Siapakah Pasukan Reaksi Cepat (RSF) di Sudan?

yang pemerintahannya dalam masa transisi tiba-tiba dilanda peperangan sengit di ibu kota negara, Khartoum, dan beberapa kota lainnya.

Pasukan Reaksi Cepat () para militer mencoba melakukan upaya kudeta terhadap kepemimpinan militer Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan.

Jenderal Al-Burhan, pemimpin de facto Sudan kemudian mengumumkan bahwa RSF dibubarkan dan dinyatakan sebagai pemberontak.

Siapakah RSF yang muncul sebagai kekuatan militer yang kuat di Sudan.

Latar belakang

Pada mulanya Pasukan Reaksi Cepat (RSF) dibentuk berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh parlemen Sudan pada tahun 2017. Selanjutnya, ia berubah menjadi pasukan reguler di bawah komando Panglima Angkatan Bersenjata Sudan. Misinya adalah memberikan dukungan kepada Angkatan Bersenjata Sudan dalam menghadapi milisi bersenjata di luar wilayah Darfur, memerangi penyelundupan manusia dan ikut melindungi wilayah perbatasan.

Pasca Revolusi Desember 2018, Komandan RSF Mohamed Hamdan Hemedti ditunjuk menjadi anggota Dewan Militer Transisi (TMC) yang dibentuk pada April 2019, dan selanjutnya ditunjuk menjadi Wakil Presiden Dewan Pemerintahan Transisi yang dibentuk pada Agustus 2019.

Selama empat tahun terakhir, jumlah personel RSF meningkat dari 21 ribu menjadi lebih dari 100.000 personel dengan dilengkapi persenjataan dan kemampuan tempur tinggi. RSF merekrut personelnya dari sejumlah negara Afrika Barat (Mali, Niger, Chad, dan Afrika Tengah) lalu menaturalisasi sebagian besar dari mereka. Tak hanya itu, RSF bahkan menjelma menjadi jaringan kepentingan ekonomi dan politik serta hubungan luar negeri yang ingin menandingi pemerintahan yang sah, dimana hal itu merugikan rakyat Sudan.

Sebagai informasi, visi komando Angkatan Darat Sudan, berdasarkan kesepakatan kerangka kerja yang ditandatangani pada Desember 2022 antara institusi militer dan sejumlah kelompok politik adalah: membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan transisi sipil yang menegaskan tentang perlunya pembentukan tentara nasional yang satu. Yaitu, dengan cara menggabungkan RSF ke dalam institusi militer Sudan dalam kurun waktu dua tahun dimana hal ini sejalan dengan program reformasi di bidang keamanan dan militer.

Namun di sisi lain, pimpinan RSF menginginkan proses penggabungan (asimilasi) ini dilakukan dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dalam kurun waktu itu, RSF merupakan sebuah kekuatan militer independen dan terpisah dari Angkatan Bersenjata Sudan. Pandangan ini dinilai oleh Angkatan Bersenjata Sudan sebagai pelanggaran disiplin militer. RSF yang memiliki jumlah personel yang sangat besar dan berada di luar kendali Angkatan Bersenjata Sudan akan menjadi ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Ketidaksepahaman inilah yang menjadi puncak perselisihan di antara kedua institusi.

Yang terjadi kemudian adalah komandan RSF memobilisasi sejumlah besar personelnya bersenjata lengkap di berbagai sudut ibu kota Khartoum. Sejumlah 50 ribu personel RSF pasukan disiapkan dalam format siaga tempur. Tak hanya itu, mobilisasi juga dilakukan di berbagai kota lainnya, tanpa berkoordinasi dengan Angkatan Bersenjata Sudan. Padahal, proses politik yang tengah diupayakan menghendaki kembalinya aparat militer dan RSF ke barak, setelah terbentuknya pemerintahan transisi dari kalangan sipil.

Kepala negara Sudan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Sudan terus mencermati bahaya eskalasi ancaman RSF, dimana hal ini juga menjadi ancaman bagi perdamaian dan stabilitas negara. Upaya untuk meredakan eskalasi ketegangan ini diupayakan melalui berbagai kekuatan politik di Sudan, selain juga upaya dari tiga pihak, yaitu: PBB, Uni Afrika dan IGAD (blok perdagangan delapan negara di Afrika).

RSF sangat yakin akan keberhasilan rencana mereka untuk mengendalikan pemerintah secara paksa, berdasarkan indikator internal dan eksternal yang mendukung tren eskalasi tersebut.

RSF terus memprovokasi militer Sudan dengan memobilisasi pasukannya di sekitar pangkalan udara di kota Marawi, 350 km sebelah utara Khartoum. RSF juga menuntut pemecatan Menteri Dalam Negeri Sudan setelah kementeriannya berhasil mengungkap tindakan RSF menaturalisasi banyak orang Arab di negara-negara Sahara Selatan dan memasukkan mereka ke dalam personel RSF dimana tindakan itu jelas melanggar undang-undang naturalisasi di Sudan.

Menghadapi eskalasi yang berbahaya ini, pimpinan Angkatan Bersenjata Sudan mengusulkan diadakannya rapat gabungan dengan pimpinan RSF pada Sabtu, 15 April 2023. Ketika rakyat Sudan tengah menanti hasil pertemuan itu, pasukan RSF yang ikut serta menjaga markas besar Angkatan Bersenjata secara tiba-tiba melancarkan serangan mendadak pagi itu di kediaman Presiden Dewan Pemerintahan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, dengan tujuan membunuh atau menangkapnya.

Dalam serangan mendadak itu, personel RSF yang tergabung dalam Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) merebut istana presiden dan sejumlah lokasi strategis di dalam ibu kota sebagai bagian dari upaya nyata untuk merebut kekuasaan secara paksa. Paspampres berada di garda terdepan menghadapi serbuan RSF dalam sebuah konfrontasi berdarah untuk melindungi presiden. Sejumlah 35 perwira dan personel Paspampres gugur dalam pertempuran ini.

Paspampres tidak menyangka bahwa rekan-rekan mereka yang berasal dari RSF yang bertugas menjaga obyek vital dan strategis di ibu kota, memendam permusuhan dan pengkhianatan sebesar itu terhadap mereka. Padahal mereka menikmati sahur dan menunaikan shalat subuh bersama, lalu tiba-tiba mereka diserang hanya dalam hitungan beberapa jam kemudian. RSF menjadikan rekan-rekan mereka sendiri dari kalangan militer sebagai sandera.

Sejumlah obyek vital yang berhasil mereka kuasai adalah: istana presiden, kantor radio dan televisi, Bandara Internasional Khartoum, komplek perumahan pimpinan angkatan bersenjata dan pejabat sipil yang berdekatan dengan markas besar angkatan bersenjata. Sebagian anggota keluarga mereka menjadi tahanan RSF. Ironisnya, kediaman panglima RSF terletak di sebelah markas besar tersebut. Namun, fakta itu tidak diindahkan oleh RSF, justru pada bulan suci Rumadhan. Komplek perumahan tersebut dijarah dan dirusak, keluarga para pejabat sipil dan militer dijadikan sasaran pelecehan. Sejumlah perwira militer Sudan ditawan sebagai sandera dan dijadikan sebagai tameng hidup. Ini merupakan aksi terorisme yang sangat keji dan belum pernah terjadi dalam sejarah Sudan.

RSF menduduki Bandara Internasional Khartoum, membakar aula keberangkatan, dan menyerang dua pesawat sipil, salah satunya milik maskapai Saudi Airlines yang saat itu hendak lepas landas. Jika bukan karena rahmat Allah, bisa jadi bencana besar terjadi. Akhirnya, proses evakuasi berlangsung lancar tanpa ada korban jiwa. RSF juga menyerang sejumlah garnisun militer di sejumlah negara bagian, seperti El-Obeid, El-Fasher, Nyala dan El-Geneina, yang terletak di wilayah Darfur.

Walau demikian, meski adanya serangan mendadak dan pengkhianatan RSF, Angkatan Bersenjata Sudan berhasil meredam serangan pendahuluan RSF, lalu berhasil mengendalikan lapangan. Presiden Dewan Pemerintahan Transisi sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata mengeluarkan keputusan membubarkan RSF dan menyatakannya sebagai “pasukan pemberontak melawan negara”.

Diumumkan pula bahwa sejumlah unit RSF akan digabungkan ke dalam Pasukan Penjaga Perbatasan. Elemen dan personel RSF yang ingin menyerah dipersilakan untuk meletakkan senjata dan berintegrasi ke dalam tentara Sudan, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. (R/RI-1/P1)

 

Sumber: Kedutaan Sudan di Jakarta

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.