Suriah Diduga Gunakan Agen Syaraf Klorin dan Sarin

Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA

Sebuah pesawat jet tempur yang diduga milik tentara , menjatuhkan tiga bom ke kota Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib, Selasa (4/4) lalu. Menurut saksi mata, bom keempat yang dijatuhkan terlihat berbeda dari yang lainnya, karena menghasilkan asap putih tebal.

Ledakan bom yang diduga berisi bahan kimia dari jet tempur itu membentuk kawah dengan diameter satu meter. Tanah di sekitarnya terlihat hangus dan mengakibatkan puluhan warga sipil tewas dan cedera. Seorang dokter lembaga amal Without Borders di Idlib, Mouin Abed al-Menem mengaku fasilitas medis tempatnya bekerja hari itu saja telah  menerima 68 korban, 21 orang diantaranya meninggal.

“Hampir dua pertiganya adalah anak-anak. Beberapa dari mereka masih hidup di lokasi serangan, namun kemudian meninggal dalam perjalanan. Sebagian besar mengeluarkan busa dari mulut mereka,” ujar Menem sambil menambahkan bahwa jumah korban diperkirakan akan terus bertambah.

Kelompok Syrian Observatory for Human Rights mengutip sumber-sumber medis di Khan Sheikhoun yang menyebutkan terdapat 11 anak yang meninggal dunia. Mereka yang terdampak serangan yang diduga kimia mengalami gejala-gejala seperti muntah-muntah, pingsan dan mengeluarkan busa dari mulut.

Ledakan bom dari jet tempur itu membangunkan seorang pekerja pertahanan sipil, Khaled al-Nasr, Selasa pagi. Ia mendatangi tempat ledakan dan menemukan beberapa rekannya menderita keracunan gas. “Saya melihat semua orang terbaring di atas tanah, menggeliat. Beberapa orang mengeluarkan busa  dari mulut mereka.”

Pusat Media Edlib, yang mendukung oposisi, mengunggah banyak foto tentang warga yang tengah mendapat perawatan. Foto-foto mereka juga menunjukkan mayat dari setidaknya tujuh anak di atas truk pick up.

Orang yang bertanggung jawab mengoperasikan layanan ambulans di Idlib, Mohammed Rasoul, menyebutkan kepada BBC Bahasa Arab, ia menerima kabar tentang serangan udara sekitar pukul 06.45 waktu setempat. Ketika tiga mobil ambulansnya tiba di lokasi sekitar 20 menit kemudian, petugas medis mendapati warga dalam kondisi sesak nafas di jalan.
Serangan di Suriah diduga menggunakan dua jenis bahan kimia karena Menem menemukan gejala korban yang terkena racun agen saraf jenis klorin, dengan terciumnya bau pemutih di rumah sakit. Dalam tubuh beberapa orang yang tewas termasuk anak-anak, tidak ada  tanda-tanda cedera. “Gas beracun telah membunuh korban di tempat tidur mereka.”

Sementara Without Borders juga menemukan gejala korban di Khan yang terkena paparan racun agen saraf jenis gas sarin yang tidak berbau dan berwarna. Gas beracun ini menyebabkan kejang-kejang, sesak napas, muntah, pupil melebar, batuk darah, dan mulut berbusa jika dihirup. Gas sarin cukup mematikan jika sangat terkonsentrasi atau setelah terhirup trlalu lama.

“Sangat mungkin bahwa korban terkena setidaknya dua racun kimia agen saraf yang berbeda,” tulis Without Borders dalam laporannya.

Pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad telah menyerahkan 1.300 ton senjata kimia kepada Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW). Penyerahan dilakukan setelah serangan gas sarin pada 2013 yang menewaskan ratusan orang di Ghouta, pinggiran Damaskus.

Penggunaan senjata yang diduga berbahan kimia oleh Suriah, sontak memancing reaksi keras dunia. Gedung Putih mengatakan ‘keyakinan’ bahwa pemerintah Presiden Bashar al-Assad berada di belakang yang tampak sebagai serangan kimia yang menewaskan puluhan orang di sebelah barat daya Suriah.

Dalam pernyataanya, Presiden Donald Trump mengecam yang disebutnya sebagai ‘tindakan keji’ oleh rezin Bashar al-Assad. Sementara Menteri Luar Negeri, Rex Tillerson, menyebutnya sebagai tindakan brutal dan barbar. “Jelas bahwa beginilah Bashar al-Assad beroperasi, dengan brutal dan barbarisme yang tidak tahu malu.”

Pemerintah Inggris, Prancis, dan beberapa negara lainnya, serta PBB juga mengecam serangan yang jika terbukti merupakan serangan kimia yang paling mematikan sepanjang perang saudara di Suriah yang berkecamuk sejak awal 2011 lalu.

Dewan Keamanan PBB, Rabu (5/4) menggelar sidang darurat untuk membahas situasi di Suriah. Laporan-laporan terbaru menyebutkan setidaknya 58 orang meninggal dunia akibat serangan yang dicurigai sebagai serangan gas di Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak. Duta besar AS untuk PBB, Nikki Haley, menuduh Rusia menutup mata terhadap kebiadaban rezim Assad.
Juru bicara Sekjen PBB, Antonio Guterres menyebutkan bahwa DK PBB telah menetapkan penggunaan senjata kimia di mana pun juga merupakan pelanggaran serius hukum internasional. Misi Pencari Fakta dari OPCW menyatakan telah mulai mengumpulkan informasi untuk mengkonfirmasi dugaan penggunaan senjata kimia tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rabu (5/4), mengutuk dugaan penggunaan senjata kimia di Kota Kecil Khan dan khawatir mengenai pemakaian bahan kimia beracun sebagai senjata di sana. “Gambar dan laporan dari Idlib membuat saya terkejut, sedih dan marah,” kata Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO Peter Salama. “Senjata jenis ini dilarang oleh hukum internasional sebab merupakan kekejaman yang tak bisa ditolerir.”

WHO juga memperingatkan daya tampung rumah sakit di daerah itu untuk melayani keperluan korban cedera terbatas di tengah kekurangan obat dan kerusakan prasarana. WHO telah mengirim obat seperti Atropine serta Steroid untuk layanan kesehatan di sana dan para ahli yang berpusat di Turki memberi saran mengenai cara terbaik mendiagnosis dan merawat korban.

Baik WHO maupun badan amal medis MSF mengatakan sebagian korban mengalami gejala-gejala yang konsisten dengan paparan zat saraf.

Sementara itu Turki menegaskan, hasil autopsi dari para korban serangan di Suriah utara  menunjukkan digunakannya senjata kimia. Setelah serangan udara di Khan Sheikhoun, sebagian korban luka-luka dibawa ke Turki untuk mendapatkan perawatan, tiga di antara mereka kemudian meninggal dunia.

Menurut Menteri Kehakiman Bekir Bozdag, hasil autopsi mengukuhkan bahwa senjata kimia – meski tidak disebutkan bahannya – memang digunakan dalam serangan ini. Pasukan militer Suriah di bawah pemerintahan Presiden Bashar al-Assad bertanggung jawab atas serangan itu.

Indonesia kutuk serangan

Indonesia menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Arrmanatha Nasir,.mengutuk penggunaan gas kimia di manapun juga, termasuk seperti yang diduga digunakan di provinsi Idlib, Suriah. “Intinya , kita mengutuk penggunaan senjata kimia di Suriah yang telah memakan banyak korban sipil, termasuk anak-anak.”

 

Dia menegaskan, Indonesia adalah negara yang sudah meratifikasi konvensi senjata kimia pada 1998, menolak penggunaan senjata kimia termasuk gas Sarin yang diduga digunakan di Idlib.

 

Penggunaan gas Sarin itu memicu pemerintah AS untuk kemudian mengambil tindakan, dengan meluncurkan 59 rudal Tomahawk ke sebuah landasan udara di dekat kota Homas. Menurut Dondal Trump, lokasi tersebut dipilih karena diduga digunakan sebagai basis dari kelompok yang menggunakan senjata kimia.

 

Terhadap aksi AS itu, Arrmanatha mengatakan pemerintah Indonesia ikut prihatin, karena dilakukan tanpa persetujuan DK PBB. “Indonesia percaya, stabilitas dan kedamaian di Suriah bisa dicapai melalui dialog, proses politik yang inklusif, dengan penekanan agar semua pihak menahan diri, dan menghentikan seluruh tindak kekerasan, menghormati dan melindungi HAM.”

 

“Menlu (Retno LP. Marsudi) telah terus berkoordinasi dengan perwakilan tetap kita di PBB, intinya Indonesia terus mendorong dan mendesak DK PBB untuk mengambil langkah agar situasi di Suriah bisa segera diselesaikan,” ujarnya.

 

Komisi I DPR RI juga mengutuk keras penggunaan senjata kimia oleh pihak-pihak yang berkonflik di Suriah. Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid, penggunaan senjata kimia dengan tujuan apa pun sudah dilarang melalui Konvensi Senjata Kimia pada 1993.

“Kami mengutuk keras dan meminta pihak-pihak yang terlibat pada penggunaan senjata kimia di Suriah beberapa waktu lalu, diajukan ke Mahkamah Internasional,” kata Meutya sambil menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kemenlu harus terus mendorong penyelesaian konflik Suriah melalui kerangka dialog inklusif.

Pemerintah melalui Kemenlu juga didorong agar meminta PBB mengambil langkah dalam menyelesaikan konflik Suriah. Kurangnya keterlibatan PBB akan membuat konflik ini terus berlanjut. “Selama ini, penyelesaian konflik Suriah lebih banyak dilakukan oleh koalisi negara, seperti koalisi AS, Inggris, Arab Saudi, serta Rusia, Iran, dan China.

Pemerintah Indonesia, kata Meutya, harus menyuarakan keterlibatan PBB yang lebih besar dalam krisis Suriah. PBB jangan hanya membantu penempatan para pengungsi melalui UNHCR, tetapi juga segera mengusahakan penyelesaian Krisis Suriah. (RS1/P1)

Miraj Islamic News ency/MINA

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.