Oleh Agus Sudarmaji, Pemerhati Global Leadership Behavior
Gaya Kepemimpinan Penggembala (Shepherd Leadership) adalah yang Tertua di Dunia. Sebelum dunia dikuasai oleh para pemimpin politik yang sering korup dan pemimpin korporasi yang cenderung eksploitatif, sebenarnya sudah ada para pemimpin besar yang hadir di tengah umat manusia. Mereka adalah para nabi dan rasul yang diutus Tuhan untuk menyelematkan umat manusia dari kebodohan mereka maupun dari penindasan penguasa dunia yang lalim seperti Namrud dan Fir’aun.
Para nabi dan rasul itu menerapkan gaya kepemimpinan yang sama yaitu gaya penggembala. Pakem gayanya sama karena ilmu yang dipakai sama yaitu bersumber dari titah langit. Artinya kepemimpinan paling tua di dunia menggunakan gaya penggembala.
Ironisnya meskipun gaya penggembala adalah yang paling efektif karena berhasil menjalankan misinya tanpa cela, gaya itu dipinggirkan oleh dunia ilmu kepemimpinan modern.
Baca Juga: Refleksi 17 Tahun AWG: Bergerak Berjamaah Buka Blokade Gaza, Bebaskan Al-Aqsa, dan Palestina
Silakan periksa di semua buku teks ilmu kepemimpinan, boleh yang politik, sosial maupun korporasi, pasti tidak ada satu pun bagian yang menyinggung apalagi membahasnya.
Ada yang agak mirip yaitu Servant Leadership yang dipopulerkan di tahun 1970an oleh Roberk K. Greenleaf melalui bukunya The Servant as a Leader. Gaya kepemimpinan pelayan ini lebih bisa diterima oleh kalangan akademisi dan praktisi ilmu kepemimpinan karena mengedepankan nilai-nilai pengabdian kepada publik, integritas, kontribusi sosial dan yang terpenting rendah hati dan kesahajaan (humility). Gaya ini menuntut seorang pemimpin memperlakukan bawahannya secara setara, menghormati bahkan memberikan mereka hak-hak istimewa.
Gaya kepemimpinan pelayan ini langsung membuat banyak pemimpin jatuh hati karena efektif untuk mempercepat personal branding mereka sebagai sosok yang populer.
Di sinilah kuncinya, tidak jauh-jauh dari kepentingan pribadi yaitu demi pencitraan diri. Dengan prilaku layaknya pelayan yang peduli kepada yang dilayani, para pemimpin segera diterima dan mulai menambatkan pengaruhnya (influence) dalam benak followernya. Ini tidak saja terjadi di dunia organisasi melainkan juga di dunia maya ketika para influencer memakai gaya ini untuk menarik simpati semakin banyak orang.
Baca Juga: Israel Raya dan Mimpi Gelap Zionisme: Ancaman Global yang Mengintai Umat Manusia
Meskipun seolah mirip, gaya kepemimpinan penggembala berbeda dari gaya pelayan. Keduanya memang menarik simpati manusia dengan kerendahan hati para pemimpin yang berusaha membuat pengikutnya senang dan sejahtera.
Pemimpin dengan gaya gembala jauh lebih tegas menampilkan diri sebagai teladan dalam hal nilai dan moralitas serta upaya maksimal untuk melindungi dan menyantuni pengikutnya. Adapun gaya pelayan bersifat lebih menonjolkan kepraktisan dalam hal kemanfaatannya untuk melayani pengikutnya dari berbagai arah.
Khazanah Ilmu Kepemimpinan Modern yang Sekularistik
Kepemimpinan penggembala tidak dibahas dalam berbagai referensi ilmu kepemimpinan modern kemungkinan karena sifatnya yang relijius. Dunia ilmu kepemimpinan modern yang sekularistik kurang memberi tempat baginya.
Baca Juga: Napas Perjuangan Umat dan Perlawanan Rakyat Palestina
Dapat diduga bahwa gaya penggembala berpotensi menimbulkan konflik di antara peminat ilmu kepemimpinan yang sekuler dengan yang relijius. Pada komunitas sekuler obrolan tentang hal-hal yang relijius dihindari.
Bisa juga karena hal-hal yang relijius dipandang kurang atau bahkan tidak memiliki nilai keilmiahan karena sarat dengan bobot keagamaan yang tendensius. Kalau mau disebut ilmiah harus betul-betul bebas dari tendensi keagamaan apapun.
Anggapan ini sebenarnya bisa ditepis karena gaya kepemimpinan penggembala sebagaimana gaya-gaya kepemimpinan yang lain punya basis ilmiah tersendiri. Gaya ini memenuhi sekurangnya enam ciri teori ilmiah yaitu bersifat logis-rasional, bersifat faktual yang dapat dibuktikan secara empiris, dapat diuji dengan metode pengujian ilmiah, memiliki fungsi prediktif, dapat digeneralisasi di berbagai konteks situasi dan bersifat konsisten.
Aroma Islamofobia
Baca Juga: Penjajahan di Palestina: Potret Perjuangan Panjang yang Juga Pernah Dirasakan Indonesia
Hal ini dapat dibaca sebagai penegasan fenomena diskiriminatifnya dunia ilmu modern terhadap hal-hal yang berbau agama. Istilah yang kerap dipakai di sini adalah fobia agama, khususnya islamofobia. Jejak islamofobia banyak ditemukan di dunia ilmu. Contohnya, penggunaan terapi dzikir dianggap tidak ilmiah meskipun efektif menghilangkan berbagai gangguan kejiwaan.
Dunia ilmu psikologi lebih menerima teknik psikoterapi dari dunia barat yang dianggap telah teruji secara empiris. Terapi dzikir meski sudah lolos dari berbagai pengujian ilmiah bahkan secara eksperimental, tetap dimarginalkan dari ranah ilmiah.
Begitu juga di dunia ilmu kepemimpinan modern, gaya kepemimpinan penggembala dianggap kental kesan biblikanya karena berasal dari tradisi relijius Kristen dan Islam. Selain tidak dibahas secara ilmiah gaya tersebut pun tidak direkomendasikan untuk diterapkan di dunia yang sekularistik.
Padahal gaya tersebut terbukti paling efektif yaitu membawa umat manusia dari zaman ke zaman menuju keselamatan dari penindasan penguasa dunia. Bahkan terbukti menghancurkan kekuasaan para penguasa lalim tersebut dengan menggantikannya dengan sistem kepemimpinan yang tidak menindas.
Baca Juga: Solidaritas Umat Islam Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia
Muasal Konsep Kepemimpinan Penggembala
Dalam perspektif Islam, konsep kepemimpinan penggembala dapat ditelusur muasalnya pada referensi utama ajaran Islam yaitu Al Qur’an dan Hadits. Dalam Hadits yang diperoleh dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Ambisi “Israel Raya” Netanyahu, Bahaya Bagi Palestina, Ancaman Bagi Dunia
Jelas disebutkan pada hadits tersebut bahwa setiap manusia adalah Ro’in atau pemimpin. Kata Ro’in makna asalnya adalah penggembala, atau yang merawat hewan gembalaan. Pesan tersirat darinya adalah bahwa setiap orang memiliki peran dan tugas kepemimpinan yang melekat sebagai amanat insani yang asli (genuine duty).
Amanat tersebut tidak memandang gender, pria dan wanita semua disamakan. Juga tidak memandang status sosio-familial atau kedudukan dalam keluarga, apakah sebagai majikan atau bawahan. Kewajiban itu melekat bersama status dan posisi yang berlainan.
Kata Ro’in dalam bentuk jama’ Ro’uun ditemukan di dalam Al Qur’an yaitu surah Al Mu’minun ayat ke 8:
الَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَۙ ٨
Baca Juga: Solidaritas 80 Tahun HUT RI, Bersama Sumud Flotilla Tembus Blokade Gaza
“Yaitu orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka”.
Ayat ini merupakan rangkaian dari awal surah Al Mu’minun yang berbicara tentang karakter orang-orang beriman yang disebut sebagai manusia paling berbahagia atau beruntung. Karakter orang beriman terhadap amanat dan janji mereka adalah Ro’uun. Yaitu bersikap memelihara laksana seorang penggembala yang sangat peduli, hati-hati dan bertanggungjawab dalam memelihara hewan gembalaannya.
Dalam kitab Al Mufrodat Ligharibil Qur’an, Imam Ar Raghib Al Asfahani menyebutkan Ro’uun adalah perbuatan menggembala hewan gembalaan dengan cara memberikan makan untuk kelangsungan hidup mereka dan melindungi dari para musuh (gangguan pencuri/perampok maupun hewan predator).
Dasar dari perbuatan memimpin adalah rasa bertanggungjawab yang besar. Penggembala bukanlah pemilik dari hewan gembalaannya. Ia hanya mendapatkan Amanah atau kepercayaan dari tuannya atau majikan yang mempekerjakannya.
Baca Juga: Merawat Rahmat Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada akhir masa tugasnya, penggembala akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanatnya. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan penggembala merasa takut bila suatu ketika gagal untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.
Inilah yang membedakannya dari semua jenis gaya kepemimpinan yang sering dibahas di buku-buku teks ilmu kepemimpinan.
Belajar Kepemimpinan dengan Menggembala
Hakikatnya semua nabi dan rasul adalah penggembala, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut ini.
Baca Juga: Megah di Panggung, Hampa Substansi, Kritik atas Pertemuan Trump–Putin di Alaska
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
“Setiap Nabi yang Allah utus pastilah pernah menggembalakan kambing.” Para sahabat berkata, “Apakah engkau juga demikian, wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Ya, aku dulu menggembalakan kambing-kambingnya orang Mekkah agar dapat upah dari mereka.” (HR Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatur perjalanan kepemimpinan para nabi dan rasul, tidak terkecuali Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wassalam, dimulai dari sejak kecil yaitu dengan menggembalakan kambing.
Baca Juga: Delapan Agenda Prioritas Prabowo, Antara Ambisi dan Tantangan Implementasi
Disebut secara khusus hewan yang digembalakan adalah kambing, karena penggembala kambing biasanya berjiwa tenang, lebih tawadhu dan sederhana. Berbeda dengan para penggembala kuda dan onta yang cenderung sombong sebagaimana dimaksud dalam hadits berikut:
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالفَخْرُ وَالخُيَلاَءُ فِي أَهْلِ الخَيْلِ وَالإِبِلِ، وَالفَدَّادِينَ أَهْلِ الوَبَرِ، وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الغَنَمِ
“Bangga diri dan kesombongan ada pada pemilik kuda dan unta, serta para penghuni gurun yang suka berteriak-teriak. Adapun ketenangan ada pada pemilik kambing.” (HR Bukhari, no. 3301 dan Muslim no. 52)
Menggembala kambing merupakan latihan lahir dan batin yang lengkap untuk menjadi seorang pemimpin yang handal. Dengan terbiasa melaksanakan semua rincian tugas menggembala kambing, seorang nabi terampil dalam mengelola berbagai tugas kepemimpinan.
Mereka melindungi pengikutnya dari berbagai ancaman, memastikan semua tersantuni dan terpenuhi keperluannya, mengatasi berbagai kesulitan di padang terbuka dan membawa pulang kembali semua kambingnya dalam keadaan selamat. []
Mi’raj News Agency (MINA)