Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA
Idul Adha atau Idul Qurban selalu identik dengan keluarga Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Ibrahim sebagai seorang ayah, anaknya Isma’il, dan ibunya Hajar.
Orang Indonesia, juga Malaysia dan Singapura biasa menambahkan kata Siti di depannya, sehingga menjadi Siti Hajar.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Hajar, ada yang menyebut dari kata “Haa jara” (هاجَر) artinya berpindah. Ada yang yang menyebutnya singkatan dari “Hadzaa Ajrikum) (هذااجركم), yang memiliki arti “ini imbalanmu”.
Namun, menurut ahli Heiroglafi, hal itu kurang tepat. Sebab nama Hajar merupakan nama non-Arab. Ia dari bahasa Mesir kuno “Haa” (ها) artinya bunga seroja, dan ”Jara” (جر) artinya tanah Jab di wilayah Mesir. Sehingga nama Hajar merupakan nama bunga yang ada di kawasan Mesir.
Sedangkan, nama Siti umumnya digunakan oleh orang Jawa untuk menamai anak perempuan mereka.
Konon, ada yang menyebut, Siti itu akronim dari kata berbahasa arab yaitu “Sayyidatina”, yang dalam bangsa Arab sebagai suatu bentuk penghormatan kepada seseorang.
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Kemudian karena menurut orang Jawa kata Sayyidatina terlalu panjang, maka disingkatlah menjadi Siti. Secara bahasa Sayyidatina artinya Tuan Puteri.
Ada juga yang menyebut, Siti berasal dari bahasa Sansekerta, Ksiti, yang artinya tanah atau bumi, yang dalam simbologi di Nusantara diidentikkan dengan wanita atau Ibu.
Terlepas dari itu semua, yang jelas Hajar adalah ibunda Isma’il ‘Alaihis Salam, atau isteri Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam.
Baca Juga: Penting untuk Muslimah, Hindari Tasyabbuh
Alkisah, Hajar ditinggalkan berdua dengan bayinya, Ismail, di tengah padang pasir gersang, di gurun Arab Saudi, saat menunaikan perintrah dari Tuhannay hijrah dari Palestina ke kawasan Arab Saudi.
Saat itu ribuan tahun lalu, belum ada penduduk yang menetap di sana, dan belum ada binatang piaraan yang dipelihara.
Sesaat setelah tiba di lembah Baka, yang kemudian disebut dengan Makkah. Nabi Ibrahim mendapatkan perintah kembali dari Allah untuk kembali ke Al-Quds, Palestina, meninggalkan keluarganya.
Kemudian Siti Hajar mengikutinya dan menyeru, “Wahai, Ibrahim! Ke mana engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni ini?”
Baca Juga: Peran Muslimat dalam Menjaga Kesatuan Umat
Siti Hajar mengulangi beberapa kali. Namun, Ibrahim tak bergeming demi tetap melanjutkan amanat Allah.
Kemudian Siti Hajar bertanya, “Apakah ini adalah perintah Allah? “Ibrahim pun menjawab, “Ya.”
Mendapat jawaban itu, Hajar pun menimpali, “Jika demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan meninggalkan kami”.
Nabi Ibrahim pun kemudian menghadapkan wajah ke arah Baitullah seraya menengadahkan tangan dan berdoa, yang diabadikan di dalam Al-Quran:
Baca Juga: Derita Ibu Hamil di Gaza Utara
رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيۡرِ ذِى زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةً۬ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَہۡوِىٓ إِلَيۡہِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٲتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. [QS. Ibrahim [14]: 7).
Beberapa saat kemudian, Hajar pun membuka wadah berisi kurma yang ditinggalkan suaminya, lalu memakannya. Beberapa teguk air dari kantong pun ia minum. Baru sebentar, rasa haus kembali merongrong tenggorokannya. Maklumlah, ia masih menyusui puteranya ditambah cuaca padang pasir yang relatif panas.
Hari bertambah hari, suhu Arab semakin panas, persediaan makan dan minum pun telah habis. Kemampuan menyusui sang bayi pun semakin menurun. Lama-kelamaan air susunya habis. Sementara si bayi menjadi rewel, menangis, dan terus meronta meminta air susu ibunya.
Tak tahan mendengar tangis anaknya, Hajar bangkit dari tempatnya, meninggalkan bayinya sendirian, demi mencari bantuan. Barang kali saja ada rombongan kafilah yang akan melewati Makkah kala itu.
Baca Juga: Kiat Menjadi Muslimah Penuh Percaya Diri
Dilihatnya seperti air di sebuah bukit, yang kemudian dikenal dengan Shafa. Ia berlari ke sana. Ternyata hanya fatamorgana di tengah terik panas padang pasir.
Dilihatnya lagi di sebuah bukit di ujung lainnya, yakni Marwah, tampak ada danau air. Setelah terhuyung-terhuyung tergesa-gesa menuju ke sana, yang jaraknya sekitar 450 meter, ternyata pun fatamorgana. Begitu sampai tujuh kali 450 meter atau sekitar 3,15 km ia bolak-balik Shafa-Marwah demi mencari seteguk air.
Mengeluhkah dia? Tidak. Dia meyakini pertolongan Allah pasti akan datang. Tugasnya hanyalah berusaha dan berjuang. Ia ikhlas menjalaninya, seikhlas ketika melepas kepergian suaminya yang meninggalkan mereka berdua di padang itu atas kehendak Allah.
Akhirnya, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah pun memberikan rezeki berupa sumber mata air zamzam yang muncul dari bawah telapak kaki Ismail. Siti Hajar dan Ismail pun menikmati air minum zamzam.
Allah mengabadikan Shafa-Marwah itu di dalam ayat:
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah [3] Maka barangsiapa yang beribadat haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 158).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun dalam sabdanya menyebutkan:
إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا
Artinya: “Tatkala Jibril memukul zam-zam dengan tumit kakinya (Ismail), Ummu Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,”Semoga Allah merahmati Hajar, Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah).”
Kini, jutaan jamaah haji setiap tahun dan jamaah umrah sepanjang bulan, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar melalui ritual Sa’i, yakni berjalan dari bukit Shafa menuju bukit Marwah sebanyak tujuh kali dalam satu kali umrah atau haji. Begitulah antara lain kurang lebih cara Allah memberikan penghormatan kepada Hajar, agar orang-orang yang kemudian mengikuti jejaknya.
Baca Juga: Fitnah Medsos yang Perlu Diwaspadai Muslimah
Belum lagi bagaimana kesabaran dan ketegaran sebagai seorang ibu, manakala mendapat cobaan suaminya hendak memotong anaknya, atas perintah Tuhannya. Yang kemudian pun diabadikan dan menjadi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yakni ibadah Qurban pada Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah dan hari-hari tasyrik, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Kekuatan aqidah, ketabahan jiwa, kesabaran, ketawakalan hati, kekuatan mental, keridhaan akan ujian, dan segala keutamaan yang tersemat pada sosok Siti Hajar, adalah teladan bagi kita, terutama para jamaah haji dan umrah.
Itulah Hajar yang dirahmatai Allah, ibunda teladan sepanjang masa. Subhaanallaah. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia