Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI yang digelar di Yogyakarta 8-11 Februari 2015 lalu, dengan tema utama, ““Penguatan peran politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam untuk Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban” menghasilkan rekomendasi yang disebut dengan Risalah Yogyakarta.
Risalah Yogyakarta berisi tujuh poin tentang masalah keumatan Indonesia. Pertama menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu padu merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis, baik organisasi dan lembaga Islam maupun partai politik untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban.
Kedua, menyeru kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang berakhlaqul karimah dengan meninggalkan praktik menghalalkan segala cara, menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran keamanan dan kedamaian bangsa.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Ketiga, menyeru kepada penyelenggara negara untuk berpihak kepada masyarakat yang berada di lapis bawah dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada pemerataan dan keadilan, serta pengembangan ekonomi berbasis syariah, baik keuangan maupun sektor riil, menata ulang penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, meniadakan regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan merugikan rakyat.
Keempat, menyeru seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk bangkit memberdayakan diri, mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas SDM umat, menguatkan sektor usaha mikro, kecil dan menengah berbasis ormas, masjid dan pondok pesantren, meningkatkan peranan kaum perempuan dalam perekonomian, mendorong permodalan rakyatyan berbasis kerakyatan dan mendorong kebijakan pemerintah pro-rakyat.
Kelima, menyeru pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindarkan diri dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya luhur bangsa, seperti penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pergaulan bebas dan perdagangan manusia.
Hal itu perlu dilakukan dengan meningkatkan pendidikan akhlak di sekolah dan keluarga, penguatan ketahanan keluarga dan adanya keteladanan para pemimpin, tokoh dan orang tua. Seiring dengan itu, KUII menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan regulasi dan kebijakan yang membuka pintu lebar-lebar masuknya budaya yang merusak serta melakukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Keenam, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas bergesernya tata kehidupan Indonesia di banyak daerah yang meninggalkan ciri keislaman sebagai akibat derasnya arus liberalisasi budaya dan ekonomi.
Oleh karena itu, KUII meminta penyelenggara negara dan pemangku kepentingan untuk melakukan langkah-langkah nyata menggantikan dan menata ulang kebijakan lanskap kehidupan Indonesia agar tetap berwajah keislaman dan keindonesiaan.
Ketujuh, memperihatinkan kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia, khususnya Asia yang mengalami perlakukan diskriminatif dan tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. KUII meminta kepada pemerintah negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berkeadilan dan berkeadaban.
Menyeru kepada Pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk memberikan bantuan kepada mereka dalam semangat ukhuwah Islamiyah dan kemanusiaan.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Risalah Yogyakarta tersebut dibacakan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Dr. Din Syamsuddin yang kemudian diserahkan kepada Presiden RI Joko Widodo.
Risalah tersebut juga menyebutkan bahwa ummat Islam sebagai umat terbesar memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga, mengawal, membela, mempertahankan dan mengisi negara Indonesia berdasarkan wawasan Islam yang rahmatal lil alamin dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.
Lebih dari 700 peserta dari seluruh Indonesia hadir pada acara KUII yang digelar di Yogyakarta ini. Peserta merupakan wakil dari umat Islam yang terdiri dari pimpinan di kelompok atau ormas dan lembaga-lembaga Islam.
Peran Media
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Menghadapi tantangan global era informasi saat ini dan mendatang, tentu saja peran media Islam menjadi kekuatan tersendiri dalam membentuk opini publik. Begitu sangat pentingnya peran media tersebut, secara maksimal digunakan oleh Zionis Internasional untuk melancarkan programnya mengadu domba, memperburuk citra dan menghancurkan Islam dan umat Islam.
Pada Protokol Zionis 1897 butir ke-12 disebutkan, bahwa media massa atau pers memegang peranan penting untuk mencapai tujuan.
Berita-berita dibuat dusta, tidak jelas dan tidak adil, mengingat masyarakat banyak yang tidak tahu berita sesungguhnya. Untuk itu, media harus benar-benar dikendalikan, disensor dan diawasi dengan ketat dalam pemberitaannya.
Perusahaan pendukung media, seperti penerbitan, percetakan, perpustakaan juga harus dikuasai. Sehingga keuntungan yang diperoleh dapat diambil alih.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sementara perlawanan dari umat Islam sendiri masih dianggap belum terlalu berarti. Terbukti, berita-berita yang mencerahkan, bernilai Islami, bermuatan rahmatan lil ‘alamin, belum banyak menghiasi media massa, yang dikelola oleh mayoritas muslim atau dibaca oleh mayoritas muslim.
Media-media massa, ternyata lebih memilih berita-berita pertarungan politik, gaya hidup selebritis, kasus kriminalitas dan kecelakaan, dunia ekonomi dan keuangan serta tak ketinggalan liputan sepakbola sejagat.
Sementara itu, ironisnya sejumlah media lebih suka menyoroti sisi-sisi negatif umat Islam ketimbang sisi positifnya, sehingga berita yang tersaji pun menjadi tidak berimbang. Pemberitaan yang tidak berimbang itu ikut berperan membangun citra negatif terhadap agama Islam itu sendiri. Sehingga banyak kalangan Islam kecewa dengan kurangnya pemihakan media massa mainstream nasional terhadap umat Islam.
Pada satu sisi, opini subyektif kalangan Islam tersebut tentu saja belum tentu benar. Pada sisi lainnya, media massa mainstream pun sudah tentu menolak tudingan seperti itu. Media tentu berargumen bahwa sebagai tugas pemberitaan tugas mereka hanyalah mengungkapkan fakta belaka. Tak ada maksud di balik itu untuk menyudutkan umat Islam dan Islam itu sendiri.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Di sinilah dunia memerlukan keseimbangan pemberitaan, agar tidak terjadi jarak menganga antara Timur dan Barat, antara sang adidaya dengan dunia ketiga, serta antara konten hiburan semata dengan informasi yang mencerahkan.
Peran media seharusnya menjadi pembahasan pada sidang komisi khusus KUII selanjutnya. Sehingga paling tidak ada himbauan, arahan, dukungan, syukur sampai pada rekomendasi kepada departemen/instansi/organisasi terkait tentang perlunya pertemuan lebih lanjut (breakdown) KUII mengenai peran media berita Islam.
Hal ini untuk melengkapi muatan Risalah Yogyakarta yang lebih banyak menyinggung persoalan ekonomi, politik, SDM, sosial budaya, dan keprihatinan atas kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Pada butir ketujuh Risalah Yogyakarta memang sudah disebut mengenai situasi dunia internasional yang menyangkut kondisi umat Islam. Namun itu masih pada tataran keprihatinkan, terutama atas perlakukan deskriminatif terhadap umat Islam sehingga tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara.
Ada butir yang semestinya dapat diperjelas dan dipertegas menjadi sikap dan solusi umat Islam Indonesia, yang sebenarnya menjadi barometer dan ukuran yang ditunggu dunia Islam.
KUII memang meminta kepada pemerintah negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berkeadilan dan berkeadaban. Serta menyeru kepada Pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk memberikan bantuan kepada mereka dalam semangat ukhuwah Islamiyah dan kemanusiaan.
Bentuk penegasan yang pokok adalah pada dukungan yang terus-menerus terhadap kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel dan pembebasan Masjid Al-Aqsha sebagai hak milik umat Islam.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Secara konstitusi, hal tersebut bersesuaian dan merupakan amanah dari Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Apalagi dari sisi ajaran agama Islam, pendzaliman satu manusia atas manusia lain, serta satu bangsa atas bangsa lainnya, apalagi sampai menimbulkan korban, adalah diharamkan dan dosa besar. Karena, menjatuhkan satu korban nyawa saja, itu sama artinya dengan membunuh keseluruhan manusia. Inilah hak-hak hidup manusia yang harus dan wajib disuarakan serta dibela oleh manusia manapun, apalagi umat Islam, lebih-lebih lagi umat Islam Indonesia.
Larangan itu disebutkan di dalam Al-Quran,”…..Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”. (Q.S. Al-Maidah [5] : 32).
Solusi dari umat Islam Indonesia yang sangat memungkinkan seperti, menyampaikan rekomendasi kepada Presiden RI untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan Palestina dengan membuka Kedutaan Besar atau Konsulat.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Ini pun sesuai dengan janji Jokowi-JK saat kampanye Pemilu Juli 2014 lalu. Dalam salah satu pernyataannya, seperti diberitakan Media Online Merdeka edisi 24 Juli 2014, bahwa menjadi dua orang yang terdepan dalam membela kemerdekaan rakyat Palestina dan mendukung penuh negara berpenduduk Muslim itu menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Saya dan JK mendukung penuh Palestina menjadi negara merdeka dan mendukung penuh Palestina menjadi anggota penuh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” kata Jokowi usai dalam debat pertama capres waktu itu.
Bahkan di depan ribuan relawannya, Jokowi kembali menegaskan mendukung penuh kemerdekaan Palestina. Di hadapan pendukungnya, Jokowi menyatakan mendukung 100 persen kemerdekaan bagi Palestina dan berjanji akan mati-matian membela negara itu dari cengkraman Israel.
“Kita lihat apa yang mereka butuhkan. Mereka butuh tandatangan untuk dukungan ya kita tanda tangan. Mereka butuh diplomasi ya diplomasi. Butuh kedutaan ya kita buka kedutaan,” tegas Jokowi saat itu.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Dalam hal ini, berdirinya Rumah Sakit (RS) Indonesia di Jalur Gaza, Palestina, yang dibiayai oleh umat Islam dan rakyat Indonesia, dapat menjadi alternatif sebagai jembatan informasi atau media penghubung Indonesia-Palestina.
Demikian halnya, untuk solusi negara-negara mayoritas umat Islam yang tengah dilanda konflik, KUII dapat membuat rekomendasi bahwa umat Islam Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga bahkan melalui pemerintah, mengajukan undangan pertemuan pembahasan konflik tersebut, dan Indonesia adalah penggagas sekaligus tuan rumahnya.
Umpamanya, konflik umat Islam di Mesir, Indonesia mengundang Presiden Mesir saat ini, Presiden Mesir terguling, Pimpinan Ikhwanul Muslimin dan pihak-pihak terkait seperti OKI, Liga Islam dan Liga Arab.
Konflik Suriah, Indonesia dapat mengundang Presidennya dan partai-partai oposisi. Dan seterusnya dan seterusnya.
Karena umat Islam Indonesia, khsusunya para ulamanya, memang diakui memiliki potensi sebagai penengah dan pendamai konflik dunia.
Hal tersebut seperti diakui antara lain oleh Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz N. Mehdawi yang mengatakan, ulama Islam Indonesia berperan besar dalam menebarkan ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang. Mehdawi meyampaikan hal itu pada sambutan Silaturahimdan Halal bi Halal Idul Fitri 1435 MUI Pusat di Jakarta, 12 Agustus 2014.
Dubes Palestina menilai ulama Indonesia memiliki karakter ramah, kasih sayang, toleran dan menjunjung tinggi persatuan, sehingga dapat menerbarkan Islam yang rahmatan lil alamin.
“Indonesia dengan hal seperti itu dapat memimpin dunia, melalui contoh yang baik bagi dunia Islam, bukan dengan kemarahan dan kekuatan militer. Akan tetapi dengan kemakmuran dan toleransi”, ujar Mehdawi.
Bahkan menurutnya, suasana seperti di Indonesia yang penuh dengan nuansa silaturahim tidak banyak ditemukan di banyak negara muslim di dunia.
Penulis sangat mengapresiasi capaian “Risalah Yogyakarta” yang fenomenal sebagai penguatan citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin, walau masih dalam konteks keindonesiaan.
Semoga pada kongres berikutnya dan pertemuan serupa yang membahas problematika umat Islam Indonesia dan dunia, semakin mengarah pada peran umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, sebagai penentu sekaligus pemimpin peradaban dunia. Insya Allah. Amin. (P4/R11).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)