Dari sebuah bengkel kecil di kamp pengungsi Jabaliya, utara Kota Gaza, Akram Agel mempersembahkan lukisanya, “Target Bank”, untuk warga Palestina yang terbunuh oleh Israel.
Dengan mengemas berbagai warna, ia memberikan kesan lain ke wajah para korban. Meskipun gambar-gambar itu sedih dan menyakitkan, para korban terlihat telah mencapai perasaan tenang dan bebas.
Agel adalah salah satu dari banyak seniman yang baru-baru ini berpartisipasi dalam Return Journeys, serangkaian acara merayakan budaya Palestina.
“Kami mengirim pesan damai kepada dunia tentang cara brutal Israel memperlakukan perempuan dan anak-anak,” katanya.
Baca Juga: Al-Qassam Hancurkan Pengangkut Pasukan Israel di Jabalia
The Return Journeys digagas oleh juru kampanye Ahmed Abu Artema. Dia juga memahami tentang protes besar-besaran March of Return yang diadakan di Gaza setiap hari Jumat.
Bukan kebetulan bahwa kata “kembali” muncul di kedua kegiatan. Mereka menekankan bahwa pengungsi Palestina memiliki hak yang diakui oleh PBB untuk kembali ke desa dan kota tempat mereka diusir oleh pasukan Zionis pada tahun 1940-an.
“Kami menuntut hak kami melalui musik dan seni. Kami mengungkapkan fakta bahwa kami adalah bangsa yang mencintai kehidupan,” kata Abu Artema.
Ia menekankan, Return Journeys “bukan pengganti” untuk Great March of Return. Keduanya adalah bagian dari perjuangan yang sama.
Baca Juga: Zionis Israel Serang Pelabuhan Al-Bayda dan Latakia, Suriah
Namun, ada satu perbedaan yang bisa ditarik.
Great March of Return telah menimbulkan tantangan langsung bagi pendudukan Israel. Warga Palestina telah berulang kali menunjukkan keberanian besar dengan menjelajah ke pagar yang memisahkan Gaza dan Israel. Lebih dari 200 orang telah terbunuh oleh penembak jitu Israel sejak protes pekanan itu dimulai pada akhir Maret 2018.
Komisi penyelidikan PBB menemukan bahwa Israel mungkin telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menggunakan kekuatan militer yang mematikan terhadap pengunjuk rasa yang tidak bersenjata selama Great March of Return.
The Return Journeys tidak konfrontatif. Tujuannya adalah “menemukan lingkungan yang aman bagi orang-orang yang membatasi peluang pendudukan untuk menimbulkan korban,” kata Abu Artema.
Baca Juga: Majelis Umum PBB akan Beri Suara untuk Gencatan Senjata ‘Tanpa Syarat’ di Gaza
Tenda yang digunakan selama aksi itu, umumnya diadakan pada hari Selasa atau Rabu, didirikan sekitar dua kilometer dari pagar batas.
Penyelenggara berharap bahwa berada cukup jauh dari militer Israel selama acara berlangsung tidak akan memunculkan kerumitan. Israel tetap menembakkan proyektil gas air mata kepada para peserta pada salah satu Return Journey. Terlepas dari serangan itu, acara tetap berjalan sesuai rencana.
Meskipun Return Journeys umumnya menjaga jarak dari pagar batas, panitia berusaha membuat pengecualian saat berencana untuk menandai peringatan Deklarasi Balfour di bulan November. Perjanjian 1917 Inggris untuk membantu menemukan “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina, yang merupakan tonggak penting dalam proses yang mengarah pada pengusiran massal warga Palestina tiga dekade kemudian.
Ahmed Abu Artema berusaha memperingati peristiwa tersebut dengan meminta warga Palestina yang sudah tua, warga Israel dan warga Gaza bertemu di pagar perbatasan sehingga mereka dapat saling bertukar surat dari satu sisi ke sisi lain. Militer Israel tidak mengizinkan pertemuan itu terjadi.
Baca Juga: Sudah 66 Hari Israel Blokir Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Utara
Abu Artema mengakui bahwa penolakan Israel sendiri sudah diperkirakan. “Tapi kami bersikeras mencoba,” katanya.
Jalan Damai
Ali Al-Sammak membacakan puisi yang ditulis oleh dirinya sendiri dalam gaya yang berapi-api. Dia sebelumnya telah memberikan penampilan saat Great March of Return.
Ketika The Return Journey diselenggarakan, saya memiliki kesempatan untuk membacakan puisi milik saya dan didengar tanpa Israel mengganggu kami dengan peluru dan bom gas air mata,” katanya.
Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina
Kemudian Rana Elramlawy telah membuat patung pasir selama Return Journeys. Salah satu patung tersebut diilhami oleh foto tahun 2005 yang menunjukkan seorang wanita tua memeluk pohon zaitun di Tepi Barat yang diduduki, dengan diamati oleh tentara Israel.
“Gambar ini telah melekat di kepala saya sejak saya masih kecil,” kata Elramlawy
“Pohon zaitun melambangkan keterikatan Palestina dengan tanah kami. Dan bagi saya, patung ini mewujudkan komitmen kami terhadap hak untuk kembali,” tambahnya.
Bersamaan dengan seni, Return Journeys menekankan pentingnya makanan tradisional sebagai bagian dari warisan Palestina. Hidangan yang disajikan selama acara termasuk sumaghiya, sup daging sapi dan buncis, dan maqlooba, campuran nasi berbumbu, sayuran, dan daging.
Sabreen Al-Najjar mengawasi kegiatan kuliner sebagai bagian dari The Return Journey. Dia mengepalai tim yang terdiri dari puluhan wanita.
Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah
Sabreen memandang partisipasinya dalam acara tersebut sebagai cara untuk melestarikan warisan yang ditinggalkan oleh putrinya, Razan.
Razan adalah Petugas Medis yang ditembak mati oleh penembak jitu Israel saat ia merawat korban luka selama Great March of Return tahun lalu.
“Saya ikut serta dalam acara-acara ini sehingga saya dapat terus berjalan di jalan damai yang dilalui putri saya dan yang ia bayar dengan hidupnya,” kata Sabreen.
“Saya menunjukkan solidaritas saya dengan para pengunjuk rasa dan para korban,” ujarnya.
Baca Juga: Pemukim Yahudi Ekstremis Rebut Rumah Warga Yerusalem di Silwan
Sumber : Electronic Intifada
(T/Ast/P1)
Baca Juga: Media Ibrani: Netanyahu Hadir di Pengadilan Atas Tuduhan Korupsi