Jakarta, MINA – Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengenakan tarif urun biaya yang harus dibayar pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) setiap kali mereka menerima layanan kesehatan untuk menambal defisit BPJS.
Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018, tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan.
Setelah mengendap hampir sebulan, pekan lalu Permenkes itu mulai disosialisasikan ke ruang publik, demikian seperti dilaporkan portal resmi Republik Indonesia yang dikutip MINA, Rabu (23/1).
Permenkes itu lahir di tengah neraca keuangan BPJS yang mengalami defisit akut. Per akhir 2018, defisitnya mencapai Rp16,5 triliun. Sebesar Rp12,1 triliun dicatat sebagai kerugian 2018, dan Rp4,4 triliun untuk menopang kerugian 2017.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Inti dari Permenkes itu adalah peserta BPJS akan dikenai pungutan khusus yang disebut urun biaya setiap kali menerima jasa pelayanan kesehatan yang ditanggung BPJS.
Seperti disebutkan dalam Permenkes, kebijakan Urun Biaya ini diberlakukan karena besaran hak yang melekat pada jaminan BPJS sudah tak mencukupi untuk membiayai ongkos pelayanan perawatan kesehatan. Selisih harga itu yang harus dibayar.
Kini mereka yang berobat ke RS kelas C, D, dan Klinik Utama akan dikenai urun biaya Rp10 ribu per kunjungan untuk perawatan penyakit tertentu. Nilai urun biaya itu berlipat menjadi Rp20 ribu jika pasien datang ke RS tipe A dan B.
Namun jika pasien harus sering bolak balik konsultasi dokter, mereka berhak atas keringanan khusus. Tidak selalu harus membayar Rp20 ribu tiap kali datang ke RS kelas A dan B. Mereka akan dikenai maksimum Rp350 ribu jika dalam waktu tiga bulan harus ke RS sampai 20 kali. Untuk kali ke-21 dan seterusnya, mereka harus membayar urunan lagi dengan tarif normal.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Pasien rawat inap juga akan dikenai urunan yang nilainya 10 persen dari biaya totalnya. Namun dengan batas maksimum urunan Rp30 juta. Jika biaya rawat inap melewati Rp300 juta, pasien tetap akan dikenai urunan dengan batas tertinggi Rp30 juta.
Menurut laporan itu, pemerintah lebih memilih mengenakan urun biaya daripada menaikkan preminya. Dengan urun biaya, kewajiban untuk membayar hanya dibebankan pada mereka yang nyata-nyata mengambil “haknya” dalam bentuk pelayanan kesehatan.
Menaikkan premi dianggap bukan pilihan yang cocok di tengah cuaca ekonomi yang masih pasang-surut dan suasana politik yang mudah gaduh. Apalagi, pemerintah berkewajiban membiayai bantuan iuran bagi sekitar 118 juta warga penerima KIS (Kartu Indonesia Sehat), dengan nilai lebih dari Rp26 triliun setahun. Kenaikan premi berarti kenaikan anggaran negara untuk pos KIS.
Secara keseluruhan, ujung tombak pelayanan BPJS itu tersebar di 22.300 fasilitas kesehatan tingkat pertama (semacam Puskesmas) dan di 2.400 RS Umum serta Klinik Utama.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
Catatan pada 2018 menunjukkan bahwa peserta BPJS Kesehatan mencapai 204,4 juta, atau 77 persen dari penduduk Indonesia. Dari jumlah peserta itu 57 persen preminya dibayar oleh negara lewat kartu KIS. (R/Mufi/R01)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng