Oleh: Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sebagai Muslim, maka tak ada idola di dunia ini selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dialah Nabi yang semestinya menjadi panutan setiap insan bernama manusia. Dialah Nabi yang dengan segala keteladanannya kita sebagai umatnya bisa mengambil banyak pelajaran sebagai bekal menjalani kehidupan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang sangat indah akhlaknya. Ia adalah teladan bagi setiap manusia. Hal ini seperti disampaikan dalam firman Allah Ta’ala:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
Baca Juga: Urgensi Boikot Ekonomi Zionis Israel
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang sangat tawadhu’ (rendah hati) kepada siapa pun. Salah satu bentuk ketawadhu’an Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah ia tidak suka dipuji dan disanjung secara berlebihan.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kamu sanjung aku (secara berlebihan) sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Isa bin Maryam secara berlebihan. Aku hanyalah seorang hamba Allah, maka panggillah aku dengan sebutan hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud).
Begitulah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sanjungan yang ditujukan kepadanya tak membuatnya berbangga hati apalagi merasa tinggi hati. Sebaliknya, semakin disanjung dan dipuji, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semakin tawadhu’ dan memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Baca Juga: Zionis Israel Bukan Bangsa, Tapi Virus Peradaban!
Bandingkan dengan para pejabat negeri ini; saat mereka di puji, yang tampak adalah kebanggaan dan rasa menjadi lebih tinggi.
Tanyakan pula pada diri kita yang lemah ini, apakah saat dipuji kita pun merasa puas dan seolah terbang tinggi menembus angkasa raya?
Hakikat pujian itu sebenarnya harus disikapi dengan baik. Sebab satu sisi, pujian yang diberikan orang lain itu akan menjadikan kita angkuh, sombong dan merasa super. Sebaliknya, dengan pujian pula, orang-orang yang beriman akan semakin takut kepada Allah. Apakah pujian yang dinisbatkan kepadanya itu sudah mencerminkan dirinya sebenarnya atau malah sebaliknya.
Pujian memang seperti dua sisi mata pisau. Ada orang yang dipuji semakin sombong dan merasa besar kepala karena dia dipuji. Sebaliknya ada orang yang saat mendapat pujian ia bersikap biasa saja tanpa harus merasa bangga dengan pujian itu.
Baca Juga: Palestina Adalah Negeri Para Nabi, Bukan Tempat Para Penjajah
Nah, orang yang terakhir ini biasanya jauh lebih siap saat tak banyak orang yang memujinya. Sebaliknya, orang yang hanya bisa bekerja dan maksimal dalam bekerja setelah dipuji, maka akan mengalami kesulitan dalam membangun motivasi diri saat tak ada orang yang memujinya.
Rasulullah pun Di Uji dengan Pujian
Dari Anas bin Malik ra ia berkata, “Ada beberapa memanggil Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik dan anak orang terbaik di antara kami, wahai junjungan kami anak dari junjungan kami.”
Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam langsung menyanggah dengan bersabda, “Wahai sekalian manusia, katakanlah sewajarnya saja! Jangan sampai kamu digelincirkan oleh setan. Aku adalah Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak sudi kamu angkat di atas kedudukan yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadaku.” (HR. An Nasai).
Baca Juga: Jama’ah sebagai Benteng Keimanan dan Ukhuwah
Suatu hari ada seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, aku membutuhkan sesuatu dari anda.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada wanita itu, “Pilihlah di jalan mana yang kamu kehendaki di kota Madinah ini, tunggulah aku disana, niscaya aku akan menemuimu (melayani keperluanmu).” (HR. Abu Daud).
Begitulah sifat tawadhu’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia tidak senang dipanggil dengan sebutan yang berlebihan. Ia hadir dengan segenap jiwa terpuji lagi mulia. Menjulang tinggi ke tempat yang terpuji dengannya. Bila dikaji lebih dalam lagi, akhlak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jauh lebih harum dari minyak kasturi.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah pemimpin setiap orang yang tawadhu’ baik dalam ilmu atau pun amal. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Andaikata aku diundang makan paha atau kaki binatang, niscaya aku kabulkan undangannya. Andaikata aku dihadiahkan kaki atau paha hewan ternak, tentu akan aku terima hadiah itu.” (HR. Bukhari).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang penuh rasa hormat (tawadhu’) kepada sesama manusia. Menghormati yang lebih tua dengan segala kapasitas keilmuan dan amal shalehnya adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan seorang Muslim. Sebaliknya, berusaha untuk menghargai yang lebih muda dan menyayangi mereka adalah sebuah upaya untuk membangun kesolidan dalam sebuah kinerja profesional.
Baca Juga: Al Aqsa Tak Pernah Sendiri, Umat Sedang Bergerak
Sejatinya setiap Muslim adalah orang-orang yang tawadhu’ terhadap Muslim lainnya. Bawalah diri ini berjalan seperti padi yang semakin berisi semakin tunduk dan terus merendah. Jadikan diri kita adalah manusia-manusia yang selalu rendah hati meski pun level pendidikan yang sudah kita raih jauh menjulang tinggi.
Jadilah orang yang tawadhu’ terhadap sesama meski kita bermandikan harta benda dan menguasai ilmu dalam semua bidang. Wallahua’lam.(R02/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Regenerasi dan Kaderisasi