Raya Nofal merasa sulit mengikuti kelas melalui internet.
“Saya tidak punya tablet,” kata bocah 11 tahun itu. “Ibuku memberiku teleponnya. Tapi kadang-kadang ibu mendapat panggilan telepon dan itu mengganggu pelajaran kami. Di lain waktu, saya tidak bisa fokus karena internet lambat.”
Pengalaman Raya sama dialami oleh banyak murid di Gaza.
Sekolah telah ditutup sejak Maret dalam upaya untuk menghentikan penyebaran virus corona baru. Sementara guru memberikan pelajaran online. Berpartisipasi di dalam kelas online sulit bagi anak-anak yang tidak memiliki peralatan yang memadai.
Baca Juga: Warga Palestina Sahur Bersama di Awal Ramadhan
Ayah Raya telah menganggur selama dua tahun terakhir, keluarganya tidak mampu membelikannya komputer atau perangkat elektronik lain yang cocok untuk e-learning.
Masalahnya diperparah oleh pemadaman listrik yang sering terjadi di Gaza.
Aya dan Nisreen Saad berusia 10 dan 15 tahun. Kebanyakan pagi mereka tidak dapat mengikuti kelas di internet karena tidak ada listrik yang tersedia.
Selain itu, mereka tidak memiliki ponsel, tablet, atau komputer sendiri. Keduanya harus menggunakan ponsel ibu mereka.
Baca Juga: Hamas Serukan Warga Palestina Intensifkan Kunjungan ke Masjid Al-Aqsa selama Ramadan
“Awalnya kami berpikir bahwa anak-anak mungkin menikmati mengikuti pelajaran mereka di internet,” kata ibu mereka, Iman. “Sekarang saya kesal karena mereka mengalami kesulitan seperti itu karena kemiskinan. E-learning mungkin berhasil di negara lain, tetapi Gaza bukan tempat yang cocok untuk itu.”
3G diblokir
Anak-anak yang mengandalkan telepon, daripada komputer, berada pada posisi yang kurang menguntungkan.
Sebagai bagian dari blokade penuh yang telah diberlakukan selama 13 tahun, Israel mencegah Gaza dari mengembangkan jaringan ponsel generasi ketiga (3G).
Karenanya, jarang sekali orang di Gaza memiliki akses internet berkualitas baik di ponsel mereka.
Baca Juga: Israel Hancurkan Rumah-Rumah Kamp Nour Shams di Hari Pertama Ramadhan
OCHA, sebuah kelompok pemantau PBB, mendapati bahwa layanan pendidikan Palestina tidak siap untuk menghadapi pandemi COVID-19.
Baik Tepi Barat yang diduduki dan Gaza tidak memiliki alat yang cukup bagi siswa untuk diajarkan dari jarak jauh sebelum pandemi. Komplikasi tambahan, menurut OCHA, Kementerian Pendidikan di Tepi Barat dan Gaza tidak dapat menyetujui isi dari program e-learning.
Hampir setengah dari dua juta penduduk Gaza berusia di bawah 18 tahun. Tumbuh dewasa di Gaza sudah merupakan tantangan besar sebelum pembatasan COVID-19 diberlakukan.
Gaza telah mengalami tiga serangan besar Israel sejak Desember 2008 dan juga sejumlah serangan yang lebih kecil. Anak-anaknya mengalami lebih banyak trauma daripada anak-anak di hampir setiap negara lain.
Baca Juga: Pasukan Zionis Israel Hancurkan Rumah Warga Palestina di Gaza Selatan
Dalam sebuah laporan 2018, badan anak-anak PBB UNICEF menyatakan bahwa sekitar 300.000 anak-anak di Gaza membutuhkan dukungan psikologis dan bentuk perlindungan lainnya.

(Foto: The Electronic Intifada)
“Mimpi buruk”
Pergi ke sekolah telah memberi anak-anak Gaza perasaan penting yang rutin, dengan para guru memberikan bantuan psikologis kepada para siswa. Untuk memberikan bantuan yang tepat, para guru benar-benar perlu berada di ruangan yang sama dengan murid mereka, bukan dengan mengadakan kelas melalui internet.
“Untuk siswa Gaza, sekolah bukan hanya tempat untuk mendidik,” kata Muhammad Ayyash, yang mengajar sains di sekolah Gaza City yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB untuk para pengungsi Palestina. “Ini adalah tempat untuk meredakan stres mereka. Tinggal di rumah akan berdampak negatif bagi mereka.”
Situasinya tidak lebih baik bagi mahasiswa di pendidikan yang lebih tinggi.
Baca Juga: Imam di Palestina Ajak Warga Ramaikan Masjid Al-Aqsa Selama Ramadhan
Aya Awni (21) sedang mempelajari nutrisi dan kesehatan masyarakat di Palestine Technical College di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza tengah.
Karena tidak memiliki smartphone atau komputer sendiri, ia harus meminjam laptop teman untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas. Karena dia tidak dapat menggunakan laptop itu sepanjang waktu, Awni tidak dapat mengirimkan beberapa tugasnya.
“Ini adalah mimpi buruk,” kata Awni. “Saya selalu merasa cemas.”
Gurunya Ayman Abu Zaina meminta agar mahasiswa yang tanpa komputer menulis tugas mereka dengan tangan dan kemudian mengirimkan foto-foto hasil kerja mereka dengan smartphone. Masalahnya adalah bahwa beberapa muridnya tidak memiliki smartphone.
Baca Juga: Lazzarini: Langkah Israel Bubarkan UNRWA Dapat Perburuk Krisis Pengungsi
Ayman mendapati bahwa hanya 60 persen dari muridnya yang telah menyerahkan tugas sejak pembatasan COVID-19 diperkenalkan.
“Mahasiswa di seluruh dunia memiliki smartphone,” katanya. “Di Gaza sini berbeda karena kemiskinan.” (AT/RI-1/P1)
Sumber: The Electronic Intifada
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ramadhan di Gaza: Shalat Tarawih di Reruntuhan Bangunan