Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terima Kasih, Ali Taher: Wartawan Palestina untuk Merdeka yang Kita Nikmati Hari Ini

Redaksi Editor : Arif R - 26 menit yang lalu

26 menit yang lalu

7 Views

Dari kanan ke kiri; Muhammad Ali Taher – Dr. Abdul Majid al-Qassab, anggota parlemen Irak – Ahmad Hilmi Pasha, Ketua Pemerintahan Umum Palestina – Kairo 1954.

DALAM catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Mohammad Ali Taher mungkin tak setenar tokoh-tokoh bangsa yang biasa kita kenal. Namun, jauh dari tanah air, di Tepi Barat Palestina, seorang wartawan dan pengusaha media ini menjadi salah satu figur penting yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.

“Wartawan itu adalah M. Ali Taher, seorang Palestina yang terkenal karena surat kabarnya yang bernama Asyyura. Jauh sebelum perjanjian ditandatangani, sampai bertahun-tahun sesudahnya, ia selalu membantu perjuangan kita,” tulis A.R. Baswedan dalam buku “Seratus Tahun Haji Agus Salim.”

Kalimat tersebut menjadi penanda penting atas jasa seorang sahabat dari negeri jauh yang tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di Nusantara, namun jiwanya begitu dekat dengan perjuangan rakyat Indonesia.

A.R Baswedan menulis dengan rapi catatan pertemuannya dengan Ali Taher, ia yang menyebut pernah dimarahi Haji Agus Salim karena keluyuran mencari informasi dari media-media Timur Tengah, saat misi menjemput dukungan pengakuan kemerdekaan di negeri-negeri Arab. Jiwa muda dan naluri wartawan A.R Baswedan tidak mau diam, ia bergerilia mencari dan memberi informasi tentang perjuangan rakyat Indonesia lepas dari penjajah.

Baca Juga: Kisah Aep, 20 Tahun Lebih Jadi Pedagang Perabot Dapur

Mohammed Ali Altaher, lidah orang Indonesia terbiasa menyebut Muhammad Ali Taher, punya peran yang tidak kecil dan tidak pernah basa-basi dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Muhammad Ali Taher lahir 1896 di Nablus, kota di Tepi Barat (West Bank) bagian utara, sekitar 49 kilometer utara Yerusalem, Palestina.

Ayah Muhammad Ali Taher bernama Aref Eltaher dan ibunya Badieh Kurdieh. Muhammad Ali Taher merupakan salah satu dari tujuh bersaudara, tiga perempuan dan empat laki-laki. Keluarganya berasal dari marga Jaradat, yang tersebar di seluruh Palestina bagian utara. Termasuk keturunan Juhayna, salah satu marga terkenal di Arab Saudi.

Ali Taher bukan hanya sekadar wartawan. Ia adalah penjaga nurani umat tertindas, pemilik surat kabar Asyyura yang kerap memberitakan penderitaan bangsa-bangsa jajahan, termasuk Indonesia. Melalui tulisannya, dunia Arab mulai mengenal dan memahami pergolakan yang terjadi di tanah air kita. Ia menggunakan medianya sebagai senjata perjuangan, menyuarakan semangat merdeka dari Palestina ke penjuru dunia.

Tak hanya melalui kata-kata, Ali Taher juga memberikan dukungan nyata secara moral dan material kepada tokoh-tokoh diplomasi Indonesia seperti Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan H.M. Rasjidi. Ketika agresi militer Belanda menggempur republik dan KBRI di Timur Tengah mengalami kesulitan, Ali Taher hadir sebagai saudara, mengulurkan bantuan tanpa pamrih.

Baca Juga: Jejak Fatimah Adawiyah, Keliling Jabodetabek untuk Mengajarkan Al-Quran

Kiprah Ali Taher tak berdiri sendiri. Ia sejalan dengan tokoh besar Palestina lainnya, Syekh Muhammad Amin Al-Husseini, Mufti Besar Palestina yang pada 6 September 1944, setahun sebelum proklamasi Indonesia dibacakan, telah secara de facto mengakui kemerdekaan Indonesia. Siaran pengakuan itu disampaikan lewat radio berbahasa Arab dari Berlin, berdasarkan pernyataan PM Jepang Koiso yang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Inilah bentuk solidaritas sejati. Di tengah konflik dan penjajahan yang dialami rakyat Palestina sendiri, mereka tetap menyempatkan diri untuk mendukung kemerdekaan Indonesia—baik lewat diplomasi maupun media.

Melalui Asyyura, Ali Taher terus mengabarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia ke dunia Arab. Dukungan dari masyarakat dan para pemimpin negara-negara Timur Tengah pun mengalir, sebagian besar karena suara yang ia gemakan dari surat kabarnya. Ia tak hanya menjadi wartawan, tapi penjembatan antara dua bangsa yang dipertemukan oleh takdir perjuangan dan penderitaan yang serupa.

Sejarah telah mencatat, Palestina adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan di balik pengakuan itu, berdiri seorang wartawan dari Tepi Barat, Muhammad Ali Taher, yang tanpa pamrih meyakini bahwa perjuangan Indonesia adalah perjuangan umat yang tertindas.

Baca Juga: Jejak Tukul Sunarto, Mendidik Jembatan Menuju Surga

Kini, di tengah ulang tahun kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, nama Mohammad Ali Taher patut kita kenang bukan sekadar sebagai kawan dari jauh, tetapi sebagai saudara dalam perjuangan, dan sahabat dalam sejarah.

Ketulusan dan solidaritas yang ia tunjukkan menjadi alasan kuat mengapa hingga hari ini, rakyat Indonesia selalu bersimpati pada penderitaan rakyat Palestina.

Terima kasih, Ali Taher. Tanpa suara dan pena darimu, mungkin sejarah kita tak sekuat hari ini. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ustaz Anshorullah, Dai Pembuka Jalan Dakwah di Kalimantan

 

Rekomendasi untuk Anda