Seri Muslimah: Kewajiban Istri kepada Suami (2)

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Dalam artikel sebelumnya saya menulis tentang kewajiban seorang istri kepada suaminya.  Tulisan ini, adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi tambahan ilmu sekaligus pencerahan bagi para istri, termasuk suami dalam membantu istrinya agar bisa maksimal menjalankan kewajiban sebagai seorang istri.

Kewajiban selanjutnya bagi seorang istri kepada suaminya antara lain sebagai berikut.

Kelima, menyenangkan hati suami. Sejatinya, seorang istri mampu membuat hati suaminya senang. Ya, senang selalu agar suaminya merasa nyaman dan tenang bersamanya.

Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

الَّتِى تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَر

“Yang menyenangkan suami ketika dilihat, dan menaati suami ketika diperintah.” (HR. Ahmad 9837, Nasai 3244 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hadis di atas, setidaknya dijelaskan ada dua hal yang membuat suami senang. Pertama, menyenangkan ketika dilihat suaminya. Ini artinya, seorang istri harus selalu tampil semenarik dan semenggoda mungkin untuk suaminya. Setiap saat dan setiap waktu. Bukankah ada istri yang saat suaminya melihatnya justeru membuat suaminya kesal dan kecewa? Kesal karena istrinya tidak memperhatikan penampilan. Kecewa karena bisa jadi istrinya selalu menampakkan wajah yang galau.

Kedua, seorang suami hakikatnya adalah pemimpin bagi istrinya. Karena itu, fitrah seorang pemimpin bila ia memerintah, maka perintahnya itu harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Bila seorang bawahan melaksanakan perintah atasan tanpa harus menundanya, maka bisa dipastikan atasan itu merasa senang kepadanya.

Begitu juga seorang suami, ia akan merasa senang ketika setiap perintahnya dilakukan oleh seorang istri. Tentu saja, perintah yang dimaksud adalah perintah dalam kebaikan (bukan memaksiati Allah dan Rasulnya).

Keenam, istri mandi dengan suami. Adakah seorang istri yang merasa aneh membaca kalimat “istri mandi dengan suaminya?” Mandi bersama suami adalah bagian dari kewajiban seorang istri kepada suaminya ketika suaminya memintanya untuk mandi bersama. Mandi bersama ini sudah pernah dilakukan bunda Aisyah radhiallahu ‘anha bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.

Dalam sebuah keterangan, Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata,

قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنْ جَنَابَةٍ

“Aku mandi bersama dengan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan junub. [HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim, no. 43]

Bukan suatu aib seorang istri mandi bersama dengan suaminya dalam suatu bak mandi misalnya atau satu wadah. Satu di antara sekian banyak hikmah dari mandi bersama istri dan suami ini adalah semakin hangat dan romantisnya kehidupan rumah tangga keduanya. Bila rumah tangganya harmonis, maka bukan tidak mungkin kebahagiaan senantiasa mengitari rumah tangganya. Jadi, mandilah bersama suami Anda agar ia merasa bahagia dan selalu merasa dimanja.

Ketujuh, tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami. Inilah hal yang seringkali masih ditemui dalam kehidupan rumah tangga seorang muslim. Sang istri masih dengan leluasa memberi kesempatan bagi ajnabi (lelaki asing) masuk rumahnya meski suami tidak ada di rumah. Budaya negeri ini terkadang ‘memaksa’ seorang wanita (istri) menerima masuk seorang lelaki atau lebih yang bukan mahromnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada haji Wada’ pernah bersabda,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَه

“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian. (HR. Muslim no. 1218).

Dalam hadis di atas, sangat jelas betapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menegaskan agar seorang suami menasihati para istrinya untuk tidak menerima (memasukkan) seorang lelaki asing ke dalam rumahnya tanpa seizing suami. Mari kembali kepada syariat Islam, bukan budaya ketika budaya itu menyimpang dari aturan Allah dan Rasul-Nya.

Kedelapan, tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami. Inilah Islam, syariatnya begitu sempurna. Jangankan untuk keluar rumah, sekedar untuk beribadah puasa sunnah saja, seorang istri wajib hukumnya izin kepada sang suami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026).

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi jalan bertambahnya wawasan dan pengetahuan bagi kaum muslimah khususnya dan para suami umumnya. Wallahua’lam. (A/RS3/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.