Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siapa Sebenarnya Kelompok RSF yang Mengguncang Sudan?

Redaksi Editor : Arif R - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

3 Views

Pasukan RSF. (FOTO: Darfur24)

MINA – Nama Rapid Support Forces (RSF) kembali mencuat di pemberitaan internasional setelah laporan mengerikan tentang pembantaian sekitar dua ribu warga sipil di El-Fasher, Darfur, Sudan. Kelompok paramiliter ini kini menjadi aktor utama dalam perang saudara Sudan yang meletus sejak 2023, ironisnya setelah dulu menjadi sekutu dekat militer pemerintah.

Dari Janjaweed ke RSF

RSF berakar dari milisi Janjaweed, kelompok bersenjata yang pernah dimanfaatkan pemerintah Sudan dalam konflik Darfur. Pada 2013, kelompok ini diformalkan menjadi pasukan paramiliter resmi. Namun pada tahun yang sama, hubungan mereka dengan militer Sudan retak dan RSF berbalik menjadi kekuatan oposisi paling berbahaya.

Secara ideologis, RSF kerap dikaitkan dengan nasionalisme Arab ekstrem dan sentimen anti-Islamis, serta dituduh mendorong agenda supremasi Arab. Sejumlah laporan akademik dan organisasi kemanusiaan menyebut RSF kerap menargetkan kelompok etnis non-Arab di Sudan dengan kekerasan brutal, termasuk eksekusi terhadap warga sipil tak bersenjata.

Jejak Konflik dan Kepemimpinan

Kelompok ini dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, sejak 2019. RSF pernah terlibat dalam operasi militer di Yaman melawan kelompok Houthi dan memainkan peran penting dalam penumpasan demonstrasi pro-demokrasi di Sudan, termasuk tragedi pembantaian di Khartoum pada 3 Juni 2019.

Baca Juga: Perjalanan Maut Warga Sudan Menyelamatkan Diri dari el-Fasher

Pada 15 April 2023, ketegangan memuncak setelah RSF memobilisasi pasukan di berbagai kota. Militer Sudan kemudian menetapkan RSF sebagai kelompok pemberontak. Sejak itu, RSF berhasil menguasai wilayah luas di bagian selatan dan barat Sudan, termasuk sebagian besar Darfur.

Mereka diduga menerima dukungan dari Uni Emirat Arab, Chad, Israel, serta kelompok Wagner dari Rusia, meski pihak-pihak tersebut umumnya membantah atau tidak memberikan komentar resmi.

Tragedi El-Fasher: Genosida di Abad Ini?

Penaklukan RSF atas El-Fasher menjadi bab baru yang lebih kelam. Setelah pengepungan selama 18 bulan yang memerangkap puluhan ribu warga, militer Sudan mundur dan kota jatuh ke tangan RSF. Pasca-pendudukan, laporan pembantaian terhadap warga etnis Fur, Zaghawa, dan Berti bermunculan. RSF dituduh melakukan pembunuhan massal, penculikan, pemerasan, hingga pembantaian berbasis etnis.

Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale bahkan menyebut kekerasan itu sebanding dengan 24 jam pertama genosida Rwanda. Rekaman yang diduga dibuat anggota RSF sendiri memperlihatkan warga sipil ditembak dan mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Citra satelit memperlihatkan lokasi-lokasi yang kuat mengindikasikan eksekusi massal dan pemakaman paksa.

Baca Juga: Tiga Tokoh Indonesia Suarakan Peran Masjid dan Keadilan Ekonomi di Forum Perdamaian Dunia

PBB dan aktivis lokal juga melaporkan pola yang mirip “pembersihan etnis sistematis”, termasuk penyisiran dari rumah ke rumah untuk mencari warga non-Arab.

RSF bukan sekadar kelompok bersenjata biasa. Mereka adalah aktor kuat yang pernah menjadi alat negara, kini berubah menjadi kekuatan pemberontak yang mengancam integritas teritorial Sudan serta keselamatan jutaan warga.

Dengan kontrol yang makin luas di Darfur dan dukungan eksternal yang rumit ditelusuri, masa depan Sudan berada dalam situasi paling rapuh dalam beberapa dekade terakhir. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Palang Merah Internasional Desak Para Pemimpin Dunia Bertindak Hentikan Pembunuhan di Sudan

Rekomendasi untuk Anda