Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Teladan Adalah Dakwah Terbesar, Tanpa Itu Dakwahmu Hampa

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 22 detik yang lalu

22 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

DALAM gemuruh dakwah yang menggema dari mimbar ke mimbar, dari media sosial ke layar-layar digital, satu hal yang sering kali terlupakan adalah esensi dari dakwah itu sendiri: keteladanan. Betapa banyak orang yang pandai berbicara, fasih menyampaikan ayat dan hadis, namun lalai untuk menghadirkan Islam dalam perilaku. Padahal, dakwah bukan hanya tentang menyampaikan kebenaran, tetapi lebih dari itu, tentang menjadi representasi nyata dari kebenaran tersebut. Keteladanan adalah ruh dari dakwah. Tanpa keteladanan, dakwah kehilangan makna.

Islam tidak datang hanya dengan seruan lisan. Rasulullah SAW adalah bukti nyata bagaimana teladan hidup menjadi dakwah yang paling ampuh. Sebelum wahyu pertama turun, masyarakat Mekkah sudah mengenalnya sebagai “Al-Amin”, orang yang terpercaya. Gelar itu tidak diberikan karena pidato yang menggelegar, tapi karena akhlak yang nyata dalam keseharian: jujur, amanah, adil, dan menyayangi sesama.

Begitu pula dalam kehidupan kita, lisan yang fasih tanpa perilaku yang sesuai akan menimbulkan kebingungan dan bahkan bisa menjadi fitnah. Seorang ayah yang menyuruh anaknya salat namun dia sendiri lalai melakukannya, seorang guru yang mengajarkan kejujuran namun melakukan kecurangan, atau seorang ustaz yang menyerukan ukhuwah tapi gemar mengadu domba—semuanya adalah contoh nyata dari dakwah yang hampa.

Mengapa Teladan Lebih Kuat dari Seruan?

Baca Juga: Kapal Kemanusiaan Madleen Aksi Menembus Blokade Gaza

Karena manusia belajar lebih efektif melalui contoh daripada teori. Anak-anak lebih meniru perilaku orang tuanya daripada nasihat-nasihat mereka. Jamaah lebih patuh kepada pemimpin yang memberi contoh daripada yang hanya memberi instruksi. Dalam psikologi, dikenal istilah modeling—yakni belajar dengan meniru. Ini adalah metode alami manusia dalam belajar sejak kecil.

Keteladanan menciptakan kepercayaan. Ketika seseorang melihat bahwa ucapan dan perbuatan kita selaras, maka akan timbul rasa hormat dan kagum. Di situlah pintu hati terbuka untuk menerima nasihat. Sebaliknya, orang yang gemar menasihati namun tidak meneladani akan ditinggalkan bahkan dicemooh.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” (Qs. Al-Ahzab: 21)

Ayat ini menegaskan bahwa dakwah Rasulullah tidak hanya berdasar wahyu yang dibacakan, tapi juga tindakan yang dihidupi. Saat beliau menyerukan sabar, beliau sendiri menjadi orang paling sabar. Ketika beliau mengajarkan derma, beliau menjadi orang paling dermawan. Saat mengajak berjihad, beliau berada di barisan terdepan.

Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan

Dakwah Rasulullah pun menyentuh hati karena beliau hadir sebagai manusia yang utuh—yang mencintai, memaafkan, memikul penderitaan umat, dan rela berkorban. Maka tak heran jika para sahabat jatuh cinta kepadanya, bahkan siap mempertaruhkan nyawa demi membelanya.

Keteladanan dalam Keluarga

Dakwah tidak perlu menunggu panggung besar. Rumah tangga adalah panggung pertama. Orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi pribadi shalih harus mencontohkan hidup yang islami: salat tepat waktu, membaca Al-Qur’an, menepati janji, dan menjaga lisan.

Jangan heran jika anak sulit dinasihati, jika orang tuanya sendiri lebih sering main ponsel daripada mengajak diskusi. Anak belajar dari apa yang dilihat, bukan hanya dari apa yang didengar.

Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas

Istri akan mudah tunduk pada suami yang mencontohkan tanggung jawab, bukan hanya menuntut. Begitu pula suami akan menghargai istri yang sabar dan lembut, bukan yang hanya mengutip dalil-dalil kewajiban tanpa keindahan akhlak.

Seorang pemimpin sejati bukan yang berkata “lakukan ini,” tetapi yang berkata “mari kita lakukan bersama.” Pemimpin yang hanya pintar memerintah namun lari dari tanggung jawab akan cepat kehilangan wibawa. Sebaliknya, pemimpin yang ikut turun ke lapangan, rela susah bersama rakyat, dan konsisten dengan ucapannya akan dicintai.

Umar bin Khattab RA adalah contoh nyata. Beliau adalah khalifah, tapi hidup sederhana. Suatu malam, ia menyusuri jalan-jalan Madinah, mengangkat sendiri karung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Tidak banyak bicara, tapi setiap geraknya adalah dakwah.

Di era media sosial, dakwah menjadi semakin terbuka. Siapa pun bisa menjadi dai di Instagram, TikTok, atau YouTube. Namun, ini juga mengandung bahaya besar: membangun citra tanpa realita. Ketika seorang tokoh terlihat religius di kamera, tapi bobrok dalam kehidupan nyata, maka kerusakan yang ditimbulkan bisa lebih luas.

Baca Juga: 58 Tahun Naksa: Al-Aqsa dan Gaza, Ujian Kemanusiaan Tak Kunjung Usai

Generasi muda kini tidak hanya mendengar ceramah, tapi juga mencari konsistensi. Mereka mengamati bagaimana seorang ustaz memperlakukan keluarganya, bagaimana gaya hidupnya, dan bagaimana ia menyikapi perbedaan. Jika tidak ada kesesuaian antara layar dan laku, maka kredibilitas pun runtuh.

Dakwah Tanpa Teladan adalah Kontraproduktif

Dakwah yang tidak diiringi keteladanan bisa menjadi bumerang. Alih-alih mengajak orang pada kebaikan, justru menjauhkan mereka. Orang akan berkata, “Kalau begini kelakuan orang yang berdakwah, saya lebih baik begini saja.”

Ini adalah musibah besar. Islam menjadi buruk bukan karena ajarannya, tetapi karena kelakuan sebagian pemeluknya. Maka penting bagi siapa pun yang ingin berdakwah, untuk terlebih dahulu memperbaiki diri. Jangan menjadi lilin yang menyinari orang lain, tapi membakar diri sendiri.

Baca Juga: Haji untuk Palestina

Menjadi teladan bukan berarti menjadi sempurna. Namun, ada beberapa prinsip yang bisa dipegang:

  1. Mulailah dari hal kecil. Konsisten menepati waktu, menjaga kebersihan, jujur dalam ucapan, semua adalah dakwah yang efektif.
  2. Jujur atas kekurangan. Tidak perlu berpura-pura sempurna. Justru ketulusan mengakui kekurangan bisa menjadi teladan bahwa Islam mengajarkan kerendahan hati.
  3. Perbaiki niat. Jangan berdakwah untuk popularitas atau keuntungan pribadi. Ketulusan akan terpancar dalam setiap tindakan.
  4. Terus belajar dan memperbaiki diri. Dakwah adalah proses, bukan titik akhir. Seorang pendakwah harus senantiasa mengevaluasi diri dan memperbarui ilmunya.

Dakwah sejati tidak bisa dibangun di atas retorika kosong. Ia membutuhkan integritas, kesesuaian antara kata dan perbuatan. Teladan adalah bentuk dakwah yang paling jujur dan paling efektif. Rasulullah SAW sukses membawa perubahan besar bukan semata karena wahyu, tapi karena beliau sendiri adalah perwujudan dari wahyu tersebut.

Dalam dunia yang semakin skeptis terhadap agama dan nilai, keteladanan menjadi semakin penting. Orang-orang tidak butuh orator hebat yang hanya bersuara di panggung. Mereka butuh manusia nyata yang membuktikan bahwa Islam itu indah, adil, santun, dan menyelamatkan—dalam ucapan maupun tindakan.

Maka, jika ingin berdakwah, jangan hanya bersiap dengan lisan dan dalil. Siapkan juga hati yang tulus, akhlak yang lembut, dan perilaku yang menggambarkan Islam. Karena pada akhirnya, teladan adalah dakwah terbesar. Tanpa itu, dakwahmu akan hampa.[]

Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dalam Cahaya Idul Adha

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka

Rekomendasi untuk Anda