Oleh: Yasmi Adriansyah, PhD; Pengajar di FISIP, Universitas Al Azhar Indonesia
Judul di atas bukanlah kalimat retoris biasa. Ia adalah pernyataan Profesor Mahfud MD, menteri koordinator pemimpin ranah kebijakan pemerintah Indonesia di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Dengan kata lain, pernyataan yang dilontarkan di sebuah acara kampus pada akhir Juli 2022 lalu tersebut, pun sampai sekarang terus direpetisi, merupakan posisi resmi pemerintahan Jokowi.
Pertanyaannya, apakah di Indonesia benar-benar tidak ada Islamofobia, sebuah ketakutan (fear) atau bahkan kebencian (phobia) terhadap Islam?
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Jika tidak ada, mengapa pada 15 Juli 2022, sejumlah ulama, aktivis, intelektual, dan tokoh publik lainnya mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI)?
Bahkan deklarasi lanjutan GNAI di berbagai provinsi, seperti pada 30 Juli 2022 di Jawa Barat, telah menghadirkan puluhan ribu umat Muslim.
Sangat jelas terdapat diskrepansi, antara aspirasi atau bahkan kemarahan umat, dengan sikap pemerintah. Khususnya jika mengacu kepada pernyataan Mahfud MD, “Di Indonesia tidak ada Islamofobia.”
Dari pernyataan verbal di pelbagai acara maupun via media sosial, Mahfud MD intinya menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada Islamofobia. Alasannya, karena tidak pernah ada kebijakan pemerintahan Jokowi yang ‘Islamophobic’. Kebijakan yang menebar kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dalam argumentasi lain, dikatakan bahwa pemerintahan Jokowi tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap kaum Muslim. Semua diberikan kesempatan dan peluang kompetisi yang sama. Baik itu di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Namun, tatkala publik memberikan contoh adanya pembiaran, atau bahkan perlindungan, kepada para pendengung (buzzers) yang kerap menghina umat Islam, Mahfud MD berdalih fenomena tersebut bersifat privat. Mereka bukan bagian dari pemerintah. Sehingga ungkapan-ungkapan Islamofobia-nya tidak bisa dilekatkan kepada otoritas penguasa.
Publik juga sudah memberikan banyak contoh lain, seperti mudahnya penyematan label radikal, kriminalisasi ulama, dan bahkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad secara terbuka.
Apakah sikap pemerintahan Jokowi melalui Mahfud MD ini terbilang rasional, faktual, atau sesuai bukti empiris (evidence-based)?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Islamofobia di dunia Islam dan Indonesia
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat peta Islamofobia, mulai dari skala global sampai nasional.
Dari sisi global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mendeklarasikan 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobia. Melalui Resolusi Majelis Umum, PBB menegaskan ancaman global Islamofobia, tidak hanya terbatas di negara-negara mayoritas non-Muslim. Ancaman ini harus dihadapi, bahkan diperangi (combat).
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) – organisasi 57 negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim – bahkan memiliki unit khusus bernama Islamophobia Observatory. Setiap tahun, unit ini merilis laporan yang memuat daftar negara yang kerap menjadi tempat manifestasi sikap-sikap kebencian terhadap Islam.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Manifestasi Islamofobia, menurut OKI, diantaranya adalah dalam bentuk diskriminasi, kebijakan Islamophobic, serangan verbal dan fisik, dan ujaran kebencian.
Mungkin ada yang bertanya, bukankah Islamofobia hanya terjadi di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, di benua Eropa, atau Australia?
Ternyata jawaban empirisnya tidak se-linier itu. Berdasarkan riset ilmiah, Islamofobia juga terjadi di negara dengan mayoritas penduduk Muslim.
Riset dari sejumlah cendikiawan, dipublikasikan melalui buku berjudul “Islamophobia in Muslim Majority Societies” (Routledge, 2019), membuktikan hal itu. Publikasi yang dieditori Enes Bayrakh dan Farid Hafez tersebut memuat secara jelas mengenai eksistensi Islamofobia, baik secara struktur, sistem, maupun fenomena yang agresif. Semua hal tersebut terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata di negeri berpenduduk muslim terbesar dunia ini, Islamofobia ‘tak kalah’ catatannya.
Ulama kharismatik rhum K.H. Hasyim Muzadi (1944 – 2017) pernah menyatakan, sebagaimana dipublikasikan ulang Republika (28/10/2020), bahwa “Islamofobia juga terjadi di Indonesia”.
Menurut Kiai Hasyim, dari zaman dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) eksis di tahun 1960an, zaman Orde Baru, sampai zaman reformasi, semua memunculkan Islamofobia dengan berbagai variasinya.
Adapun dalam konteks Indonesia kontemporer, jurnal ilmiah hasil riset Kastolani (2020) dari IAIN Salatiga yang berjudul “Understanding the Delivery of Islamophobic Hate Speech via Social Media in Indonesia” kiranya dapat menjadi salah satu bukti.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Riset Kastolani menyimpulkan bahwa “Islamophobia may also happen in countries where the majority of its population are Muslims”. Intinya, Islamofobia juga mungkin terjadi di negara dengan mayoritas penduduknya Muslim (baca: Indonesia).
‘Logical Fallacy’
Bukti empiris dan ilmiah di atas kiranya sudah cukup memadai untuk membantah pernyataan Mahfud MD bahwa di Indonesia tidak ada Islamofobia. Indonesia dan juga negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya tidaklah steril dari kebencian terhadap Islam.
Pernyataan Mahfud MD bahwa pemerintahan Jokowi tidak pernah mengeluarkan kebijakan Islamophobic sejatinya mengandung kesalahan logika (logical fallacy) serta tidak selaras dengan bukti-bukti empiris.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Salah satu rasionalitasnya adalah, jika merujuk kepada komponen manifestasi Islamofobia sebagaimana posisi OKI, manifestasi tersebut seyogianya tidak hanya dalam bentuk kebijakan pemerintah. Diskriminasi dan ujaran kebencian, termasuk oleh orang-orang non-pemerintah, adalah Islamofobia.
Adanya pembiaran atau bahkan perlindungan terhadap para pendengung yang kerap menghina Islam atau kaum Muslim adalah rasionalitas lainnya. Tentu tidak mudah membuktikan para buzzers ini dilindungi. Namun sulitnya membawa mereka ke ranah hukum adalah salah satu bukti nyata adanya ‘kebijakan’ perlindungan tersebut.
Sekedar pengingat sederhana bagi Profesor Mahfud MD, konsep kebijakan (policy) bermakna apapun hal yang dilakukan atau tidak dilakukan (ulangi: tidak dilakukan) oleh pemerintah. Artinya, ketika Menteri Koordinator tidak melakukan apa-apa terhadap berbagai pihak yang telah menebar Islamofobia, itupun merupakan kebijakan pemerintah.
Namun demikian, sebagai muslim yang baik, saya yakin hati kecil Profesor Mahfud MD menolak ‘kebijakan besar’ Islamofobia di NKRI tercinta. We count on you, Prof.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Wallahu a’lam bisshowab.
(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin