Oleh: Diana Al-Rifai, wartawan Al-Jazeera di Timur Tengah
Provinsi Raqqa, Suriah, telah diambil alih kontrolnya oleh kelompok Islamic State (ISIS/Daesh) pada akhir 2013, dan kota utamanya dinyatakan sebagai ibukota ISIS di Suriah,
Kota yang pernah menjadi kota sibuk dan ramai itu, sekarang menjadi tempat di mana orang hidup di bawah rezim ISIS yang penuh pengawasan dan aturan yang mengancam.
Seorang warga kota mencerminkan kehidupan sehari-hari di bawah kekuasaan ISIS. Dengan nama akun Facebook Ghareb Al-Omawi, warga Raqqa itu menceritakan kehidupan kota yang telah sangat berubah. Dia mengisahkan:
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Kehidupan sehari-hari di Raqqa telah menjadi seperti sebuah penjara besar yang dijaga oleh pria bertopeng hitam. Kami sering bangun di pagi hari disebabkan suara pesawat tempur yang melintas di langit.
Drone (pesawat tanpa awak) hampir tidak pernah meninggalkan cakrawala kota. Drone-drone itu diiringi oleh peringatan sirene yang telah dibuat di kota oleh ISIS.
Sekarang anak-anak Raqqa tidak lagi takut dengan bom. Mereka bahkan mampu membedakan jenis pesawat perang yang melayang di atas kami, apakah itu milik rezim Suriah, tentara Rusia, atau koalisi pimpinan Amerika Serikat.
Wanita tidak lagi menjerit seperti dulu, ketika mereka pertama kali mendengar suara pesawat tempur.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Sekarang kami bisa mengatakan, siapa pendatang baru di kota kami, ketika kami melihat kepanikan, ketakutan dan kecemasan di wajah mereka saat mereka mendengar suara pesawat tempur.
Setiap hari saya meninggalkan rumah dan berkeliaran di sekitar jalan-jalan Raqqa. Dengan perasaan campur aduk, takut, gugup dan jijik, saya mencoba untuk mendokumentasikan kekejaman yang dilakukan oleh ISIS di kota.
Saya mulai mendokumentasikan kejahatan ISIS setelah mereka menangkap salah satu teman dekat saya dan kemudian membunuhnya dengan tuduhan mata-mata untuk Tentara Suriah Merdeka (FSA).
Saya mulai menerbitkan berita tentang kejadian sehari-hari yang terjadi di daerah yang dikuasai ISIS. Saya juga meliput banyak pelanggaran, seperti penangkapan, penyaliban dan pelemparan batu (rajam).
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Sebelum perang atau revolusi melawan kediktatoran rezim Bashar Al-Assad, saya belajar teknik pertanian di Universitas Efrat.
Saya menghabiskan waktu seperti pemuda Suriah lainnya. Saya punya hobi seperti sepak bola, berenang, dan berwisata.
Ketika revolusi pecah di bulan Maret 2011, saya mulai mengambil bagian dalam protes damai di Deir Az-Zor di Suriah timur.
Protes damai berlangsung selama sekitar tiga bulan, dan jumlah demonstran akhirnya mencapai 500.000 di alun-alun utama kota.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Pasukan rezim mulai menindak pengunjuk rasa, menargetkan banyak pemuda. Warga menanggapi dengan pembangkangan sipil, menyiapkan pemblokiran jalan dan mengganggu jalur transportasi di kota.
Hal ini mendorong pasukan pemerintah untuk menyebarkan tank, mesin-mesin berat dan sejumlah besar pasukan darat.
Sementara itu, saya dan keluarga saya melarikan diri ke Raqqa yang kondisinya lebih baik daripada Deir Az-Zor saat itu. Kami lari karena kami takut oleh penembakan brutal dan tindakan keras besar-besaran oleh pemerintah Suriah.
Saya mencoba untuk kembali ke universitas, tapi saya menerima surat dari salah satu teman yang mengejutkan saya dan pada dasarnya menghancurkan masa depan saya. Surat itu mengatakan: “Perintah pemberhentian dari universitas telah dikeluarkan terhadap Anda karena alasan politik.”
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Dia tidak memberikan saya informasi lebih lanjut mengenai alasan pemecatan dan dengan keputusan ini, saya ditolak haknya untuk bisa melanjutkan studi. Sampai hari ini, saya bermimpi untuk kembali ke universitas.
Pada bulan Maret 2013, FSA membebaskan Raqqa dari pasukan pemerintah dengan bantuan pejuang dari Nusra Front, aliansi yang kemudian runtuh. Perkembangan meningkat sangat cepat dan pada awal 2014, ISIS menguasai kota Raqqa setelah pertempuran sengit dengan pejuang FSA yang kemudian mengundurkan diri.
ISIS mulai menaikkan bendera hitamnya atas markas mereka itu. Mereka melakukan banyak penangkapan, mulai mencuri dari organisasi pemerintah dan menurunkan segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas nasional Suriah dalam persiapan untuk membangun sendiri “Negara Islam” mereka.
ISIS membangun yang disebut negara mereka dengan menggunakan metode yang serupa digunakan oleh pemerintah Suriah, termasuk penangkapan dan pembunuhan.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Namun, kebrutalan kejahatan ISIS melampaui rezim, karena mereka mulai menyalib, potong tangan, rajam dan cambuk di depan orang umum.
ISIS telah menegakkan aturan ketat terhadap merokok. Siapa pun yang tertangkap merokok segera dicambuk di depan umum hingga 40 cambukan untuk pelanggaran pertama. Untuk pelanggaran kedua kali, dicambuk dan dimasukkan ke dalam penjara.
Jika mereka tertangkap (merokok) untuk ketiga kalinya, mereka dicambuk, didenda, dipenjara dan diasingkan dari kota.
Baru-baru ini, kampanye penangkapan telah meningkat, sebagian besar menargetkan pemuda karena perilaku seperti merokok, memakai celana ketat atau mencukur jenggot mereka. Bagi wanita, dakwaan utama adalah melanggar pakaian tradisional Islam.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Setelah menyaksikan situasi memburuk, saya memutuskan bersama sekelompok aktivis berpengalaman dan wartawan untuk memulai sebuah proyek bernama “Sound and Picture” (Suara dan Gambar), yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh semua faksi bersenjata dalam perang Suriah.
Proyek ini, memberikan suara kepada orang-orang yang tinggal di daerah yang dikuasai ISIS. Ada dua bagian, yaitu bagian media dan bagian dokumentasi.
Saya bekerja di bagian media, dan tugas kami adalah baik, diam-diam menerima. Pelanggaran apa pun yang terjadi atau akan terjadi, langsung kami posting di halaman kami. Apa yang kami lakukan adalah berbahaya.
Saya tidak dapat berbicara tentang cara kami pergi menerima atau menangkap informasi tersebut, karena bisa membawa kami ke dalam masalah serius.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Pelanggaran yang dilakukan oleh ISIS melampaui kekejaman dan sebagian orang benar-benar mengabaikan fakta ini. Tidak ada yang peduli tentang semua orang yang ditahan di Raqqa, tidak ada yang bertanya tentang mereka, warga sipil tak berdosa yang dibunuh oleh ISIS.
Ketika kami fokus pada pekerjaan kami dengan penentuan mengekspos semua pelanggaran ISIS, perasaan takut hilang.
Kami berharap bahwa suatu hari, pekerjaan kami akan membebaskan kami dan membawa ISIS ke pengadilan. Itulah yang kami ingin tunjukkan kepada dunia. (T/P001/R05)
Sumber: Al Jazeera
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)