Oleh Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional
Setelah hampir 100 tahun kawasan Al-Aqsa dan sekitarnya dikuasai Pasukan Salib, Imaduddin Zanki menunjukkan keberaniannya memulai gerakan melawan Pasukan Salib. Umat Islam mulai bangkit membendung serangan Pasukan Salib, dan bertahap berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Pasukan Salibis.
Setelah Imaduddin Zanki wafat pada 1146 M, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanki.
Nuruddin Zanki meneruskan cita-cita ayahnya untuk dapat membebaskan Al-Aqsa dari cengkeraman Pasukan Salib. Sebagaimana prestasi ayahnya, Nuruddin juga berhasil membebaskan wilayah-wilayah tambahan yang sebelumnya dikuasai Pasukan Salib.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Di antara prestasi Nuruddin Zanki adalah membebaskan Kota Damaskus, ibu kota Syria (Suriah).
Hingga Perang Salib berakhir, pasukan salib tidak pernah bisa menginjakkan kaki di Damaskus. Sementara pemimpin mereka, Louis VII dan Coudrad melarikan diri dan pulang ke negeri asalnya.
Keberhasilan itu membuat umat Islam semakin bersemangat untuk mempersiapkan diri merebut Al-Aqsa. Pada saat persiapan hampir mencapai puncaknya, yakni pada tahun 1174 M, Nuruddin Zanki wafat, lantas digantikan oleh muridnya, Shalahuddin Al-Ayubi.
Di bawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayubi inilah pada Perang Salib ke-3, umat Islam berhasil mengalahkan pasukan Salib secara telak pada pertempuran Hittin yang berlangsung 3-4 Juli 1187 M dan berhasil menawan Raja Yerusalem Guy de Lusignan.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Dua bulan kemudian, pada 27 Rajab 583 H/ 2 Oktober 1187 M, pasukan Islam berhasil merebut kembali Al-Aqsa dan mengembalikan fungsinya sebagai masjid dengan mengumandangkan azan setelah vakum selama 88 tahun, menggantikan lonceng gereja.
Di malam Isra’, setelah Kota Yerusalem berhasil direbut, semua bersujud syukur, termasuk Shalahuddin Al-Ayubi. Kerinduan terhadap Al-Aqsa pun terobati. Semua ummat Islam berbondong-bondong menuju masjid kebanggaan umat Islam tersebut untuk mempersiapkannya sebagai tempat shalat.
Masjid itu pun dibersihkan dari simbol-simbol Kristen. Selama Al-Aqsa dikuasai pasukan Salib Kristen, Al-Aqsa dijadikan sebagai istana dan komando perang. Patung Salib berdiri tegak di setiap sudut ruangan di Al-Aqsa, ditambah lagi puluhan babi yang dipelihara di lingkungan Al-Aqsa.
Setelah azan dikumandangkan, Qodhi (hakim) Muhyiddin bin Zakinuddin dalam Khutbah Jumatnya menyampaikan mukadimah dengan firman Allah :
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
فَقُطِعَ دَابِرُ ٱلْقَوْمِ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ ۚ وَٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya: “Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’am [6]: 45.
“Wahai sekalian manusia, berbahagialah dengan ridha Allah yang merupakan tujuan utama. Dia telah memudahkan untuk mengembalikan Al-Aqsa dari ummat yang tersesat. Ini adalah negeri bapak kalian, Ibrahim dan lokasi Mi’rajnya Nabi Muhammad serta menjadi kiblat pertamanya kalian, ummat Islam. Di sinilah, beliau Nabi Muhammad menunaikan shalat bersama para malaikat”.
“Beruntunglah kalian wahai para tentara. Di tangan kalian telah ditampakkan mukjizat kenabian dan tanda-tanda kemenangan Perang Badar, tekad seorang Abu Bakar, pembebasan Umar, kehebatan tentara Utsman dan kepiawaian Ali “.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
“Kalian telah mengembalikan kejayaan Qodisiyah, peristiwa Yarmuk dan Khaibar untuk Islam. Allah akan membalas jasa dan segala daya upaya yang kalian kerahkan untuk melawan musuh. Allah akan menerima darah dan pengorbanan para syuhada dan menggantinya dengan surga-Nya kelak”.
“Bersyukurlah selalu atas nikmat ini dan jaga selalu nikmat-Nya. Inilah hari pembebasan, pintu-pintu langit dibuka untuknya. Wajah orang-orang yang teraniaya kembali cerah dan para malaikat pun bersuka-cita. Mata para Nabi dan Rasul-Nya teduh kembali. Bukankah Al-Aqsa adalah rumah para raja, dipuji para rasul dan keberadaannya disebut dalam empat kitab suci kalian?”.
“Pujilah Allah yang telah membimbing kalian atas apa yang tidak mampu dilakukan oleh generasi terdahulu. Dia menyatukan kalian yang tercerai-berai. Dia pula yang menggantikan kata “lalu dan konon” dengan kata” akan dan hingga”.
“Sekarang, para malaikat langit akan meminta ampunan dan mendoakan yang terbaik untuk kalian. Pertahankanlah selalu anugerah ini dan jagalah selalu nikmat ini dengan ketaqwaan kepada Allah . Dengan taqwa itulah, seseorang akan selamat dan barang siapa yang berpegang teguh kepada tali-Nya (Al-Quran dan Hadits) maka ia akan selalu dijaga (Allah )”.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
“Dan, waspadailah kehadiran setan yang akan membisikkan ke telinga kalian bahwa kemenangan ini mutlak karena hunusan pedang dan kehebatan kuda kalian di medan jihad. Padahal itu semua tidak berarti tanpa pertolongan Allah , karena Allah berfirman:”
وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Anfal [8] : 10).
Kunci Sukses Shalahuddin Al-Ayyubi
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Usaha dan perjuangan Shalahuddin Al-Ayubi (532-585 H) membebaskan Masjidil Aqsa tidaklah mudah.
Menurut Aqsa Insitute, ada 9 (sembilan) kunci sukses Shalahuddin Al-Ayubi dalam membebaskan Al-Aqsa, yang ini menjadi pelajaran bagi kita umat Islam, yang menjadi bagian dari gerakan pembebasan Al-Aqsa, yaitu :
1. Menjaga kebersihan hati. Niat yang lurus, ikhlas dan hanya berorientasi kepada akhirat dan ridha Allah.
2. Menjaga ketaqwaan dengan menunaikan shalat malam dan menghidupkan sunnah. Bahauddin bin Syaddad, penasihat utama Shalahuddin menceritakan bahwa ia senantiasa menunaikan shalat malam (tahajud) dan sangat senang mendengar bacaan Al-Quran. Dalam sela-sela pertempuran, dia sering duduk mendengarkan bacaan Al-Quran yang dibaca para prajuritnya hingga ia meneteskan air mata.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
3. Menjalin Ukhuwah dengan seluruh kaum Muslimin, terutama yang berada dalam satu visi untuk membebaskan Masjidil Aqsa. Setiap hari Senin dan Kamis, beliau selalu menyempatkan diri untuk mengikuti pertemuan-pertemuan terbuka yang dihadiri para fuqaha, qadhi dan ulama.
4. Menumbuhkan kecintaan di hati seluruh kaum Muslimin terhadap masjid, terutama kepada tiga masjid, yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidl Aqsa.
5. Mempersiapkan segala kemampuan, baik fisik, mental maupun spiritual.
6. Mempelajari kekuatan musuh-musuh Allah yang memerangi ummat Islam.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
7. Menanamkan rasa optimisme kepada Ummat Islam bahwasannya Al-Aqsa pasti akan bisa dibebaskan apabila mereka punya komitmen kepada syariat Islam. Bagi Shalahuddin, membebaskan Masjidil Aqsa adalah perkara yang besar yang tidak akan mampu ditanggung oleh gunung-gunung sekalipun. Kehilangan Masjidil Aqsa bagi Shalahuddin laksana seorang Ibu yang kehilangan anak kandungnya sehingga ia berkeliling sendiri mencari anaknya. Maka beliau terus berkeliling sendiri, menyeru kepada segenap Kaum Muslimin, memotivasi mereka untuk berjihad merebut kembali Masjidil Aqsa.
8. Mempersiapkan kader secara berkesinambungan. Beliau mempersiapkan anak-anak pengungsi Baitul Maqdis untuk berjihad membebaskan Al-Aqsa dengan memberikan tempat tinggal yang cukup layak dan pengajaran materi-materi tentang Masjidil Aqsa.
9. Secara berangsur-angsur Muslimin diarahkan untuk masuk ke Yerusalem melalui segala penjuru. Pasukan Shalahuddin bergerak menuju Al-Quds melalui jalur barat, kemudian seluruh pasukannya mengepung Al-Quds. Pengepungan ini berlangsung selama 12 hari sehingga pasukan Shalahuddin dapat melubangi benteng Al-Quds di sisi timur laut.
Catatan Usai Perang Salib
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Ada beberapa catatan tentang di balik Perang Salib ini, seperti dikemukakan Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburg.
Perang Salib yang diklaim sebagai Perang Suci ternyata diliputi oleh dendam untuk membunuh dan meneror penduduk secara mengerikan.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penduduk Yerusalem yang melarikan diri ke tempat peribadatan dan banyak lagi yang tewas dibunuh. Pasukan Salib juga menghancurkan kuburan-kuburan di Yerusalem, termasuk makam Ibrahim.
Bahkan pasukan Perang Salib telah membunuh lebih dari 70.000 orang di dalam Masjidil Aqsa. Di antaranya banyak terdapat imam, ulama, ahli ibadah, orang yang sedang iktikaf, para pendatang dan mereka yang tinggal di dekat tempat suci itu.
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
Keganasan pasukan Perang Salib berbanding terbalik dengan pasukan kaum Muslimin di bawah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi saat membebaskan Masjidil Aqsa dan Yerusalem dari Pasukan Salib. Padahal dengan kekuatannya, Panglima Shalahuddin dapat saja dengan mudah membunuh semua warga Kristen penghuni Yerusalem seperti yang dilakukan Pasukan Salib terhadap kaum Muslimin.
Namun, Shalahuddin tidak melakukannya. Dia mengampuni, bahkan melindungi warga Yerusalem yang memilih untuk mempertahankan agamanya. Ia menyampaikan pidatonya, “Saya akan mengantarkan tiap-tiap jiwa kalian dengan aman ke wilayah-wilayah Kristen, setiap jiwa dari kalian, wanita, anak-anak, orang tua, seluruh pasukan dan tentara, juga ratu kalian. Saya juga akan mengembalikan raja kalian. Tidak satu pun dari kalian akan disakiti. Aku bersumpah.”
Sejarah mencatat, Shalahuddin pernah mengirim tabib terbaiknya untuk mengobati lawannya, Raja Inggris Richard si Hati Singa yang sedang sakit. Shalahuddin bahkan memberikan Richard dua kuda bagus karena kuda musuhnya sudah tua.
Kemenangan pasukan Shalahuddin Al-Ayubi digambarkan oleh sejarawan Inggris, Sir Steven Runciman sebagai berikut:
“Para Muslimin pemenang perang itu dikenal keluhuran dan sikap manusiawinya, sementara pasukan Salib selama 88 tahun lamanya berenang-renang di genangan darah musuh-musuh mereka.
Di bawah penakhlukan pasukan Muslimin, tidak ada satupun rumah yang rusak dan dicuri perabotannya, tidak ada seorangpun yang dicederai. Para tentara bertindak di bawah instruksi Shalahuddin, mulai dari mengawal jalan-jalan dan pintu-pintu gerbang untuk mencegah kemungkinan agresi apapun yang mungkin dilakukan terhadap orang-orang Kristen. Shalahuddin mengumumkan bahwa ia akan memerdekakan semua orang yang lanjut usia, lelaki dan perempuan”.
Ketika datang kaum wanita pasukan Salib yang telah menebus diri mereka sendiri, dengan air mata bercucuran, mereka bertanya tentang bagaimana nasib mereka sesudah suami dan ayahnya mati atau ditawan, Shalahuddin menjawab dengan janji akan membebaskan semua suami mereka, menyantuni semua janda dan anak yatim dengan kekayaan pribadinya.
Sikap kasih sayang yang ditunjukkan Shalahuddin ini bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Tentara Salib ketika menginvasi Al-Quds pada Perang Salib pertama.
Kesuksesan Shalahuddin dalam membebaskan Yerusalem dan Masjidil Aqsa memukul perasaan Kaum Kristen. Mereka pun menyusun rencana untuk merebutnya kembali dari tangan Kaum Muslimin.
Kali ini, Salib dipikul oleh tiga raja, Frederick Barbarosa dari Jerman, Richard The Lion Hart dari Inggris dan Philip Agustus, Raja Perancis. Pasukan Salib tidak mampu menembus pertahanan pasukan Shalahuddin Al-Ayubi.
Kebijakan Shalahuddin terhadap warga Kristen dengan membiarkan mereka hidup merdeka dan bebas beribadah dengan aman di Yerusalem membuat kagum Kristen Eropa. Berita Shalahuddin tidak melukai sedikitpun Kristen membuat Paus di Roma terkejut mendengar ada manusia semulia itu.
Wafatnya Shalahuddin
Salahuddin lahir di Tikrit, Irak tahun 1137 M dan wafat 4 Maret 1193 dalam usia 61 tahun di taman sebelah luar Masjid Umawiyah di Kota Damaskus, Suriah, karena sakit.
Dunia mengenal sosok Shalahuddin Al-Ayyubi sebagai pejuang Islam yang tidak pernah tersenyum dalam perjuangan pembebasan Al-Aqsa.
Suatu ketika, ia ditanya pasukannya, “Wahai pemimpin kami, mengapa kami tak pernah melihatmu tersenyum?”
Shalahuddin Al-Ayyubi pun menjawab, “Bagaimana bisa aku tersenyum, sementara Al-Aqsa masih dijajah? Demi Allah, aku malu untuk tersenyum sementara di sana saudara-saudaraku disiksa dan dibantai.”
Ia pun menegaskan, “Bagaimana bisa aku merasakan kebahagiaan, lezatnya makanan dan nyenyaknya tidur, sementara Baitul Maqdis ada di tangan Pasukan Salib?”
Sungguh semangat yang luar biasa untuk kita teladani, bagi kita yang masih banyak tertawa dalam hal-hal yang bersifat keduniaan.
Beliau dalam wasiatnya menuliskan, mewariskan seluruh hartanya, berupa sepotong emas dan empat puluh keping perak, untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Shalahuddin Al-Ayyubi dimakamkan di pemakaman di kompleks Masjid Umayyah, Damaskus, Suriah. []
Mi’raj News Agency (MINA)