Oleh: Rohullah Fauziah Alhakim, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Tahun Baru 2015 tinggal menunggu dalam hitungan jam, tidak terasa telah melewati waktu setahun lalu, rasanya baru kemarin Tahun Baru 2014. Banyak orang yang bahagia menyambut Tahun Baru di setiap tahunnya, beramai-ramai manusia mengadakan pesta, tertawa terbahak-bahak entah itu bahagia atau apalah, musik terdengar nyaring dimana-mana, kembang api melesat indah di udara menerangi gelapnya malam dan memecahkan kesunyian, serta suara terompet yang tak mau kalah nyaringnya.
Sebagian banyak orang, merayakan tahun baru dengan hura-hura, menjadi bahan olokan jika tahun baru diam menyendiri di rumah.
Ketika tahun baru datang, ketika masuk dalam hiruk pikuk pesta, ketika warna warni kembang api berhamburan di langit, apakah kita mengingat Allah, mengingat Tuhan yang menciptakan alam semesta, mengingat siapa yang menciptakan manusia dan mengingat apa yang telah dilakukan selama setahun lalu?
Baca Juga: Khutbah Idul Fitri Puitis: Melanjutkan Ibadah, Melestarikan Sunnah
Setahun lalu, ya setahun yang lalu, begitu banyak memori yang dilalui. Sudah baikkah kualitas ibadah selama setahun itu?
Hampir segelintir orang saja yang merenungi itu semua, merenungi dosa apa yang telah ia perbuat, merenungi seberapa dekat ia dengan yang Maha Esa.
Tapi mana orang yang beramai-ramai itu? Mereka berpesta pora seolah Allah tidak mengawasi mereka.
Evaluasi Diri Setahun Lalu
Baca Juga: Makna Sejati Idul Fitri: Kembali ke Fitrah dengan Hati yang Suci
Pergantian tahun lebih baik jika diisi dengan kegiatan refleksi diri setahun yang telah lalu.
Refleksi diri sebagai ajang evaluasi diri sendiri setahun kemarin, supaya di tahun depan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan tahun lalu.
Namun, kebanyakan orang menjadi terlena dengan euforia kemeriahan pesta menyambut tahun baru.
Beberapa refleksi yang wajib dilakukan yakni refleksi ibadah. Bagaimana ibadah selama ini? Sudahkah ibadah menjadi prioritas utama dalam hidup sebagai hamba Allah?
Baca Juga: Al-Jama’ah: Pilar Kebangkitan Umat Islam
Karena terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan duniawi, sesekali dapat membuat manusia sedikit lupa kewajiban kepada-Nya. Kesibukan duniawi yang menyita waktu, jangan sampai menghilangkan esensi yang sebenarnya mengapa manusia hidup di dunia ini. Hakikat sebenarnya manusia hidup di dunia adalah beribadah kepada Yang Maha Pencipta.
Namun, jangan salah artikan pernyataan tersebut. Meskipun beribadah menjadi tujuan utama, bukan berarti manusia hanya diperintahkan untuk beribadah. Manusia bekerja mencari nafkah untuk keluarga bisa terhitung ibadah, jika niat awal bekerja yakni dengan mengharap ridla Ilahi.
Merayakan Tahun Baru Masehi, Bolehkah?
Bagi orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam
Baca Juga: Sejarah Yahudi adalah Sejarah Kekalahan
yang hebat.
Tidak dapat dipungkiri, jika pesta, gemuruh sorak sorai, suara terompet akan meriuh rendah dan semarak kembang api akan meletup dan melingkupi bumi ini. Begitu juga sebagian besar umat Islam pasti turut serta di dalamnya.
Melihat sejarah, pandangan Islam serta adat Islami dalam masyarakat, tidak ada celah sedikit pun bagi umat Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”. Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan.
Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang sangat sayang untuk dilewatkan.
Baca Juga: Bulan Ramadhan Ibarat Permainan Ular Tangga, Dimana Posisi Kita?
Saat ini, sudah sepantasnya umat Islam menghidupkan kembali syiar-syiar Islam. Jika tidak tradisi Islam akan tergerus tanpa ada yang peduli. Manusia makhluk ciptaan Allah, harus taat dan menjunjung tinggi aturanNya. Tidak ada alasan untuk menafikan syiar-syiar Islam. Pantaskah kita menenggelamkan syiar Islam dan menghidupkan syiar budaya Barat?
Islam sudah memiliki hari raya sendiri, seperti dalam hadits, Rasulullah bersabda:
إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما..يوم الأضحى ويوم الفطر
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya bagi kalian yang lebih baik dari kedua hari itu( dua perayaan pada masa jahiliyah) dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR Abu Dawud disahihkan oleh asy syaikh al Albani).
Baca Juga: Defisit Amal: Sebab dan Solusi Menurut Islam
Sudah jelas dalam hadits ini, bahwa umat Islam memiliki dua hari raya saja, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.
Jadi umat Islam juga tidak merayakan hari raya tahun baru tersebut karena 2 hari di masa jahiliyah digantikan dengan hari raya yang lebih baik yaitu dengan merayakan hari raya Idul Fitri dengan hari raya Idul Adha.
Tahun Baru Harapan Baru
Islam dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontektualisasi dalam merekonstruksi pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepadan dengan tradisi dan ajaran syariat Islam.
Baca Juga: Pelajaran dari Surah Al-Ahqaf dan Relevansinya untuk Generasi Saat Ini
Tidaklah termasuk umat Islam yang benar jika hanya bisa ikut-ikutan tanpa mengacu dasar yang jelas.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud yang dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Tahun baru, harapan baru menjadi pribadi yang lebih baik untuk ke depannya.
Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekuensi dari sebuah dunia yang modern. Derasnya arus globalisasi tidaklah pantas untuk dijadikan sebuah alasan.
Baca Juga: Adab dan Akhlak yang Mulai Hilang dari Generasi Muda
Karena yang terpenting adalah keharusan mampu menempatkan diri dalam posisi yang strategis, yaitu pada ajaran Islam yang benar. Wallahu a’lam bi showwaab.
Semoga umat Islam selalu dirahmati oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Amin. (P006/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: 7 Jalan Menggapai Derajat Taqwa Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits