harus dibayar demi dominasi geopolitik.
Sejak Oktober 2023, AS telah menjadi sekutu setia Israel dalam operasi militer di Gaza, bahkan menyediakan intelijen untuk mempercepat serangan. Dukungan ini melegitimasi setiap peluru dan rudal yang menghantam rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi. Bayangkan rumah sakit tempat bayi prematur dirawat tanpa listrik, kemudian dibom atas dasar data intelijen yang salah.
Baca Juga: Negara Penjajah, Arogansi Israel atas Nama Keamanan
Amnesty International menegaskan bahwa Israel menggunakan senjata buatan AS secara ilegal, melanggar hukum internasional dan hukum AS sendiri. Namun pelanggaran ini tidak berujung pada sanksi atau embargo, melainkan pada tambahan suplai senjata. Dunia menyaksikan bagaimana hukum menjadi tajam ke bawah dan tumpul ke atas—mereka yang membantai justru dibekali lebih banyak alat pembantaian.
Meskipun ada upaya di Senat AS untuk menghentikan penjualan senjata senilai $8,8 miliar ke Israel, resolusi itu ditolak. Ini menunjukkan bahwa dalam politik luar negeri AS, nyawa rakyat Palestina tak ada nilainya dibandingkan keuntungan industri militer dan hubungan strategis. Bahkan ketika foto-foto anak-anak yang terbelah dua viral di media, para senator tetap memilih menekan tombol ‘ya’.
Senapan serbu Colt Carbine yang sebelumnya ditahan karena khawatir digunakan oleh pemukim ekstremis, kini dikirim tanpa hambatan. Senjata itu berpotensi dipakai untuk mengusir, menyiksa, atau bahkan membunuh warga sipil Palestina di Tepi Barat. AS tidak hanya memberi senjata, tapi juga memberi legitimasi kepada kekerasan para ekstrimis dengan bungkus diplomasi.
Seruan selebritas seperti Nicola Coughlan agar AS berhenti mengirim senjata ke Israel mencerminkan kesadaran global yang tumbuh. Namun suara-suara kemanusiaan ini tenggelam dalam bisingnya kepentingan militer dan politik. Dunia melihat betapa suara kebenaran bisa diabaikan ketika bertabrakan dengan kontrak senilai miliaran dolar dan lobi Zionis yang kuat.
Baca Juga: Tangan Berdarah Zionis, Pembantai Anak-Anak Gaza
Menurut OCHA, lebih dari 30.000 warga Palestina tewas, mayoritas dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Setiap malam, warga Gaza hidup dalam teror langit—tidak tahu apakah mereka akan bangun esok hari atau menjadi jenazah di bawah puing-puing rumah. Kematian mereka bukan akibat bencana alam, tapi bom canggih yang dilabeli “Made in USA.”
Laporan CRS menyajikan bahwa AS bisa menekan Israel, namun tidak melakukannya. Padahal, sebagai penyandang dana utama, AS punya kuasa untuk menghentikan genosida ini. Tapi alih-alih menjadi penengah, AS justru menjadi pengarah serangan. Hancurnya rumah, matinya bayi, dan hilangnya masa depan Palestina tak lepas dari tinta tandatangan pejabat di Washington.
AS mengekspor senjata ke Israel senilai $777 juta pada 2023. Dalam setiap rudal dan peluru, terdapat label harga dan persetujuan birokrasi. Setiap dentuman di Gaza bisa dilacak ke pabrik di Texas atau Arizona. Ini bukan hanya soal ekspor senjata, tapi ekspor penderitaan, ketakutan, dan kematian kepada bangsa yang telah dijajah lebih dari 75 tahun.
Beberapa negara seperti Kanada dan Belanda mulai menghentikan penjualan senjata ke Israel, namun AS tetap menjadi pemasok utama. Ketika negara lain mulai sadar dan menarik diri, AS justru terus menyuplai dengan volume yang lebih besar. Keheningan dan konsistensi ekspor ini menjadi bentuk dukungan diam-diam terhadap penindasan yang tak berkesudahan.
Baca Juga: Amerika: Pelindung Penjahat Perang, Penjual Keadilan di Palestina
Watson Institute mencatat angka kematian tak langsung meningkat drastis karena hancurnya infrastruktur, rumah sakit, dan pasokan air bersih. Bayi-bayi meninggal karena inkubator mati, ibu-ibu melahirkan di puing-puing, dan luka kecil bisa berubah jadi kematian karena tak ada obat. Semua ini terjadi karena serangan yang dimungkinkan oleh senjata dan teknologi yang diberikan oleh AS.
Meskipun dukungan elit politik AS terhadap Israel tinggi, survei menunjukkan masyarakat mulai mempertanyakan dukungan militer ini. Banyak warga AS sendiri merasa darah rakyat Palestina tidak sebanding dengan kepentingan strategis atau sekutu lama. Namun sayangnya, suara nurani publik kerap tak mampu mengalahkan kekuatan lobi senjata dan pengaruh politik.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Zionis Penjajah Abadi Tanah Para Nabi