Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

SUBIAH AL-HAFIDZAH: MUSLIMAH ROHINGYA PENGHAFAL AL-QURAN DI ACEH

Nur Hadis - Senin, 1 Juni 2015 - 21:50 WIB

Senin, 1 Juni 2015 - 21:50 WIB

1496 Views

Subiah AlHafidzah sesekali menyeka air matanya saat diwawancarai Mi'raj Islamic News Agency (MINA). Photo : MINA
Subiah AlHafidzah sesekali menyeka air matanya saat diwawancarai Mi'raj Islamic News Agency (MINA). Photo : MINA
Subiah AlHafidzah  sesekali menyeka air matanya saat diwawancarai Mi'raj Islamic News Agency (MINA). Photo : MINA

Subiah Al-Hafidzah (bercadar) sesekali menyeka air matanya saat diwawancarai Mi’raj Islamic News Agency (MINA). Photo : MINA

Oleh : Nurhabibi, Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) Biro Sumatera

Pandangan mata saya tertuju dengan seorang Muslimah yang berbeda penampilan dengan pengungsi Rohingya lain saat saya mengunjungi pengungsian Kuala Cangkoy Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nagroe Aceh Darussalam, Ahad (31/5).

Pakaiannya serba hitam dan cadar menutupi wajahnya. Dari tatapan matanya, tampak kelembutan hatinya, walaupun demikian, terlihat roman ketakutan yang berusaha ia tutupi. Dari cara berbicaranya yang santun dan pelan menandakan bahwa ia seorang Muslimah yang memiliki akhlaq yang baik dan menawan.

Dialah Subiah Al-Hafidzah, Muslimah Rohingya yang hafal Al-Quran, yang ikut terombang-ambing di lautan lepas, demi menyelamatkan harga dirinya dari renggutan kekejaman di negaranya.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Subiah, merupakan satu diantara ratusan pengungsi Rohingya yg ditempatkan di TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Kuala Cangkoy Kecamatan Lapang, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nagroe Aceh Darussalam. Menariknya, Subiah ini merupakan seorang yang hafal 30 Juz Al-Qur’an.

Pembicaraan kami dengan Subiah siang itu, diterjemahkan oleh Muhammad Husein, pengungsi Rohingya yang hampir fasih berbicara bahasa melayu, karena sebagian besar dari para pengungsi tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

Menurut pengakuan Muhammad Husein ia mahir berbahasa melayu karena memang pernah menetap lama di Malaysia pada saat ia bekerja di sana sebagai kuli bangunan.

Melalui Muhammad Husein inilah penulis mampu menangkap informasi-informasi penting yang tersimpan dalam benak Subiah dengan keadaan dan kondisi yang tengah terjadi di Rohingya.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Kekejaman di Myanmar

Percakapan Penulis dengan Subiah diawali dengan tangisannya yang menyayat hati. Subiah mengungkapkan, bahwa ia tidak ingin kembali ke Rohingya, kekejaman umat Budha sebagai agama mayoritas di Myanmar atau sekitar 90% dari penduduknya telah menghancurkan masa depan Subiah dan keluarganya.

Kaum kerabat Subiah banyak yang menjadi korban. Ia mengisahkan bagaimana kejamnya perlakuan kejahatan mereka terhadap kaum Muslimin.

Tiap hari korban berjatuhan, anak-anak, wanita dan pria. Banyak anak-anak yang menjadi korban di depan mata ayah ibunya. Begitu juga sebaliknya, banyak orang tua yang dibantai secara biadab di depan anak-anak mereka.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Subiah mengisahkan, bagaimana ia belajar dan menghafal Al-Qur’an dalam keadaan sembunyi-sembunyi, penuh ketakutan, kekhawatiran.

Subiah mampu menghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu 3 tahun. Hafal 30 Juz pada saat ia berumur 12 tahun, ia belajar Al-Qur’an melalui bimbingan Ustadz Al-Hafidz Muhammad Yunus. Para pengungsi Rohingya biasa memanggil Ustadz Al-Hafidz Muhammad Yunus dengan panggilan Imam, sebagai orang yang ditokohkan dalam urusan agama.

Ketika Penulis memintanya untuk membacakan salah satu ayat yang ia hafal, ia enggan bahkan terlihat menangis sesunggukkan. Ketika penulis tanyakan penyebabnya, Muhammad Husein, penerjemah kami mengatakan bahwa Subiah seringkali trauma ketakutan. Ia teringat pada saat sedang menghafal Al-Qur’an itulah umat Budha menyerang dan membasmi keluarga Muslimnya di sana.

Banyak teman-teman Subiah yang menjadi penghafal Al-Qur’an telah menjadi korban keganasan yang didukung oleh pemerintah Myanmar.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Aktivitas ibadah rohingya/">Muslim Rohingya sangat dibatasi. Fasilitas ibadah sangat minim. Begitu pula fasilitas pendidikan. Perlakuan pemerintah Myanmar terhadap Muslim tidak sama dengan perlakuan mereka terhadap Nasrani. Kaum Kristen walaupun minoritas, mereka masih tetap mendapatkan fasilitas ibadah dan pendidikan.

Kini Subiah telah berumur 17 tahun dan memiliki seorang suami. Ia menikah 2013 silam pada saat umur 15 tahun. Suaminya kini bekerja dan menetap di Malaysia, ia berharap dapat bertemu kembali dengan suaminya.

Subiah berpesan yang ditujukan kepada dunia, ia berharap dunia dapat melihat keadaan mereka di Rohingya.

“Jangan bedakan kami dengan yang lain, apakah hanya karena kami seorang Muslim lantas ditindas dan harga diri kami diinjak dengan semena-mena. Kami juga manusia yang ingin hidup di muka bumi ini, hormatilah kami dan keyakinan kami, “ ujarnya.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Subiah juga bersyukur dan berterimakasih atas bantuan rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh yang telah digerakkan oleh Allah untuk membantu dan menempatkan mereka di sini.

“Kami mohon dengan amat sangat kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak memulangkan kami ke Rohingya, sayangilah dan cintailah kami sebagai saudara kalian sesama Muslim, “ ujarnya.(T/HBB/K08/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Internasional
Wapres RI Ma'ruf Aamiin menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-44 dan ke-45 di Vientiane, Laos, Rabu (9/10/2024) (Foto: Setwapres RI)
Asia
Internasional
Indonesia
Dunia Islam